Rabu, 19 Oktober 2016

WANITA DAN BUDAYA PATRIARKI YAHUDI





Yesus dan Perempuan Samaria; Mengejar Mimpi Yang Hilang
(Penafsiran Atas Yoh 4: 1-42)

Pengantar
 Kekerasan terhadap perempuan merupakan penindasan panjang dalam sejarah manusia. Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang paling fundamental, yang disebabkan oleh ketidaksetaraan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan  skandal Hak Asasi Manusia abad ini. Perempuan mengalami diskriminasi dan kekerasan di dalam keluarga, komunitas masyarakat, hingga akhirnya mendunia. Kasus ini tidak saja menjadi keprihatinan masyarakat dunia dewasa ini tetapi juga menjadi keprihatinan Yesus di zamannya.
Dalam kelompok injil sinoptik, injil Yohanes merupakan satu-satunya injil yang secara mendalam mengulas apresiasi Yesus terhadap kaum perempuan. Penginjil Yohanes menempatkan tokoh Yesus sebagai tokoh emansipasi yang begitu radikal. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Mesias, pewarta kabar gembira dan pemenuhan dari kitab Taurat,  yang saat itu masih diragukan oleh orang-orang Yahudi, yang sebagian besarnya adalah tua-tua adat dan imam-imam yahudi, dan oleh penginjil Yohanes, kaum perempuanlah yang begitu antusias mendengar pemberitaan Yesus. Yesus juga sangat mengagumi iman mereka yang begitu besar.
Secara sah dan meyakinkan, Yesus tampil untuk membongkar tatanan patriarkat masyarakat Yahudi yang tidak humanis, yang semakin menenggelamkan perempuan dalam ketidakberdayaan secara struktural. Berbagai peraturan dibuat untuk mengkondisikan perempuan agar tidak berpartisipasi dalam wilayah publik hingga wilayah keagamaan dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menentukan keberlangsungan hidup mereka.  

“Women in first century Israel were defined by their role as bearer of their husband's offspring and their function as a sexual release for their husband…….. Since male lust was considered unavoidable due to the seductive nature of women, contact between the sexes was to be avoided. Because women were held responsible for male temptation, they were barred from public life lest they cause a man to sin.”

Melaui tulisan kecil ini, para pembaca diajak untuk sedikit melihat keprihatinan Yesus terhadap nasib perempuan di zamannya berdasarkan kisah yang ditulis penginjil Yohanes. Penulis ingin mengetengahkan tentang peran perempuan sebagai model bagi orang Kristen dalam hal iman dan kesaksian dewasa ini.  

