Adakah perang membawa
manusia pada situasi saling mengasihi? Tentu jawabannya tidak. Sanggupkah
perang menegakkan keadilan dan menciptakan damai? Jawabannya juga tidak dan
mustahil. Perang seringkali dirasionalisasi oleh segelintir orang dan bangsa
untuk menegakkan sebuah prinsip. Bahkan demi menegakkan prinsip kemanusiaan,
perang dinyatakan sebagai jalan terbaik dan solusi tepat untuk mewujudkan
prinsip tersebut. Dalam etika kekristenan, perang tidaklah pernah dibenarkan
dalam upaya untuk menegakkan prinsip tertentu. Hal ini tentunya bertentangan
dengan hukum utama yang diajarkan oleh Kristus, yakni cinta kasih. Semangat
berperang hendaknya dihindari karena sebenarnya menghancurkan kedamaian,
sukacita, cinta kasih, persahabatan di antara manusia dan dunia sekitarnya. Kita
tidak terpanggil untuk mengobarkan semangat perang demi mempertahankan prinsip
tertentu, karena perang adalah dosa.
Dunia yang telah ternoda oleh dosa, kini menjadi
medan peperangan. Dosa telah membutakan hati manusia. Setiap manusia saling
mencari lawan bukan kawan. Banyak bangsa berlomba mengobarkan perang demi
kepentingan pribadi. Bahkan nama Allah dijadikan alasan untuk melegalkan
perang; ‘Allah perlu dibela dengan jalan perang.’ Demi alasan yang demikian,
Gereja memang pernah dinodai oleh deklarasi ‘perang suci.’ Namun jikalau kita
meneliti sejarah Gereja, sebenarnya ada dua posisi lain yang kebenarannya lebih
dapat dipertanggungjawabkan menurut Firman Tuhan serta patut kita pertimbangkan,
yaitu ‘pacifism’ dan ‘just war theory.’[1] Pacifism
pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip
iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat
dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus
secara mutlak menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok
ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai
prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus
sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apapun.
Sedangkan pandangan kedua, Just War Theory, percaya bahwa perang
atau penggunaan kekerasan dilakukan demi alasan kemanusiaan yang dapat
dibenarkan. Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun
menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang sudah jatuh
ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan (justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan.[2]
Pandangan yang kedua ini berangkat dari sejarah Bangsa Israel dalam Perjanjian
Lama. Allah dinyatakan sebagai pahlawan perang. Perang dilihat sebagai amanat
Yahwe bagi Bangsa Israel untuk mengobarkan perang. Hal ini tentunya bertolak
belakang dengan pandangan akan Allah Maha Kasih yang mencintai damai dan
keadilan, sebagaimana diwartakan Kristus dalam Perjanjian Baru.
Oleh sebab itu, marilah kita melihat lebih jauh
tentang gagasan ‘Allah Berperang dan Allah Mengasihi.’
Konsep Perang Dalam Perjanjian Lama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata perang
memiliki arti permusuhan, konflik, pertempuran antara negara, bangsa, tentara.[3] Sedangkan
kata perang yang muncul sebanyak 319 kali di dalam Perjanjian Lama, dalam
bahasa Ibrani ditulis dengan kata ‘milkhama,’
yang berasal dari kata lakham yang artinya berperang.[4]
Dalam Kanon Perjanjian Lama, kata ini muncul pertama
kali di kitab Kej. 14:2 dan berakhir dalam Zak. 14:2. Sehubungan dengan kata
perang dalam Perjanjian Lama tersebut, kata perang dapat terbagi menjadi dua istilah,
yakni perang sekuler dan perang suci. Perang sekuler bertujuan untuk merampas
dan merebut tanah saja (bdk. 1Sam. 21:5). Sedangkan yang dikatakan dengan
perang suci atau perang Yahweh, yaitu perang yang dilakukan umat Allah (Bangsa Israel)
atas nama Yahweh untuk melawan musuh asing dan para dewanya. Bangsa Israel
meyakini Allah selalu berada di pihak mereka untuk menumpas bangsa yang
mengancam hidup Bangsa Israel. Perang dianggap sebagai bentuk kesetiaan dan
loyalitas pada perintah Allah. Selain itu, Bangsa Israel meyakini bahwa
kemenangan yang diraih merupakan kemenangan yang diberikan Yahweh dalam
memenuhi janji-Nya.[5]“Tuhan, Allahmu, yang berjalan di depanmu,
Dialah yang akan berperang untukmu sama sepertiyang dilakukan-Nya bagimu di Mesir,
di depan matamu.” (bdk. Ul. 1: 30). Konsep yang demikian sesuai dengan
pandangan Just War Theory.
