Yesus dan Perempuan Samaria; Mengejar Mimpi Yang Hilang
(Penafsiran Atas Yoh 4: 1-42)
Pengantar
Kekerasan terhadap perempuan merupakan penindasan panjang
dalam sejarah manusia. Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak
asasi manusia yang paling fundamental, yang disebabkan oleh ketidaksetaraan. Kekerasan terhadap
perempuan merupakan skandal Hak Asasi
Manusia abad ini. Perempuan mengalami diskriminasi dan kekerasan di dalam
keluarga, komunitas masyarakat, hingga akhirnya mendunia. Kasus ini tidak saja
menjadi keprihatinan masyarakat dunia dewasa ini tetapi juga menjadi
keprihatinan Yesus di zamannya.
Dalam
kelompok injil sinoptik, injil Yohanes merupakan satu-satunya injil yang secara
mendalam mengulas apresiasi Yesus terhadap kaum perempuan. Penginjil Yohanes
menempatkan tokoh Yesus sebagai tokoh emansipasi yang begitu radikal. Ia
memperkenalkan dirinya sebagai Mesias, pewarta kabar gembira dan pemenuhan dari
kitab Taurat, yang saat itu masih
diragukan oleh orang-orang Yahudi, yang sebagian besarnya adalah tua-tua adat
dan imam-imam yahudi, dan oleh penginjil Yohanes, kaum perempuanlah yang begitu
antusias mendengar pemberitaan Yesus. Yesus juga sangat mengagumi iman mereka
yang begitu besar.
Secara sah
dan meyakinkan, Yesus tampil untuk membongkar tatanan patriarkat masyarakat Yahudi yang tidak humanis, yang semakin menenggelamkan perempuan dalam
ketidakberdayaan secara struktural. Berbagai peraturan dibuat untuk
mengkondisikan perempuan agar tidak berpartisipasi dalam wilayah publik hingga
wilayah keagamaan dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan yang menentukan keberlangsungan hidup mereka.
“Women in
first century Israel were defined by their role as bearer of their husband's
offspring and their function as a sexual release for their husband……..
Since male
lust was considered unavoidable due to the seductive nature of women, contact
between the sexes was to be avoided. Because women were held responsible for
male temptation, they were barred from public life lest they cause a man to sin.”
Melaui tulisan
kecil ini, para pembaca diajak untuk sedikit melihat keprihatinan Yesus
terhadap nasib perempuan di zamannya berdasarkan kisah yang ditulis penginjil
Yohanes. Penulis ingin mengetengahkan tentang peran perempuan sebagai model
bagi orang Kristen dalam hal iman dan kesaksian dewasa ini.
Yahudi
VS Samaria
Bukan
lagi rahasia bahwa ada permusuhan diantara orang Yahudi dan orang Samaria.
Permusuhan ini sudah lama terjadi (sekitar tahun 722 SM) ketika bala tentara
Asyur menduduki bagian utara Israel dengan kekerasan, menghalau para penduduk
ke pembuangan hingga tak pernah kembali lagi, serta menempatkan orang-orang
asing yang berabad-abad kemudian mengadopsi sebagian agama Israel. Mereka ini
selalu dipandang orang-orang Yahudi sebagai “Penakluk setengah kafir” yang
patut dibenci. Di
atas sejarah yang telah berusia panjang ini, orang-orang Yahudi dikondisikan
untuk membenci orang-orang Samaria serta memandang hina mereka dan agama mereka
yang sinkretis itu (campuran Yunani dan Yahudi). Ini diperparah lagi dengan
sikap orang-orang Samaria yang hanya menerima kelima kitab pertama dari
Perjanjian Lama sebagai Kitab Suci.
Mengapa
Yesus harus melewati Samaria (ay. 4-6)?