Yahudi VS Samaria
Bukan lagi rahasia bahwa ada permusuhan diantara orang Yahudi dan orang Samaria. Permusuhan ini sudah lama terjadi (sekitar tahun 722 SM) ketika bala tentara Asyur menduduki bagian utara Israel dengan kekerasan, menghalau para penduduk ke pembuangan hingga tak pernah kembali lagi, serta menempatkan orang-orang asing yang berabad-abad kemudian mengadopsi sebagian agama Israel. Mereka ini selalu dipandang orang-orang Yahudi sebagai “Penakluk setengah kafir” yang patut dibenci. Di atas sejarah yang telah berusia panjang ini, orang-orang Yahudi dikondisikan untuk membenci orang-orang Samaria serta memandang hina mereka dan agama mereka yang sinkretis itu (campuran Yunani dan Yahudi). Ini diperparah lagi dengan sikap orang-orang Samaria yang hanya menerima kelima kitab pertama dari Perjanjian Lama sebagai Kitab Suci.
Mengapa Yesus harus melewati Samaria (ay. 4-6)?
“.Ia pun meninggalkan Yudea dan kembali ke Galilea” (ay. 3). Secara geografis, letak daerah Samaria sangat strategis, yakni terletak diantara Yudea dengan Galilea. Perjalanan antara Galilea menuju Yudea akan menjadi lebih panjang apabila mencoba menghindari melintasi wilayah Samaria. Tetapi perjalanan ini juga bisa tercapai dengan melintasi sungai Yordan. Mengapa Yesus harus melintasi Samaria? Bukankah lebih baik Yesus mengambil jalan ke Yudea dengan melintasi sungai Yordan karena sebagian besar para muridnya adalah nelayan dan memiliki perahu. Bukankah berbahaya melewati daerah musuh?. “Harus” (ay. 4) dimaksudkan oleh penginjil Yohanes sebagai keharusan ilahi, sesuai dengan kehendak Bapa. Pemilihan Samaria sebagai tempat persinggahan Yesus selama dua hari dimaksudkan untuk menjelaskan misi-Nya ke dunia ini untuk menjamah orang-orang yang terbuang, kaumkafir, seperti orang-orang di Samaria.
Kisah misi Yesus di Samaria berlanjut dengan perjumpaannya dengan seorang perempuan Samaria yang hendak menimba air, ketika Yesus sedang melepas lelah di dekat sumur Yakub. Saat yang dipakai oleh perempuan Samaria itu untuk menimba air merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan perempuan-perempuan lainnya di daerah itu, yakni kira-kira pukul dua belas siang ketika hari sedang panas. Ini menunjukkan keadaan terasing perempuan itu di tengah masyarakat sekampungnya. Melihat kedatangan perempuan Samaria itu, Yesus pun berkata kepada dia, “berilah Aku minum”. Permintaan ini sebenarnya mengangkat sikap keterbukaan Yesus untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar bangsa-Nya. Yesus berusaha menerobos tembok pemisah antara Yahudi dan Samaria. Yesus berusaha membuka komunikasi yang akrab dengan musuh bangsa-Nya itu. Permintaan Yesus kepada perempuan Samaria itu adalah sebuah permintaan yang radikal. Mengapa? Tindakannya telah melanggar kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat Yahudi, yakni percakapan dengan wanita asing sangat dilarang para Rabbi dan kontak dengan wanita Samaria mengandung resiko tidak tahir karena wanita semacam itu dianggap najis oleh orang Yahudi.
Permintaan Yesus sebenarnya adalah sebuah gerakan awal Yesus untuk menyampaikan misinya. Air adalah lambang kehidupan. Yesus meminta air sebenarnya melukiskan permohonan kepada perempuan itu untuk membuka diri terhadap misinya. Perempuan Samaria yang mewakili kaum kafir, diminta untuk membuka diri dengan seluruh kehidupannya untuk menerima kabar gembira Yesus. Selanjutnya Yesus berusaha memprakarsai sebuah pembicaraan dengan topik Diri-Nya dan karunia yang ditawarkan-Nya kepada perempuan itu. Karunia dari Allah dan Dia yang berbicara kepadamu, merupakan dua kata kunci yang dipakai Yesus untuk memperkenalkan dirinya. Karunia itu sekarang adalah air hidup; tawaran yang melimpah dari Allah melalui Yesus. Dia, merujuk pada pribadi Yesus sendiri sebagai pengantara.
Pemberitaan tentang jati diri-Nya kepada perempuan adalah salah satu usaha lain dari penginjil untuk mengangkat sikap Yesus yang menantang budaya patriarki, yang mengasingkan perempuan dari wilayah keagamaan. Pada waktu itu, hanya laki-lakilah yang boleh mempelajari Torah (Lima Kitab Musa), kitab Taurat. Disini juga Yesus mengangkat kontra iman antara orang-orang Yahudi yang dianggap saleh, suci, ahli Kitab Suci tetapi kurang percaya dan penuh keraguan, dengan perempuan Samaria yang berdosa, kaum marginal, kafir, tetapi mempunyai iman yang murni.