Allah
Sebagai Pahlawan Perang
“Allah sebagai pahlawan perang merupakan sebuah
metafora yang menggambarkan Allah sebagai raja dan hakim. Sebagai pahlawan
perang, Allah seperti sang hakim berkomitmen pada ketentuan hukum yang
bertindak untuk memapankan, mempertahankan atau menerapkan hukum yang diketuai
oleh raja. Seperti halnya dengan hakim dan raja, demikianpun pengertian
pahlawan perang berfungsi sebagai prinsip kritis guna menegaskan bahwa Yahweh
akan bertempur dan mengalahkan para pihak yang secara tidak sah memangku
kekuasaan publik. Lebih dari itu, metafora ini, berfungsi sebagai titik rujukan
dan peradilan banding bagi orang-orang yang tidak memiliki pertolongan atau
harapan dari sumber lain.”[6]
“Janganlah
takut kepada mereka, sebab Tuhan, Allahmu, Dialah yang berperang untukmu.”
(Bdk. Ul. 3: 22). Gagasan Yahweh sebagai pahlawan perang muncul dalam nyanyian Musa
setelah Bangsa Israel berhasil menyeberangi Laut Teberau serta menenggelamkan
pasukan berkuda Firaun yang mengejar mereka dari belakang. Dalam kisah-kisah
sebelumnya, penggambaran karakter Yahweh yang berperang bersama dengan Israel
pun telah telah didengungkan sampai adanya gambaran pengakuan dari orang Mesir untuk
lari meninggalkan Israel karena Tuhanlah yang berperang bersama Israel (bdk. Kel.
14: 14.25). Adapun Yahweh sebagai pahlawan perang diangkat kembali dalam Kitab
Yesaya dari masa pembuangan, ketika Bangsa Israel bersaksi tentang kekalahan
Babilon dan pembebasan dari pembuangan. Maka dengan demikian, Allah sebagai
pahlawan perang merupakan suatu pemahaman yang dipakai Bangsa Israel, untuk
membuktikan kepada Bangsa Israel bahwa Allah setia terhadap perjanjian-Nya.
Allah yang selalu menyertai, melindungi dan menolong mereka, supaya kehidupan
bangsa Israel setia dan bergantung hanya kepada-Nya. Hal menarik lain dari
penggambaran Yahweh sebagai pahlawan perang adalah mengenai sikap Bangsa Israel.
Secara khusus dalam saat-saat tertentu, orang Israel akan berdoa kepada Yahweh
agar Sang Pahlawan juga bertindak menolong mereka. “Bangkitlah, Tuhan, dalam murka-Mu, berdirilah menghadapi geram
orang-orang yang melawan aku….” (bdk. Mzm. 7:7). “Patahkanlah lengan orang fasik dan orang jahat, tuntutlah
kefasikannya, sampai Engkau tidak
menemuinya lagi.” (bdk. Mzm. 10:15). Orang-orang Israel
membayangkan bahwa Yahweh akan membantu mereka dalam keadaan yang darurat atau
bahaya. Sehingga dalam keterancamannya, mereka berdoa agar Yahweh yang adalah
pahlawan perang akan berperang demi kepentingan Israel. Hal ini juga masih
berkaitan dengan penggambaran Breuggemann bahwa Yahweh yang adalah hakim yang
adil akan bertindak bagi keadilan mereka (Israel) yang tertindas.[7]
Pada titik ini dapat dilihat bahwa
Allah dalam Perjanjian Lama mengumandangkan perang tidak maksudkan agar manusia
boleh membunuh, menghancurkan sesama demi sebuah tujuan. Perintah untuk
berperang adalah bentuk permenungan kepada manusia untuk dapat menjatuhkan
sebuah pilihan yang bijaksana tentang apa yang baik dan buruk berdasarkan pertimbangan
suara hati dan kehendak baik yang telah dianugerahkan Allah. Allah ingin
mengukur sejauh mana rahmat yang telah Dia berikan sungguh digunakan untuk
mencapai kematangan hidup yang selalu terarah pada kebaikan tertinggi/Summum Bonum, yakni Allah itu sendiri. Kehendak
bebas sebagai anugerah dari Allah dalam diri manusia hendaknya difungsikan demi
terwujudnya bonum commune. Hal ini
sebenarnya mau mengajak kita untuk mencintai kehidupan. Perang atau berdamai
adalah sebuah pilihan yang perlu dipilih manusia berdasarkan pertimbangan hati
nurani. Selain itu, perang dalam Perjanjian Lama menunjukkan konsekuensi yang
diterima manusia karena berpaling dari Allah yang setia. Perang yang dikobarkan
Bangsa Israel adalah sikap Allah yang membinasakan setiap orang yang tidak
setia pada iman akan Allah. Kelak, Allahpun menyatakan perang kepada Bangsa
Israel yang tidak setia padanya dengan menggunakan tangan musuh.