“.Ia pun meninggalkan Yudea dan kembali ke
Galilea” (ay. 3). Secara geografis, letak daerah Samaria sangat strategis,
yakni terletak diantara Yudea dengan Galilea. Perjalanan antara Galilea menuju
Yudea akan menjadi lebih panjang apabila mencoba menghindari melintasi wilayah
Samaria. Tetapi perjalanan ini juga bisa tercapai dengan melintasi sungai
Yordan. Mengapa Yesus harus melintasi Samaria? Bukankah lebih baik Yesus mengambil
jalan ke Yudea dengan melintasi sungai Yordan karena sebagian besar para
muridnya adalah nelayan dan memiliki perahu. Bukankah berbahaya melewati daerah
musuh?. “Harus” (ay. 4) dimaksudkan oleh
penginjil Yohanes sebagai keharusan ilahi, sesuai dengan kehendak Bapa.
Pemilihan Samaria sebagai tempat persinggahan Yesus selama dua hari dimaksudkan
untuk menjelaskan misi-Nya ke dunia ini untuk menjamah orang-orang yang
terbuang, kaumkafir, seperti orang-orang di Samaria.
Kisah
misi Yesus di Samaria berlanjut dengan perjumpaannya dengan seorang perempuan
Samaria yang hendak menimba air, ketika Yesus sedang melepas lelah di dekat
sumur Yakub. Saat yang dipakai oleh perempuan Samaria itu untuk menimba air
merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan perempuan-perempuan lainnya di
daerah itu, yakni kira-kira pukul dua belas siang ketika hari sedang panas. Ini
menunjukkan keadaan terasing perempuan itu di tengah masyarakat sekampungnya.
Melihat kedatangan perempuan Samaria itu, Yesus pun berkata kepada dia, “berilah Aku minum”. Permintaan ini
sebenarnya mengangkat sikap keterbukaan Yesus untuk berkomunikasi dengan orang
lain di luar bangsa-Nya. Yesus berusaha menerobos tembok pemisah antara Yahudi
dan Samaria. Yesus berusaha membuka komunikasi yang akrab dengan musuh bangsa-Nya
itu. Permintaan Yesus kepada perempuan Samaria itu adalah sebuah permintaan
yang radikal. Mengapa? Tindakannya telah melanggar kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat Yahudi, yakni percakapan dengan wanita asing sangat dilarang para Rabbi dan kontak dengan wanita Samaria
mengandung resiko tidak tahir karena wanita semacam itu dianggap najis oleh
orang Yahudi.
Permintaan
Yesus sebenarnya adalah sebuah gerakan awal Yesus untuk menyampaikan misinya. Air
adalah lambang kehidupan. Yesus meminta air sebenarnya melukiskan permohonan kepada
perempuan itu untuk membuka diri terhadap misinya. Perempuan Samaria yang
mewakili kaum kafir, diminta untuk membuka diri dengan seluruh kehidupannya
untuk menerima kabar gembira Yesus. Selanjutnya Yesus berusaha memprakarsai sebuah
pembicaraan dengan topik Diri-Nya dan karunia yang ditawarkan-Nya kepada
perempuan itu. Karunia dari Allah dan Dia yang berbicara kepadamu, merupakan
dua kata kunci yang dipakai Yesus untuk memperkenalkan dirinya. Karunia itu
sekarang adalah air hidup; tawaran yang melimpah dari Allah melalui Yesus. Dia, merujuk pada pribadi Yesus sendiri
sebagai pengantara.
Pemberitaan
tentang jati diri-Nya kepada perempuan adalah salah satu usaha lain dari penginjil
untuk mengangkat sikap Yesus yang menantang budaya patriarki, yang mengasingkan
perempuan dari wilayah keagamaan. Pada waktu itu, hanya laki-lakilah yang boleh
mempelajari Torah (Lima Kitab Musa), kitab Taurat. Disini juga Yesus
mengangkat kontra iman antara orang-orang Yahudi yang dianggap saleh, suci,
ahli Kitab Suci tetapi kurang percaya dan penuh keraguan, dengan perempuan
Samaria yang berdosa, kaum marginal, kafir, tetapi mempunyai iman yang murni.