Yesus dan Para Murid; Sebuah Ketegangan Aktual Hingga Kini (ay. 27-30)
Sekali lagi penginjil Yohanes menampilkan ketegangan antara Yesus dengan sistem budaya patriarki, yang dalam bacaan ini diwakili oleh para murid. Para murid sangat terkejut ketika melihat Yesus sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita Samaria. Mengapa? Keterkejutan para murid bukanlah sesuatu yang biasa atau takjub terhadap sikap Yesus yang radikal. Keterkejutan itu lebih merujuk pada suatu sikap sinisme yang tajam atas perilaku Yesus yang berada di luar koridor tata kebiasaan Yahudi yang telah lazim.  
            Ketegangan ini oleh penginjil Yohanes, mau menggambarkan pertentangan yang sering terjadi antara Yesus dengan orang-orang Yahudi sekaligus ketidaktahuan para murid secara penuh terhadap misi Yesus. Yesus seringkali mengkritik tata aturan Yahudi yang dibuat di atas dasar kepentingan golongan tertentu, berbau diskriminasi. Hal inilah yang seringkali ditantang orang-orang Yahudi. Kepergian perempuan Samaria ketika melihat para murid Yesus datang adalah bukti dari ketidaksetaraan yang sedang terjadi pada saat itu. Bukti keterasingan kaum perempuan dari wilayah religius. Perempuan Samaria itu juga merasa malu dan takut terhadap para murid Yesus. Mengapa? Karena mungkin saja ketika mereka pergi ke kota mereka mendengar kabar tentang hidup perempuan itu sebagai orang berdosa dan najis. Perempuan itu pergi karena takut akan diadili.
            Ketegangan semacam ini merupakan polemik yang hingga saat ini masih terus menjadi topik perbincangan. Isu kemanusiaan yang terus diusung oleh aktivis sosial dari kaum perempuan sebagai tema perjuangan untuk meraih kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan. Namun harus daisadari, semakin gerekan emansipasi digalakan dimana-mana, tapi hambatan dan polemik terus bermunculan. Mungkin dalam level wacana dunia hal ini telah diakui, tapi dalam praksisnya hal ini masih jauh dari harapan. Ini dapat dilihat dalam hidup masyarakat di daerah-daerah kecil yang masih menyuguhkan praktik patriarki murni bahkan telah disakralkan. Dalam hal ini tentu banyak pihak tak bisa berbuat banyak. Mereka melihat ini sebagai budaya kuno yang telah berlangsung lama dan mengikat setiap orang yang terlibat di dalamnya sehingga adalah keliru bila mencoba untuk merestrukturisasikannya ke dalam isu gender saat ini. Ketegangan yang anarki adalah kemungkinan yang pasti akan terjadi bila mencoba melakukan reformasi dalam budaya ini di daerah-daerah kecil (di kampung-kampung terpencil). Tetapi, satu hal yang mungkin adalah gerakan ini harus terus digalakan lewat sosialisasi dan penyuluhan, seperti yang dilakukan Yesus.  

Perempuan Juga Bisa
Sebuah tindakan tak terduga setelah kepergiannya dari sumur Yakub. Perempuan Samaria itu dengan lantang memberi kesaksian kepada orang-orang di kota. Sekalipun imannya belum masak tetapi ia memberi tawaran bagi orang lain untuk percaya kepadanya. Ia bahkan tidak lagi membawa tempayan air bersamanya. Ini menunjukkan kesediaan seorang pewarta untuk lepas dari keterikatannya dengan dunia demi pengabaran kabar sukacita. Sikap perempuan Samaria ini adalah contoh bagi para pewarta masa kini. Harus berani mengatakan kebenaran. Tanpa malu, merasa terhina, Perempuan itu memberikan kesaksian. Ia tidak peduli lagi dengan statusnya. Ia seolah mendapat kekuatan untuk berkata-kata tentang sesuatu yang sebelumnya adalah tabuh untuk dikatakan seorang perempuan, apalagi ini adalah bagian dari wilayah keagamaan.
            Harus disadari bahwa perjuangan untuk kesetaraan adalah suatu usaha yang harus dan selalu dilakukan. Tidaklah mudah membongkar suatu tatanan masyarakat yang sudah mapan dan paten, yang sedang berkembang dan dianggap sakral pada waktu itu. Sekalipun perempuan Samaria itu telah bersaksi dengan berapi-api, tetap saja terjadi kendala.”Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kau katakana, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar juru selamat”. Pernyataan ini sekali lagi menggambarkan ketidakberdayaan perempuan dan kurangnya penghormatan terhadap perempuan. Tidak ada sedikit apresiasi atas usaha yang dilakukannya. Kebahagiaan dan ingin diakui keberadaannya adalah tujuan utama permpuan Samaria itu untuk memberi kesaksian di tengah kota. Namun, kekuatan budaya patriarki ternyata lebih kuat sehingga perempuan itu tidak mencapai harapannya dari kesaksian itu. Inilah kendala yang seringkali dihadapi kaum perempuan di tengah masyarakat. Tetapi, harus diakui bahwa perempuan Samaria adalah model perempuan yang berani dan gigih mempejuangkan kesetaraan derajat dan penghargaan atas keberadaannya. Ini adalah sebuah tindakan provokatif bagi perempuan-perempuan di zaman ini untuk meraih apa yang menjadi hak dan keawajibannya yang telah melekat pada kodratnya.

 Harus Menjadi Kenyataan
            Budaya patriarki masih menjadi faktor yang menentukan sehubungan dengan peranan kaum permpuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat[6]. Sistem budaya ini telah menentukan secara fundamental ketidaksetaraan gender dan sikap superior kaum laki-laki. Patriarki sendiri telah disalahartikan oleh kaum laki-laki sebagai sesuatu yang mensahkan kekuasaannya atas perempuan. Ini mengakibatkan terjadi kesenjangan sosial diantara pria dan wanita dalam berbagai hal, dari lingkup keluarga hingga masyarakat. Dalam berbagai bidang kehidupan, perempuan tidak diberi ruang gerak yang bebas untuk berekspresi, untuk mengasah potensinya. Akhirnya perempuan terus tenggelam. Hidupnya tidak ditentukan dirinya tetapi oleh laki-laki.
            Di zamannya, Yesus hadir sebagai tokoh emansipasi radikal yang melawan budaya patriarki yang telah mapan dan paten dalam lingkup masyarakat Yahudi. Dalam karya-Nya, Yesus berusaha mengangkat kembali martabat perempuan yang tenggelam dalam sistem budaya ini. Ia mencoba mengangkat perempuan dari bayang-bayang kaum laki-laki. Yesus menjamah sungguh-sungguh perempuan yang terkungkung dan jauh dari akses pendidikan, keagamaan, ekonomi, politik. Salah satunya dapat dilihat dari percakapan dengan Perempuan Samaria.
Yesus menyapa, mengajar kepada perempuan Samaria adalah bukti nyata keprihatinan Yesus terhadap kaum perempuan. Yesus begitu kagum karena iman perempuan itu begitu besar melebihi iman orang-orang yang menganggap dirinya suci dan saleh. Perempuan itu yang mulanya ragu-ragu terhadap Yesus akhirnya menjadi percaya dan berani bersaksi di tengah orang banyak.
Yesus telah menghancurkan sekat pembatas anatara Yahudi dan Samaria, antara laki-laki dengan perempuan. Tanggapan positif perempuan Samaria itu terhadap kasih Yesus telah menjadikannya sebagai pewarta untuk bersaksi, meninggalkan keraguan, ketakutan dan berani bersaksi. Walaupun pada akhirnya banyak tantangan yang harus dihadapi, tetapi percaya dan berani bersaksi adalah modal utama untuk menjadi pewarta.           

           

           





Tidak ada komentar:

Posting Komentar