Allah
Mengasihi
Bila kata perang selalu
mendominasi Perjanjian Lama, maka dalam Perjanjian Baru, perang berganti Cinta Kasih.
Cinta Kasih merupakan titik dasar dari segala pengajaran Yesus. Yesus sebagai Logos Sarx Egeneto (Sabda yang menjelma
menjadi daging/manusia), tidak lagi menyerukan peperangan melawan penjajah
Romawi ataupun kepada para pemuka agama yang sering bertindak tidak adil,
tetapi selalu mengutarakan Cinta Kasih dan bahkan hal ini menjadi hukum utama
dan terutama. Yesus dengan tegas dan lantang menolak perang yang merendahkan
martabat manusia yang mulia. Ini dibuktikan dengan menegur Petrus secara keras
dalam drama penangkapan-Nya di Taman Getsemani. “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa
menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat. 26:52). Perang dalam
Perjanjian Lama kini diberi arti baru dalam pengertian Cinta Kasih yang
mendalam. Pandangan akan musuh berubah menjadi cinta dengan berseru: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
(bdk. Mat. 22:39). Kasih kepada sesama berarti mengasihi Tuhan. Lebih lanjut,
Yesus secara radikal menyerukan sebuah ajaran untuk mengasihi musuh. “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka
yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Pengajaran ini sungguh mengagumkan. Hal
ini pernah diutarakan oleh Mahatma Gandhi, cendikiawan terkenal asal India, “Sungguh indah ajaran Kristen. Belum pernah
kudapati ajaran ini dalam kitab manapun.”
Perdebatan antara pacifism dan just war theory juga berkisar di sekitar kategori hubungan antara
kasih dan keadilan. Kelompok pertama percaya bahwa panggilan utama murid
Kristus adalah untuk menyatakan kasih Kristus secara radikal dengan menolak
segala bentuk kekerasan apa pun alasannya, bahkan termasuk konsistensi jabatan
prajurit dengan iman Kristen. Kelompok kedua, walaupun tidak menyangkali
proklamasi kasih Kristus sebagai panggilan utama, namun di dalam dunia yang
sudah jatuh di dalam dosa, perwujudan kasih tidak dapat dilepaskan dari
keadilan yang sering kali mengandung unsur penghukuman atau penggunaan
kekerasan. Kasih dan keadilan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Dalam karya
penebusan Allah misalnya, kita melihat bahwa ketika Allah menyatakan kasih-Nya,
Ia bukan meniadakan keadilan tetapi justru menanggungnya.[8] Kesadaran
akan kasih mengharuskan kita untuk menegakkan keadilan sosial di masyarakat,
sehingga setiap anggota di dalamnya dapat memperoleh kebebasan dan kebutuhan
sesuai dengan hak-haknya. Memberitakan Injil memang adalah bentuk pernyataan kasih,
tetapi jika kita berhenti sampai di sana maka kita belum cukup mengasihi.
Artinya, kasih baru benar-benar terwujud di dalam masyarakat jika dalam
pelaksanaannya ia memberi ruang bagi terwujudnya keadilan. Kasih seperti yang
diajarkan dalam Khotbah di Bukit adalah kasih yang sifatnya sempurna dan yang
baru dapat diwujudkan secara penuh pada waktu kedatangan Kristus yang
keduakali, yaitu ketika janji langit dan bumi yang baru digenapi. Dengan kata
lain, kasih yang Kristus wartakan sekalipun di dalamnya mengandung aspek
keadilan yang dibutuhkan masyarakat, sifat utamanya adalah sebagai"kabar
baik" ('evangelica').
Hal ini juga ditandaskan oleh Paus Emeritus,
Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas In Veritate:
“Kasih
dalam kebenaran, yang dinyatakan oleh Yesus Kristus dengan kehidupan-Nya di
dunia, terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya, adalah kekuatan yang prinsip
di balik perkembangan otentik setiap orang dan semua umat manusia. Kasih-caritas
adalah kekuatan yang luar biasa yang memimpin manusia untuk memilih suatu
kewajiban yang berani dan murah hati di dalam bidang keadilan dan perdamaian.
Ini adalah sebuah kekuatan yang berasal mula dari Tuhan, Kasih abadi dan
Kebenaran yang mutlak.[9]
Hal ini menandaskan bahwa setiap manusia dituntut
untuk melandaskan hidup pada kasih kepada sesama. Kasih adalah sebuah kewajiban
bukan pilihan atau paksaan. Kasih selalu bersumber dari hati karena hati nurani
manusia adalah sanggar suci Allah; tempat Allah bertahta. Kasih Allah itu
sungguh tampak dalam inkarnasi. Yesus adalah kasih dan Sang Raja Damai.
Bagi Yesus, perang sebenarnya bukanlah sebuah rahmat
tetapi kehendak daging, tapi Cinta Kasih adalah rahmat Allah dan inilah yang
mesti bercokol dalam diri setiap manusia. Perang bukanlah piliihan terbaik
untuk memenangkan ide dan bukanlah jalan untuk menemukan kebijaksanaan, tetapi
semuanya bermuara pada Cinta Kasih. Perang yang sesungguhnya adalah perang
melawan kesombongan, kecongkakan, ego sempit, permusuhan, iri hati, dengki,
amarah yang oleh Rasul Paulus dikategorikan sebuah “buah-buah daging.” Hal
inilah yang menjadi inspirasi bagi St. Yohanes XXIIII dalam kata pembuka
Ensikliknya, Pacem In Terris: “Damai Di Bumi Sangat Dirindukan Oleh Semua
Orang Di Sepanjang Zaman.” Marilah kita menciptakan damai dan
hindarilah peperangan dan ini semua dimulai dengan berdamai dengan diri sendiri.
Ubi
Caritas et Amor Deus Ibi Est (di mana ada kasih dan cinta, di sana Allah
hadir).
Daftar Pustaka:
Benediktus
XVI, Caritas
In Veritate (Ensiklik), dalam http://katolisitas.org/3094/caritas-in-veritate.
Brueggemann,
Walter, Teologi Perjanjian Lama:
Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Maumere: Penerbit Ledalero, 2009
Budiman,
Kelvin S., Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43
Khiem
Yang, Lim dan Bambang Subandrijo (Penerj.), Kamus Alkitab, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2007
Poerwardaminta,
W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: PT Balai Pustaka, 1985
[1]Pacifism berasal dari pacifist
(bukan passivist), artinya ‘peacelover.’ Dengan kata lain,
orang-orang pacifist ialah mereka
yang secara aktif mempromosikan ajaran cinta damai.(Kelvin S. Budiman, Prinsip
Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43, diunduh pada Selasa,
20/01/2015; pukul. 20.43 WITA).
[2] Agustinus
umumnya dipandang sebagai pemikir Kristen pertama yang mencetuskan ide JustWarTheory (teori tentang adanya
perang yang dapat dibenarkan). Meskipun ia sendiri tidak pernah merumuskan
secara sistematis, pembahasannya tentang perang bersifat menyebar dalam
berbagai tulisannya dan dalam konteks pembelaan iman Kristen.
Dalam
salah satu bukunya yang sangat terkenal, The
City of God, yang ditulis antara 413 dan 427, Agustinus memberikan
pembelaan terhadap umat Kristen yang saat itu oleh kekaisaran Romawi dituduh
sebagai penyebab melemahnya kekuatan kerajaan sehingga membuka peluang bagi
serangan dari suku barbar (Alaric dan
Goths). Hal ini dapat terjadi sebab,
di mata orang-orang Romawi, doktrin Kristen tentang kasih persaudaraan, kasih terhadap
orang yang memusuhi, kerendahan hati, kesabaran dan yang sejenisnya, telah
melemahkan semangat untuk berjuang bagi negara. Menghadapi tuduhan itu,
Agustinus menulis bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan patriotisme, melainkan
justru mengangkat semangat itu hingga kepada level sebagai ketaatan iman (religious obligation). Ia melihat bahwa
perang yang dilaksanakan oleh perintah Allah di Perjanjian Lama harus dipandang
di dalam konteks sebagai just and
righteous retribution terhadap dosa bangsa tertentu, termasuk Israel.
Baginya, perang yang didasarkan bukan pada motivasi kenikmatan terhadap
kekerasan itu sendiri, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan penghukuman
terhadap pelaku kejahatan demi mencegah dosa yang lebih besar, merupakan an act of love. (Kelvin S. Budiman, Prinsip
Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43, diunduh pada
selasa, 20/01/2015; pukul. 20.43 WITA).
[3] W.J. S
Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia(Jakarta: PT Balai Pustaka, 1985), hlm. 735
[4] Dr. Lim Khiem
Yang dan Bambang Subandrijo, M.Th (Penerj.), Kamus Alkitab, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2007), hlm.
341
[5] Walter
Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama:
Kesaksian,Tangkisan, Pembelaan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm.
368-369
[6]Ibid.,
[7] Walter Brueggemann, Op.cit,
hlm. 373
[8] Kelvin S.
Budiman, Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43, diunduh pada Selasa,
20/01/2015; pukul. 20.43 WITA.
[9] Paus Benediktus XVI, Caritas
In Veritate (Ensiklik) art. 1, Dalam http://katolisitas.org/3094/caritas-in-veritate, diunduh pada Kamis, 22/01/2015;
pukul.01.10 WITA.
Terimakasih pengajarannya. Gbu❤
BalasHapus