Yesus
dan Para Murid; Sebuah Ketegangan Aktual Hingga Kini (ay. 27-30)
Sekali
lagi penginjil Yohanes menampilkan ketegangan antara Yesus dengan sistem budaya
patriarki, yang dalam bacaan ini diwakili oleh para murid. Para murid sangat
terkejut ketika melihat Yesus sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita
Samaria. Mengapa? Keterkejutan para murid bukanlah sesuatu yang biasa atau
takjub terhadap sikap Yesus yang radikal. Keterkejutan itu lebih merujuk pada
suatu sikap sinisme yang tajam atas perilaku Yesus yang berada di luar koridor
tata kebiasaan Yahudi yang telah lazim.
Ketegangan ini oleh penginjil
Yohanes, mau menggambarkan pertentangan yang sering terjadi antara Yesus dengan
orang-orang Yahudi sekaligus ketidaktahuan para murid secara penuh terhadap
misi Yesus. Yesus seringkali mengkritik tata aturan Yahudi yang dibuat di atas
dasar kepentingan golongan tertentu, berbau diskriminasi. Hal inilah yang
seringkali ditantang orang-orang Yahudi. Kepergian perempuan Samaria ketika
melihat para murid Yesus datang adalah bukti dari ketidaksetaraan yang sedang
terjadi pada saat itu. Bukti keterasingan kaum perempuan dari wilayah religius.
Perempuan Samaria itu juga merasa malu dan takut terhadap para murid Yesus.
Mengapa? Karena mungkin saja ketika mereka pergi ke kota mereka mendengar kabar
tentang hidup perempuan itu sebagai orang berdosa dan najis. Perempuan itu
pergi karena takut akan diadili.
Ketegangan semacam ini merupakan
polemik yang hingga saat ini masih terus menjadi topik perbincangan. Isu
kemanusiaan yang terus diusung oleh aktivis sosial dari kaum perempuan sebagai
tema perjuangan untuk meraih kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan. Namun
harus daisadari, semakin gerekan emansipasi digalakan dimana-mana, tapi
hambatan dan polemik terus bermunculan. Mungkin dalam level wacana dunia hal
ini telah diakui, tapi dalam praksisnya hal ini masih jauh dari harapan. Ini
dapat dilihat dalam hidup masyarakat di daerah-daerah kecil yang masih menyuguhkan
praktik patriarki murni bahkan telah disakralkan. Dalam hal ini tentu banyak
pihak tak bisa berbuat banyak. Mereka melihat ini sebagai budaya kuno yang
telah berlangsung lama dan mengikat setiap orang yang terlibat di dalamnya
sehingga adalah keliru bila mencoba untuk merestrukturisasikannya ke dalam isu
gender saat ini. Ketegangan yang anarki adalah kemungkinan yang pasti akan
terjadi bila mencoba melakukan reformasi dalam budaya ini di daerah-daerah
kecil (di kampung-kampung terpencil). Tetapi, satu hal yang mungkin adalah
gerakan ini harus terus digalakan lewat sosialisasi dan penyuluhan, seperti
yang dilakukan Yesus.
Perempuan Juga Bisa
Sebuah
tindakan tak terduga setelah kepergiannya dari sumur Yakub. Perempuan Samaria
itu dengan lantang memberi kesaksian kepada orang-orang di kota. Sekalipun
imannya belum masak tetapi ia memberi tawaran bagi orang lain untuk percaya
kepadanya. Ia bahkan tidak lagi membawa tempayan air bersamanya. Ini
menunjukkan kesediaan seorang pewarta untuk lepas dari keterikatannya dengan
dunia demi pengabaran kabar sukacita. Sikap perempuan Samaria ini adalah contoh
bagi para pewarta masa kini. Harus berani mengatakan kebenaran. Tanpa malu,
merasa terhina, Perempuan itu memberikan kesaksian. Ia tidak peduli lagi dengan
statusnya. Ia seolah mendapat kekuatan untuk berkata-kata tentang sesuatu yang
sebelumnya adalah tabuh untuk dikatakan seorang perempuan, apalagi ini adalah
bagian dari wilayah keagamaan.
Harus disadari bahwa perjuangan
untuk kesetaraan adalah suatu usaha yang harus dan selalu dilakukan. Tidaklah
mudah membongkar suatu tatanan masyarakat yang sudah mapan dan paten, yang
sedang berkembang dan dianggap sakral pada waktu itu. Sekalipun perempuan
Samaria itu telah bersaksi dengan berapi-api, tetap saja terjadi kendala.”Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa
yang kau katakana, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa
Dialah benar-benar juru selamat”. Pernyataan ini sekali lagi menggambarkan
ketidakberdayaan perempuan dan kurangnya penghormatan terhadap perempuan. Tidak
ada sedikit apresiasi atas usaha yang dilakukannya. Kebahagiaan dan ingin
diakui keberadaannya adalah tujuan utama permpuan Samaria itu untuk memberi
kesaksian di tengah kota. Namun, kekuatan budaya patriarki ternyata lebih kuat
sehingga perempuan itu tidak mencapai harapannya dari kesaksian itu. Inilah
kendala yang seringkali dihadapi kaum perempuan di tengah masyarakat. Tetapi,
harus diakui bahwa perempuan Samaria adalah model perempuan yang berani dan
gigih mempejuangkan kesetaraan derajat dan penghargaan atas keberadaannya. Ini
adalah sebuah tindakan provokatif bagi perempuan-perempuan di zaman ini untuk
meraih apa yang menjadi hak dan keawajibannya yang telah melekat pada kodratnya.
Harus
Menjadi Kenyataan
Budaya patriarki masih menjadi
faktor yang menentukan sehubungan dengan peranan kaum permpuan dan laki-laki
dalam keluarga dan masyarakat[6].
Sistem budaya ini telah menentukan secara fundamental ketidaksetaraan gender
dan sikap superior kaum laki-laki. Patriarki sendiri telah disalahartikan oleh
kaum laki-laki sebagai sesuatu yang mensahkan kekuasaannya atas perempuan. Ini
mengakibatkan terjadi kesenjangan sosial diantara pria dan wanita dalam
berbagai hal, dari lingkup keluarga hingga masyarakat. Dalam berbagai bidang
kehidupan, perempuan tidak diberi ruang gerak yang bebas untuk berekspresi,
untuk mengasah potensinya. Akhirnya perempuan terus tenggelam. Hidupnya tidak
ditentukan dirinya tetapi oleh laki-laki.
Di zamannya, Yesus hadir sebagai
tokoh emansipasi radikal yang melawan budaya patriarki yang telah mapan dan
paten dalam lingkup masyarakat Yahudi. Dalam karya-Nya, Yesus berusaha
mengangkat kembali martabat perempuan yang tenggelam dalam sistem budaya ini.
Ia mencoba mengangkat perempuan dari bayang-bayang kaum laki-laki. Yesus
menjamah sungguh-sungguh perempuan yang terkungkung dan jauh dari akses
pendidikan, keagamaan, ekonomi, politik. Salah satunya dapat dilihat dari
percakapan dengan Perempuan Samaria.
Yesus
menyapa, mengajar kepada perempuan Samaria adalah bukti nyata keprihatinan
Yesus terhadap kaum perempuan. Yesus begitu kagum karena iman perempuan itu
begitu besar melebihi iman orang-orang yang menganggap dirinya suci dan saleh. Perempuan
itu yang mulanya ragu-ragu terhadap Yesus akhirnya menjadi percaya dan berani
bersaksi di tengah orang banyak.
Yesus
telah menghancurkan sekat pembatas anatara Yahudi dan Samaria, antara laki-laki
dengan perempuan. Tanggapan positif perempuan Samaria itu terhadap kasih Yesus
telah menjadikannya sebagai pewarta untuk bersaksi, meninggalkan keraguan,
ketakutan dan berani bersaksi. Walaupun pada akhirnya banyak tantangan yang
harus dihadapi, tetapi percaya dan berani bersaksi adalah modal utama untuk
menjadi pewarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar