Kamis, 20 Oktober 2016

FILSAFAT DAN TEOLOGI PERANG




CIMG0871.JPGAllah Berperang dan Allah Mengasihi


Adakah perang membawa manusia pada situasi saling mengasihi? Tentu jawabannya tidak. Sanggupkah perang menegakkan keadilan dan menciptakan damai? Jawabannya juga tidak dan mustahil. Perang seringkali dirasionalisasi oleh segelintir orang dan bangsa untuk menegakkan sebuah prinsip. Bahkan demi menegakkan prinsip kemanusiaan, perang dinyatakan sebagai jalan terbaik dan solusi tepat untuk mewujudkan prinsip tersebut. Dalam etika kekristenan, perang tidaklah pernah dibenarkan dalam upaya untuk menegakkan prinsip tertentu. Hal ini tentunya bertentangan dengan hukum utama yang diajarkan oleh Kristus, yakni cinta kasih. Semangat berperang hendaknya dihindari karena sebenarnya menghancurkan kedamaian, sukacita, cinta kasih, persahabatan di antara manusia dan dunia sekitarnya. Kita tidak terpanggil untuk mengobarkan semangat perang demi mempertahankan prinsip tertentu, karena perang adalah dosa.
Dunia yang telah ternoda oleh dosa, kini menjadi medan peperangan. Dosa telah membutakan hati manusia. Setiap manusia saling mencari lawan bukan kawan. Banyak bangsa berlomba mengobarkan perang demi kepentingan pribadi. Bahkan nama Allah dijadikan alasan untuk melegalkan perang; ‘Allah perlu dibela dengan jalan perang.’ Demi alasan yang demikian, Gereja memang pernah dinodai oleh deklarasi ‘perang suci.’ Namun jikalau kita meneliti sejarah Gereja, sebenarnya ada dua posisi lain yang kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan menurut Firman Tuhan serta patut kita pertimbangkan, yaitu ‘pacifism’ dan ‘just war theory.[1] Pacifism pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus secara mutlak menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apapun. Sedangkan pandangan kedua, Just War Theory, percaya bahwa perang atau penggunaan kekerasan dilakukan demi alasan kemanusiaan yang dapat dibenarkan. Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan (justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan.[2] Pandangan yang kedua ini berangkat dari sejarah Bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Allah dinyatakan sebagai pahlawan perang. Perang dilihat sebagai amanat Yahwe bagi Bangsa Israel untuk mengobarkan perang. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan pandangan akan Allah Maha Kasih yang mencintai damai dan keadilan, sebagaimana diwartakan Kristus dalam Perjanjian Baru.
Oleh sebab itu, marilah kita melihat lebih jauh tentang gagasan ‘Allah Berperang dan Allah Mengasihi.’

Konsep Perang Dalam Perjanjian Lama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata perang memiliki arti permusuhan, konflik, pertempuran antara negara, bangsa, tentara.[3] Sedangkan kata perang yang muncul sebanyak 319 kali di dalam Perjanjian Lama, dalam bahasa Ibrani ditulis dengan kata ‘milkhama,’ yang berasal dari kata lakham yang artinya berperang.[4]
Dalam Kanon Perjanjian Lama, kata ini muncul pertama kali di kitab Kej. 14:2 dan berakhir dalam Zak. 14:2. Sehubungan dengan kata perang dalam Perjanjian Lama tersebut, kata perang dapat terbagi menjadi dua istilah, yakni perang sekuler dan perang suci. Perang sekuler bertujuan untuk merampas dan merebut tanah saja (bdk. 1Sam. 21:5). Sedangkan yang dikatakan dengan perang suci atau perang Yahweh, yaitu perang yang dilakukan umat Allah (Bangsa Israel) atas nama Yahweh untuk melawan musuh asing dan para dewanya. Bangsa Israel meyakini Allah selalu berada di pihak mereka untuk menumpas bangsa yang mengancam hidup Bangsa Israel. Perang dianggap sebagai bentuk kesetiaan dan loyalitas pada perintah Allah. Selain itu, Bangsa Israel meyakini bahwa kemenangan yang diraih merupakan kemenangan yang diberikan Yahweh dalam memenuhi janji-Nya.[5]Tuhan, Allahmu, yang berjalan di depanmu, Dialah yang akan berperang untukmu sama sepertiyang dilakukan-Nya bagimu di Mesir, di depan matamu.” (bdk. Ul. 1: 30). Konsep yang demikian sesuai dengan pandangan Just War Theory.

Allah Sebagai Pahlawan Perang
“Allah sebagai pahlawan perang merupakan sebuah metafora yang menggambarkan Allah sebagai raja dan hakim. Sebagai pahlawan perang, Allah seperti sang hakim berkomitmen pada ketentuan hukum yang bertindak untuk memapankan, mempertahankan atau menerapkan hukum yang diketuai oleh raja. Seperti halnya dengan hakim dan raja, demikianpun pengertian pahlawan perang berfungsi sebagai prinsip kritis guna menegaskan bahwa Yahweh akan bertempur dan mengalahkan para pihak yang secara tidak sah memangku kekuasaan publik. Lebih dari itu, metafora ini, berfungsi sebagai titik rujukan dan peradilan banding bagi orang-orang yang tidak memiliki pertolongan atau harapan dari sumber lain.”[6]

Janganlah takut kepada mereka, sebab Tuhan, Allahmu, Dialah yang berperang untukmu.” (Bdk. Ul. 3: 22). Gagasan Yahweh sebagai pahlawan perang muncul dalam nyanyian Musa setelah Bangsa Israel berhasil menyeberangi Laut Teberau serta menenggelamkan pasukan berkuda Firaun yang mengejar mereka dari belakang. Dalam kisah-kisah sebelumnya, penggambaran karakter Yahweh yang berperang bersama dengan Israel pun telah telah didengungkan sampai adanya gambaran pengakuan dari orang Mesir untuk lari meninggalkan Israel karena Tuhanlah yang berperang bersama Israel (bdk. Kel. 14: 14.25). Adapun Yahweh sebagai pahlawan perang diangkat kembali dalam Kitab Yesaya dari masa pembuangan, ketika Bangsa Israel bersaksi tentang kekalahan Babilon dan pembebasan dari pembuangan. Maka dengan demikian, Allah sebagai pahlawan perang merupakan suatu pemahaman yang dipakai Bangsa Israel, untuk membuktikan kepada Bangsa Israel bahwa Allah setia terhadap perjanjian-Nya. Allah yang selalu menyertai, melindungi dan menolong mereka, supaya kehidupan bangsa Israel setia dan bergantung hanya kepada-Nya. Hal menarik lain dari penggambaran Yahweh sebagai pahlawan perang adalah mengenai sikap Bangsa Israel. Secara khusus dalam saat-saat tertentu, orang Israel akan berdoa kepada Yahweh agar Sang Pahlawan juga bertindak menolong mereka. “Bangkitlah, Tuhan, dalam murka-Mu, berdirilah menghadapi geram orang-orang yang melawan aku….” (bdk. Mzm. 7:7). “Patahkanlah lengan orang fasik dan orang jahat, tuntutlah
kefasikannya, sampai Engkau tidak menemuinya lagi.” (bdk. Mzm. 10:15). Orang-orang Israel membayangkan bahwa Yahweh akan membantu mereka dalam keadaan yang darurat atau bahaya. Sehingga dalam keterancamannya, mereka berdoa agar Yahweh yang adalah pahlawan perang akan berperang demi kepentingan Israel. Hal ini juga masih berkaitan dengan penggambaran Breuggemann bahwa Yahweh yang adalah hakim yang adil akan bertindak bagi keadilan mereka (Israel) yang tertindas.[7]
            Pada titik ini dapat dilihat bahwa Allah dalam Perjanjian Lama mengumandangkan perang tidak maksudkan agar manusia boleh membunuh, menghancurkan sesama demi sebuah tujuan. Perintah untuk berperang adalah bentuk permenungan kepada manusia untuk dapat menjatuhkan sebuah pilihan yang bijaksana tentang apa yang baik dan buruk berdasarkan pertimbangan suara hati dan kehendak baik yang telah dianugerahkan Allah. Allah ingin mengukur sejauh mana rahmat yang telah Dia berikan sungguh digunakan untuk mencapai kematangan hidup yang selalu terarah pada kebaikan tertinggi/Summum Bonum, yakni Allah itu sendiri. Kehendak bebas sebagai anugerah dari Allah dalam diri manusia hendaknya difungsikan demi terwujudnya bonum commune. Hal ini sebenarnya mau mengajak kita untuk mencintai kehidupan. Perang atau berdamai adalah sebuah pilihan yang perlu dipilih manusia berdasarkan pertimbangan hati nurani. Selain itu, perang dalam Perjanjian Lama menunjukkan konsekuensi yang diterima manusia karena berpaling dari Allah yang setia. Perang yang dikobarkan Bangsa Israel adalah sikap Allah yang membinasakan setiap orang yang tidak setia pada iman akan Allah. Kelak, Allahpun menyatakan perang kepada Bangsa Israel yang tidak setia padanya dengan menggunakan tangan musuh.
 
Allah Mengasihi
Bila kata perang selalu mendominasi Perjanjian Lama, maka dalam Perjanjian Baru, perang berganti Cinta Kasih. Cinta Kasih merupakan titik dasar dari segala pengajaran Yesus. Yesus sebagai Logos Sarx Egeneto (Sabda yang menjelma menjadi daging/manusia), tidak lagi menyerukan peperangan melawan penjajah Romawi ataupun kepada para pemuka agama yang sering bertindak tidak adil, tetapi selalu mengutarakan Cinta Kasih dan bahkan hal ini menjadi hukum utama dan terutama. Yesus dengan tegas dan lantang menolak perang yang merendahkan martabat manusia yang mulia. Ini dibuktikan dengan menegur Petrus secara keras dalam drama penangkapan-Nya di Taman Getsemani. “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat. 26:52). Perang dalam Perjanjian Lama kini diberi arti baru dalam pengertian Cinta Kasih yang mendalam. Pandangan akan musuh berubah menjadi cinta dengan berseru: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (bdk. Mat. 22:39). Kasih kepada sesama berarti mengasihi Tuhan. Lebih lanjut, Yesus secara radikal menyerukan sebuah ajaran untuk mengasihi musuh. “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44). Pengajaran ini sungguh mengagumkan. Hal ini pernah diutarakan oleh Mahatma Gandhi, cendikiawan terkenal asal India, “Sungguh indah ajaran Kristen. Belum pernah kudapati ajaran ini dalam kitab manapun.”
            Perdebatan antara pacifism dan just war theory juga berkisar di sekitar kategori hubungan antara kasih dan keadilan. Kelompok pertama percaya bahwa panggilan utama murid Kristus adalah untuk menyatakan kasih Kristus secara radikal dengan menolak segala bentuk kekerasan apa pun alasannya, bahkan termasuk konsistensi jabatan prajurit dengan iman Kristen. Kelompok kedua, walaupun tidak menyangkali proklamasi kasih Kristus sebagai panggilan utama, namun di dalam dunia yang sudah jatuh di dalam dosa, perwujudan kasih tidak dapat dilepaskan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penghukuman atau penggunaan kekerasan. Kasih dan keadilan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Dalam karya penebusan Allah misalnya, kita melihat bahwa ketika Allah menyatakan kasih-Nya, Ia bukan meniadakan keadilan tetapi justru menanggungnya.[8] Kesadaran akan kasih mengharuskan kita untuk menegakkan keadilan sosial di masyarakat, sehingga setiap anggota di dalamnya dapat memperoleh kebebasan dan kebutuhan sesuai dengan hak-haknya. Memberitakan Injil memang adalah bentuk pernyataan kasih, tetapi jika kita berhenti sampai di sana maka kita belum cukup mengasihi. Artinya, kasih baru benar-benar terwujud di dalam masyarakat jika dalam pelaksanaannya ia memberi ruang bagi terwujudnya keadilan. Kasih seperti yang diajarkan dalam Khotbah di Bukit adalah kasih yang sifatnya sempurna dan yang baru dapat diwujudkan secara penuh pada waktu kedatangan Kristus yang keduakali, yaitu ketika janji langit dan bumi yang baru digenapi. Dengan kata lain, kasih yang Kristus wartakan sekalipun di dalamnya mengandung aspek keadilan yang dibutuhkan masyarakat, sifat utamanya adalah sebagai"kabar baik" ('evangelica').
Hal ini juga ditandaskan oleh Paus Emeritus, Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas In Veritate:
“Kasih dalam kebenaran, yang dinyatakan oleh Yesus Kristus dengan kehidupan-Nya di dunia, terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya, adalah kekuatan yang prinsip di balik perkembangan otentik setiap orang dan semua umat manusia. Kasih-caritas adalah kekuatan yang luar biasa yang memimpin manusia untuk memilih suatu kewajiban yang berani dan murah hati di dalam bidang keadilan dan perdamaian. Ini adalah sebuah kekuatan yang berasal mula dari Tuhan, Kasih abadi dan Kebenaran yang mutlak.[9]
           
Hal ini menandaskan bahwa setiap manusia dituntut untuk melandaskan hidup pada kasih kepada sesama. Kasih adalah sebuah kewajiban bukan pilihan atau paksaan. Kasih selalu bersumber dari hati karena hati nurani manusia adalah sanggar suci Allah; tempat Allah bertahta. Kasih Allah itu sungguh tampak dalam inkarnasi. Yesus adalah kasih dan Sang Raja Damai.
Bagi Yesus, perang sebenarnya bukanlah sebuah rahmat tetapi kehendak daging, tapi Cinta Kasih adalah rahmat Allah dan inilah yang mesti bercokol dalam diri setiap manusia. Perang bukanlah piliihan terbaik untuk memenangkan ide dan bukanlah jalan untuk menemukan kebijaksanaan, tetapi semuanya bermuara pada Cinta Kasih. Perang yang sesungguhnya adalah perang melawan kesombongan, kecongkakan, ego sempit, permusuhan, iri hati, dengki, amarah yang oleh Rasul Paulus dikategorikan sebuah “buah-buah daging.” Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi St. Yohanes XXIIII dalam kata pembuka Ensikliknya, Pacem In Terris: “Damai Di Bumi Sangat Dirindukan Oleh Semua Orang Di Sepanjang Zaman.” Marilah kita menciptakan damai dan hindarilah peperangan dan ini semua dimulai dengan berdamai dengan diri sendiri. Ubi Caritas et Amor Deus Ibi Est (di mana ada kasih dan cinta, di sana Allah hadir).

Daftar Pustaka:
Benediktus XVI, Caritas In Veritate (Ensiklik), dalam http://katolisitas.org/3094/caritas-in-veritate.
Brueggemann, Walter, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Maumere: Penerbit Ledalero, 2009
Budiman, Kelvin S., Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43
Khiem Yang, Lim dan Bambang Subandrijo (Penerj.), Kamus Alkitab, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2007
Poerwardaminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Balai Pustaka, 1985




[1]Pacifism berasal dari pacifist (bukan passivist), artinya ‘peacelover.’ Dengan kata lain, orang-orang pacifist ialah mereka yang secara aktif mempromosikan ajaran cinta damai.(Kelvin S. Budiman, Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43, diunduh pada Selasa, 20/01/2015; pukul. 20.43 WITA).
[2] Agustinus umumnya dipandang sebagai pemikir Kristen pertama yang mencetuskan ide JustWarTheory (teori tentang adanya perang yang dapat dibenarkan). Meskipun ia sendiri tidak pernah merumuskan secara sistematis, pembahasannya tentang perang bersifat menyebar dalam berbagai tulisannya dan dalam konteks pembelaan iman Kristen.
Dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal, The City of God, yang ditulis antara 413 dan 427, Agustinus memberikan pembelaan terhadap umat Kristen yang saat itu oleh kekaisaran Romawi dituduh sebagai penyebab melemahnya kekuatan kerajaan sehingga membuka peluang bagi serangan dari suku barbar (Alaric dan Goths). Hal ini dapat terjadi sebab, di mata orang-orang Romawi, doktrin Kristen tentang kasih persaudaraan, kasih terhadap orang yang memusuhi, kerendahan hati, kesabaran dan yang sejenisnya, telah melemahkan semangat untuk berjuang bagi negara. Menghadapi tuduhan itu, Agustinus menulis bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan patriotisme, melainkan justru mengangkat semangat itu hingga kepada level sebagai ketaatan iman (religious obligation). Ia melihat bahwa perang yang dilaksanakan oleh perintah Allah di Perjanjian Lama harus dipandang di dalam konteks sebagai just and righteous retribution terhadap dosa bangsa tertentu, termasuk Israel. Baginya, perang yang didasarkan bukan pada motivasi kenikmatan terhadap kekerasan itu sendiri, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan demi mencegah dosa yang lebih besar, merupakan an act of love. (Kelvin S. Budiman, Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43, diunduh pada selasa, 20/01/2015; pukul. 20.43 WITA).
[3] W.J. S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia(Jakarta: PT Balai Pustaka, 1985), hlm. 735
[4] Dr. Lim Khiem Yang dan Bambang Subandrijo, M.Th (Penerj.), Kamus Alkitab, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 341
[5] Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian,Tangkisan, Pembelaan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm. 368-369
[6]Ibid.,
[7] Walter Brueggemann, Op.cit, hlm. 373
[8] Kelvin S. Budiman, Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang, dalam http://m.reformed.sabda.org/node/43, diunduh pada Selasa, 20/01/2015; pukul. 20.43 WITA.
[9] Paus Benediktus XVI, Caritas In Veritate (Ensiklik) art. 1, Dalam http://katolisitas.org/3094/caritas-in-veritate, diunduh pada Kamis, 22/01/2015; pukul.01.10 WITA.

1 komentar: