Minggu, 30 Oktober 2016

SISTEM KEKERABATAN DI DALAM MASYARAKAT KAMPUNG DOKA, DESA RADABATA, KABUPATENG NGADA-NTT


BAB I
PENDAHULUAN

            Pada bab ini, penulis akan memaparkan latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, kegunaan penulisan, metode penelitian, hipotesis, dan sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang
Manusia dalam semua fenomena interen yang dialaminya, menyadari suatu yang inti, yang tidak tersangkalkan sebagai aku yang real atau aku yang mengada. Aku merupakan kenyataan tertentu yang bernilai, di mana memuat arti dan isi yang tidak lain adalah aku, sehingga aku terbedakan dengan segala sesuatu yang bukan aku. Dalam proses mengada, aku berhubungan dengan ‘ada’ yang lain untuk menjadi ‘ada’ secara penuh. Kenyataan di atas menunjukkan ciri ontologis manusia sebagai ens sociale yaitu ‘ada’ yang senantiasa membutuhkan yang lain. Ciri ontologis ini mau menampakkan bahwa kepenuhan manusia terjadi karena dorongan untuk bergaul dan berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, hidup bersama dengan orang lain adalah kenyatan dan tuntutan kodrat agar manusia bisa berkembang menjadi manusia sejati.
Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang berada di dunia bersama dengan yang lain. Keberadaan manusia bersama dengan yang lain, co-esse (ada bersama), memungkinkannya untuk dapat memanifestasikan seluruh dimensi manusiawinya. Perwujudan seluruh dimensi manusiawi itu terjadi dalam relasi dengan yang lain. Manusia yang melibatkan diri dalam relasi dengan yang lain juga serentak menyadari dirinya sebagai yang otonom, dapat menentukan dirinya sendiri. Kesadaran ini juga membuat manusia berusaha menemukan arti keberadaannya yang otonom itu. Arti keberadaannya bukanlah mutlak sebagai sesuatu yang terberikan begitu saja, tetapi semuanya tertata dalam proses jalinan interaksi di antara dirinya dengan yang lain, sesamanya dan alam dunia. Dalam kebersamaan itu, manusia selalu dan terus berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan sekitar. Dalam interaksi itu, manusia menemukan hakekat dan eksistensinya sekaligus mempertegas keberadaannya sebagai sebuah realitas yang ‘ada’ dan berada di tengah dunia. Dalam kontak dengan sesama dan alam sekitarnya, manusia mampu memberi arti bagi kehadiran dan kehidupan yang sedang dihidupinya.
            Manusia dalam segala tindakan dan kegiatannya, selalu berusaha menemukan dan mempertegas hakekat dirinya. Manusia tidak sekedar ada tetapi ia menunjukkan keberadaannya dalam komunikasi yang dialektis dengan sesama dan dunia sekitarnya. Komunikasi ini merupakan sebuah kebutuhan dasariah manusia sebagai ‘ada’ di antara ‘ada’ yang lain dan keberadaannya di tengah dunia. Dalam komunikasi itu pula, manusia mengekspresikan dirinya dalam interaksi yang dialektis sebagai konsekuensi dari hakekatnya. Komunikasi itulah yang pada akhirnya membentuk masyarakat dan melahirkan kebudayaan, hasil cipta daya dan budi manusia yang memuat arti dan nilai. Masyarakat dan kebudayaan tidak sekedar ada, tetapi merupakan konsekuensi dari kebersamaan dan jawaban atas kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Kebudayaan adalah sebuah proses integrasi manusia ke dalam sebuah identitas bersama dan dari sana dihasilkan berbagai macam produk kebudayaan. Produk kebudayaan itu, antara lain: bahasa, kesenian, perkawinan, permainan, ritual-kultus, adat-istiadat. Dalam elemen-elemen ini, manusia mengeksplorasi dan mengekspresikan seluruh dimensi manusiawi di tengah dunia secara beradab. Pada akhirnya, segala relasi manusia ini membentuk sebuah relasi dialektis yang selalu terarah kepada keharmonisan dan keteraturan. Levi-Strauss, seorang antropolog menyimpulkan bahwa masyarakat ‘primitif’ didorong oleh keinginan kuat untuk membangun keteraturan di dunia.[1]
Keberadaan manusia di tengah masyarakat tidak sekedar menghasilkan berbagai produk-produk kebudayaan tetapi juga merupakan ungkapan keterdesakkan. Manusia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan alam, manusia melakukan adaptasi aktif dengan lingkungan (bukan untuk menguasai alam), manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai homo economicus, juga sadar bahwa segala kebutuhannya tidak dapat dipenuhi sendiri tetapi semuanya dapat terpenuhi dalam kebersamaan dengan yang lain. Pada akhirnya manusia di tengah manusia yang lain dan di tengah alam dunia, membentuk sebuah komunitas masyarakat. Komunitas ini bertumbuh atas dasar kesadaran alamiah manusia sebagai makhluk sosial dengan segala konsekuensinya. Di tengah masyarakat ini, manusia bertumbuh dan berkembang. Manusia bertumbuh menjadi pribadi yang sejati sekaligus manusia berusaha mengembangkan diri dalam mempertahankan kelangsungan keturunannya. Di tengah masyarakat ini pula, manusia membangun dan mengembangkan jalinan relasi sosial. Manusia membentuk sebuah sistem kekerabatan. Kekerabatan adalah pranata sosial yang paling penting di dalam sebuah komunitas masyarakat.[2] Komunitas kekerabatan dalam banyak hal mengurusi kelangsungan hidup sebuah kelompok dan anggota kelompok, seperti: perkawinan, keamanan dan jati diri sosial kelompok. Kekerabatan sebagai pranata sosial berusaha mengantar manusia ke dalam tataran nilai yang luhur. Artinya, sistem kekerabatan membantu manusia untuk hidup baik dengan menjujung tinggi nilai, norma dan aturan di dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat menuju kehidupan bersama secara layak, makmur, aman, tenteram, damai, dan sejahtera.
Di dalam masyarakat Ngadhu-Bhaga (Bajawa-Ngada), khususnya masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, terdapat juga sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan itu terdiri atas tiga komunitas kekerabatan, yakni sistem kekerabatan woe, sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ dan sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan. Sistem kekerabatan ini adalah hasil reprensentasi interaksi manusia, bukan hanya sebagai kontak ‘tubuh diri’ yang bersifat personal semata-mata, tetapi juga memuat interaksi ‘tubuh diri’ yang bersifat sosial.[3]
            Kekerabatan woe (klan/suku) adalah kesatuan sosial berdasarkan hubungan genealogis.[4] Artinya, secara genealogis seluruh anggota woe berasal dari leluhur yang sama, mempunyai pertalian hubungan darah langsung dari leluhur yang sama. Namun, pada saat ini, keturunan langsung yang dimaksud di atas sudah mulai berkurang bahkan hampir tidak ada di dalam setiap woe di dalam Kampung Doka. Hal ini dikarenakan oleh kematian dan juga oleh karena kurangnya anggota yang berjenis kelamin perempuan di dalam sebuah woe (masyarakat Ngadhu menganut budaya matrilineal). Dasar pembentukan dari persekutuan ini adalah kesadaran akan kesamaan leluhur yang menurunkan mereka. Mereka bersatu atas kesadaran bahwa mereka berasal dari keturunan ibu-bapak asal yang sama, yang mana dalam sistem simbolnya terungkap dalam ikon-ikon adat berikut: ngadhu-bhaga, meri-peo dan anaie.[5] Artinya, mereka bersatu karena diikat oleh kesamaan leluhur yang disimbolkan oleh ngadhu-bhaga, meri-peo, dan anaie. Woe sebagai sistem kekerabatan orang Ngadhu pada umumnya dan orang Doka pada khususnya, menunjuk juga pada status sosial yang dimiliki oleh seseorang. Orang yang berkumpul dalam satu woe (klan) juga disebut ‘satu pintu’ atau mogo seone, satu rahim’ atau mogo setuka (mogo: bersama, tuka: rahim). Pengertian mogo seone dan mogo setuka (‘satu rahim’) diartikan sebagai berasal dari satu rahim ibu yang sama. Woe adalah bagian penting dalam kehidupan sosial masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada khususnya. Woe sangat menentukan interaksi sosial manusia di dalamnya, khususnya dalam hal perkawinan dan dalam proses pewarisan harta benda. Untuk menjelaskan kekerabatan woe di dalam masyarakat Kampung Doka, penulis meneliti dua woe yang berdiam di wilayah Kampung Doka, yakni Woe Bhaku Dengi Dula dan Woe Tipo.
            Selain sistem kekerabatan woe, ada juga sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati.’ Sistem kekerabatan ini merupakan bentuk klasifikasi sosial di dalam masyarakat tradisional Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada khususnya. Klasifikasi ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam interaksi sosial seseorang di tengah masyarakat. Klasifikasi ini membagi masyarakat Kampung Doka ke dalam tiga kelompok, yakni ga’e (golongan atas), kisa (golongan tengah) dan azi ana (golongan bawah). Ketiga kelompok sosial ini mempunyai peranan dan kedudukan yang berbeda di tengah masyarakat.
            Sistem kekerabatan yang ketiga adalah sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan. Perkawinan sebagai sumbu utama perkembangan masyarakat merupakan salah satu hal penting yang sangat diperhatikan oleh masyarakat Kampung Doka. Salah satu kebutuhan biologis manusia adalah kebutuhan manusia akan ‘seks.’ Perkawinan telah mengangkat arti ‘seks’ ke dalam tataran yang lebih humanis. Seks tidaklah sekedar kebutuhan biologis tetapi wujud keterarahan manusia untuk melanjutkan keturunan secara beradab. Kekerabatan berdasarkan perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan dua sistem kekerabatan di atas.  
Ketertarikan penulis untuk membahas dan mengkaji sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata bertolak dari kepedulian penulis atas situasi yang sedang terjadi di tengah masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, dalam beberapa problem empirik berikut:
1.      Kurangnya pengetahuan generasi muda sebagai penjaga/penerus kelestarian budaya dalam memahami sistem kekerabatan di dalam masyarakat budaya Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada khususnya, termasuk generasi muda yang lahir di daerah diaspora seperti penulis. Melalui penggarapan tulisan ini, penulis sendiri berusaha meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.
2.      Fenomena arus globalisasi yang terus merembes hingga ke akar peradaban manusia lokal, khususnya masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, mulai memudarkan arti dan makna dari sistem kekerabatan yang dibangun dan dihayati. Arus globalisasi yang dimaksud adalah arus globalisasi yang bersifat negatif, yakni individualistis dan materialistis.
3.      Adanya fenomena penurunan penghayatan akan arti dan makna dari sistem simbol-simbol adat di dalam masyarakat budaya Kampung Doka, yang adalah dasar pijak dari pembentukan sebuah sistem kekerabatan.
4.      Di dalam realita kehidupan sosial masyarakat Kampung Doka, muncul fenomena yang memperlihatkan bahwa arti dan makna dari kekerabatan sudah tidak lagi dihargai. Secara faktual hal ini terlihat dalam pertikaian antara individu-individu yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan nilai-nilai yang terkandung dan dijunjung tinggi di dalam sebuah sistem kekerabatan, yakni persatuan, persaudaran, kebersamaan. Misalnya pada tahun 2007 telah terjadi sengketa tanah ulayat di dalam Woe Tipo.[6]
Atas dasar latar belakang dan keprihatinan di atas, penulis sebagai generasi muda dari Kampung Doka, Desa Radabata yang sedang bertumbuh dan berproses di tengah dunia, berusaha menyajikan sebuah refleksi filosofis akan arti dan makna serta dasar pijak dari sistem kekerabatan di dalam kehidupan sosial masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata dalam tulisan yang berjudul Sistem Kekerabatan Di Dalam Masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada.

1.2 Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana keberadaan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka?
2. Apa dasar pijak pembentukan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka?
3. Manakah makna visioner dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka?

1.3  Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini, yakni:
  1. Untuk memahami arti dan makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata.
  2. Untuk memahami dasar pijak pembentukan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.
  3. Menemukan makna visioner dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.
  4. Untuk memenuhi sebagian syarat guna mendapatkan gelar sarjana filsafat.
1.4 Kegunaan Penulisan
1.4.1 Bagi Masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata
Melalui tulisan ini, diharapkan dapat mengangkat kembali kesadaran masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata akan pentingnya sistem kekerabatan dalam kehidupan sosial. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata untuk mengembalikan keluhuran arti dan makna sistem kekerabatan secara benar dari berbagai bentuk pereduksian ke dalam konsep ego sempit ataupun dari pengaruh arus globalisasi yang bersifat negatif, yakni individualistis dan materialistis. Penulis juga mengharapkan bahwa tulisan ini dapat meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan di antara masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, khususnya dalam ikatan kekerabatan. Terkhususnya bagi generasi muda Kampung Doka untuk terus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam sistem kekerabatan.

1.4.2 Bagi Civitas Academica FFA
Tulisan ini diharapkan dapat membantu para mahasiswa Fakultas Filsafat Agama untuk memahami dan merefleksikan kearifan lokal sebagai basis pembangunan manusia yang matang ke arah yang baik dan benar sesuai disiplin ilmu yang digeluti.

1.4.3 Bagi Penulis
Tulisan ini diharapkan dapat membantu penulis untuk semakin memahami sistem kekerabatan di dalam masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata pada khususnya, sekaligus menambah khazanah pengetahuan penulis akan kearifan lokal.

1.5 Metode Penelitian
            Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mencari, menemukan dan memahami secara kualitatif sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di Kampung Doka, Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Pertimbangan pemilihan lokasi ini, yakni: (1). Lokasi ini adalah daerah asal penulis berdasarkan garis keturunan ibu. (2). Pada lokasi ini terdapat jumlah woe yang cukup banyak (14 woe) beserta simbol-simbol agama etniknya. (3). Kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ masih dipegang teguh di dalam masyarakat Kampung Doka, khususnya dalam hal perkawinan, sekalipun sanksi atas pelanggarannya tidak setegas zaman dahulu.
            Ruang lingkup penelitian kualitatif ini dibatasi oleh tiga pertanyaan dasar yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan dari skripsi ini. Pertama, berkaitan dengan keberadaan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka. Kedua, berkaitan dengan dasar pijak dari pembentukan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka. Ketiga, berkaitan dengan arti dan makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.
            Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa kata-kata, kalimat dan ungkapan. Data kualitatif itu pada dasarnya memuat hal-hal yang dikatakan tentang Kampung Doka (asal-usul masyarakatnya, organisasi sosialnya dan sistem kekerabatan). Data juga berbicara tentang arti dan makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka. Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer ini adalah data-data dari lapangan penelitian yang diperoleh dari pengamatan, pengalaman dan wawancara serta diskusi bersama para informan. Sumber data sekunder dalam penelitian adalah data dari kepustakaan dan hasil penelitian yang telah dipublikasi.
            Data yang diperoleh dianalisis dan diintepretasi secara filosofis. Selanjutnya data itu dideskripsikan dalam wujud skripsi ini.

1.6 Hipotesis
Hidup bersama dengan orang lain adalah kenyatan dan tuntutan kodrat agar manusia bisa berkembang menjadi manusia sejati. Manusia lahir dan berkembang dalam suatu lingkungan manusiawi. Mulanya ia hadir dalam keluarga sebagai unit sosial terkecil di dalam sebuah masyarakat. Di dalam keluarga ini, ‘yang lain’ dilihat sebagai kerabat. Maka terbentuklah komunitas kekerabatan di dalamnya berdasarkan relasi-relasi khusus dan tertutup sebab baginya keluarga adalah ‘yang lain,’ yang mengadakan dirinya. Konsep demikian berkembang luas di dalam seluruh lapisan masyarakat dan terus bertahan dari waktu ke waktu.
Kekerabatan sebagai sebuah kumpulan relasi interpersonal yang memuat arti dan makna, juga terdapat di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata. Kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka adalah kekerabatan yang unik. Keunikan itu terletak pada basis dari kekerabatan itu, yakni adat-istiadat beserta produk-produk yang dihasilkannya. Kekerabatan pada masyarakat Kampung Doka tidak dilihat sebatas keluarga inti (bapak, mama, kakak dan adik serta keturunan selanjutnya) tetapi lintas batas, artinya tidak terbatas pada sebuah wilayah tertentu. Di dalam masyarakat adat Kampung Doka, terdapat tiga komunitas kekerabatan, yakni kekerabatan woe (klan), kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati,’ dan kekerabatan berdasarkan perkawinan. Ketiga kekerabatan ini mempunyai arti dan makna di dalam kehidupan sosial masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata.
 
1.7 Sistematika Penulisan
            Pembahasan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah bab pendahuluan yang mencakup latar belakang penulisan dan alasan pengangkatan tema tentang sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, kegunaan penulisan, metode penelitian, hipotesis dan sistematika penulisan.
            Pada bab kedua, penulis akan memaparkan gambaran umum Kampung Doka, Desa Radabata. Pembahasan ini mencakup letak dan kondisi geografis, keadaan penduduk, keadaan ekonomi dan kehidupan sosial budaya, kesehatan masyarakat, kehidupan religius, pola pemukiman dan identifikasi penduduk dari masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata.
Pada bab ketiga, penulis akan memaparkan konsep kekerabatan serta dasar pijak dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka. Pada bab keempat, penulis akan membahas arti dan makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka. Pada bagian ini penulis akan mengangkat nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem kekerabatan tersebut. Di akhir dari pembahasan pada bab ini, penulis akan menutupnya dengan sebuah refleksi kritis. 
            Penulis menutup seluruh rangkaian pembahasan ini dengan sebuah kesimpulan serta saran yang akan dikemukakan dalam bab kelima.
 
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT
KAMPUNG DOKA, DESA RADABATA

Pada bab ini, penulis akan menyajikan gambaran umum masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata. Pembahasan ini mencakup letak dan kondisi geografis, keadaan penduduk, keadaan ekonomi dan kehidupan sosial budaya, kesehatan masyarakat, kehidupan religius, pola pemukiman dan identifikasi penduduk dari masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata.

2.1 Letak Dan Kondisi Geografis Desa Radabata
            Radabata merupakan sebuah desa yang berdiri pada tanggal 27 Juli 1969. Sebelumnya, desa ini adalah gabungan beberapa kampung, yakni: Doka, Linapau, Waso dan Jadho, yang biasa disebut Doka Liwaja.[7] Desa ini masuk dalam wilayah administrasi dari Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Desa ini terletak ± 4 km ke arah selatan dari ibu kota kecamatan dan ± 18 km dari ibu kota kabupaten. Secara geografis, orang Radabata termasuk dalam kelompok budaya ngadhu-bhaga menurut pembagian wilayah budaya di dalam Kabupaten Ngada. Ada lima kelompok wilayah budaya dalam Kabupaten Ngada (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Nagekeo), yaitu: ngadhu-bhaga, So’a (penduduk asli Kabupaten Ngada), Nage (pedalaman: daerah Boawae, Raja, Mbay), Keo (daerah pantai selatan: Nangaroro, Mauponggo, Maunori) dan Riung-Wangka.[8]
Wilayah Desa Radabata berada pada dataran tinggi dengan ketinggian 1250 meter dari permukaan laut. Topografi wilayah ini adalah perbukitan dengan curah hujan yang tinggi, rata-rata 1800 mm per tahun. Tanah dalam wilayah ini sangat subur dan digunakan sebagai lahan pertanian dengan pola pertanian berladang. Kelekatan pada kegiatan berladang atau pengolahan ladang merupakan ciri umum orang Radabata. ‘Uma maza’ (uma: ladang atau kebun dan maza: kering) mengacu pada usaha pertanian lahan kering, ‘tau uma’ (tau: membuat atau membuka) berarti membuka daerah baru untuk menjadi ladang, ‘ngo uma’ (ngo: kerja) adalah ungkapan umum yang merujuk pada segala bentuk kegiatan berladang.
Desa Radabata memiliki wilayah seluas 8889 kilometer persegi. Desa Radabata terdiri dari Kampung Doka (Rongoba’a, Ladoliwu, Taranage, Bosoka, Bopoma, dan Lokalina) dan Kampung Wajamala serta terdiri dari empat dusun, yakni: Dusun Taranage, Dusun Ladoliwu, Dusun Maiwali dan Dusun Wajamala. Batas-batas wilayahnya, yakni: sebelah utara berbatasan dengan Desa Dadawea (Kec. Golewa), sebelah selatan dengan Desa Were I (Kec. Golewa) dan Desa Naruwolo (Kec. Jerebu’u), sebelah timur dengan Desa Sadha dan Desa Were II (Kec. Golewa) dan sebelah barat dengan Desa Rakateda I (Kec. Golewa), Desa Dariwali dan Desa Naruwolo II (Kec. Jerebu’u).

2.2 Keadaan Penduduk
            Jumlah penduduk Desa Radabata berdasarkan hasil pendataan bulan Mei tahun 2010 adalah 305 kepala keluarga dengan jumlah total seluruh masyarakat adalah 1442 jiwa. Sebagian besar penduduk Desa Radabata adalah berjenis kelamin perempuan.
            Mata pencaharian masyarakat Desa Radabata pada umumnya adalah bertani dan bercocok tanam. Hal ini ditunjang oleh keadaan alam yang kondusif, seperti: tanah yang subur dan curah hujan yang tinggi. Dapat dipastikan dalam setahun, penduduk setempat dapat memanen hasil bumi sebanyak dua kali, khususnya tanaman umur pendek. Selain bertani, ada juga yang bekerja sebagai pengusaha kecil dan menengah dan ada juga yang berprofesi sebagai PNS (guru dan pegawai daerah).
            Dalam bidang pendidikan, sebagian besar penduduk Desa Radabata hanya menamatkan pendidikan formal di bangku Sekolah Dasar. Namun akhir-akhir ini, kesadaran akan pentingnya pendidikan semakin berkembang seiring dengan program pendidikan luar sekolah yang saat ini sedang dijalankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Ngada melalui Dinas PPO. Sebagian penduduk dapat melanjutkan kembali pendidikan yang telah terhambat dan dapat menyelesaikan pendidikan setara dengan SMA. Di samping itu, ada pula sebagian penduduk yang sedang dan telah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi (di daerah Ende, Kupang, Makasar dan Pulau Jawa). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat SDM masyarakat Desa Radabata dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

2.3 Keadaan Ekonomi Masyarakat
            Masyarakat Desa Radabata sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada umumnya hidup sebagai petani. Kehidupan ekonomi mereka sebagai petani sangat dipengaruhi oleh tanah serta kondisi alam. Cara pengolahan tanah yang dilakukan masih sangat sederhana, sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengalaman mereka. Pola pertanian yang diterapkan pada umumnya adalah berladang dengan sistem holtikultura, yaitu berbagai jenis tanaman yang ditanam bersama-sama dalam satu bidang.
            Secara ekonomis, kehidupan masyarakat Desa Radabata cukup mapan. Sebagian besar penghasilan masyarakat berasal dari hasil pertanian. Hasil pertanian itu, antara lain: jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, padi ladang dan juga didukung oleh hasil perkebunan, seperti: kopi, kemiri, kakao, dan vanili. Selain hidup dari pertanian, masyarakat Desa Radabata juga memiliki pola hidup beternak, seperti: beternak babi, kerbau, kuda, sapi, unggas. Pada zaman dahulu, pola hidup beternak ini dimaksudkan untuk memperlancar urusan ritual adat yang membutuhkan hewan korban. Namun pada saat ini, hal ini sudah dilakukan secara intensif serta mendatangkan tambahan pendapatan ekonomi keluarga.

2.4 Keadaan Sosial Budaya
            Masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata merupakan bagian dari kelompok pendukung budaya ngadhu-bhaga, yang mana dalam pengaturan garis keturunan, mengikuti garis keturunan ibu (matrilineal). Pola matrilineal ini tergambar jelas dalam sistem kekerabatan di dalam masyarakat budaya Kampung Doka, Desa Radabata.
            Pada umumnya, masyarakat adat Kampung Doka, Desa Radabata dikelompokkan ke dalam woe, yakni kesatuan adat berdasarkan kesamaan leluhur, baik secara mitologis maupun genealogis. Dasar pembentukan ini adalah kesadaran akan kesamaan keturunan. Mereka bersatu atas kesadaran bahwa mereka berasal dari keturunan leluhur yang sama, yang mana dalam sistem simbolnya terungkap dalam ikon-ikon adat berikut: ngadhu-bhaga, meri-peo dan anaie. Pada saat ini, ada 14 woe yang mendiami wilayah Kampung Doka, Desa Radabata, yakni: Woe Keli, Woe Genga, Woe Be, Woe Gisi A, Woe Gisi B, Woe Sito, Woe Tipo, Woe Taka, Woe Lobe, Woe Lodo, Woe Kila, Woe Rudu, Woe Mulu, Woe Ngate, Woe Bhaku Dhengi Dhula dan Woe Laja. Woe Laja dan Woe Be adalah ‘jaga pu’u taru lobo lelu,’ yakni ‘penjaga tanah,’ pusatnya di Kampung Sadha. Mereka berada di Kampung Doka karena memiliki sebuah sa’o (rumah tradisional) dan juga karena mereka memiliki ngia ngora (tanah ulayat) di dalam wilayah adat Kampung Doka. Satu woe umumnya memiliki empat buah sa’o (rumah tradisional), yaitu saka puu, saka lobo, wuagho saka puu dan wuaghao saka lobo. Woe dipimpin oleh seorang mosalaki.
            Desa Radabata termasuk dalam satu kelompok sosial karena membentuk satu persekutuan yang disebut ulueko. Ulueko (ulu: kepala dan eko: ekor) adalah perhimpunan beberapa kampung yang masih mempunyai hubungan, seperti: kesamaan sejarah, kesamaan leluhur atau karena terdapat dalam satu wilayah pemukiman yang sama. Misalnya: ‘Ulu Ladoliwu Eko Taranage,’ yang artinya, ‘berawal dari Kampung Ladoliwu dan berakhir di Kampung Taranage.’

2.5 Kesehatan Masyarakat[9]
            Arti kesehatan bagi masyarakat Kampung Doka pada zaman dahulu dan saat ini, sangat berbeda. Pada zaman dahulu orang Doka mengerti kesehatan dalam pengertian yang sangat terbatas. Kesehatan bagi mereka selalu dihubungkan dengan ‘tindakan roh’ dalam hidup manusia. Roh-roh itu dipercaya hidup bersama manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang masih bersifat animisme dan dinamisme. Dampaknya masih terasa sampai sekarang. Roh-roh itu dipercaya dapat menentukan nasib manusia termasuk kesehatan manusia. Karena itu untuk ‘menjaga kesehatan,’ setiap orang harus berusaha menciptakan relasi yang baik dengan para roh lewat doa dan upacara korban. Orang yang sakit dengan menunjukkan ciri-ciri yang tidak lazim, dipercaya telah mendapat kutukan dari para roh. Agar si penderita dapat sembuh, harus diadakan sebuah upacara korban demi penulihan kesehatan.
            Pada saat ini, orang Doka telah melihat kesehatan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan dunia medis. Hal ini didukung dengan berdirinya poliklinik desa, hadirnya puskesmas, BKIA dan balai penanggulangan masalah kesehatan yang dapat dijangkau masyarakat. Selain itu, masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata juga telah menikmati program pelayanan kesehatan dari pemerintah, seperti: imunisasi pada balita, pengobatan gratis dan penyuluhan kesehatan. Walaupun demikian, sebagai masyarakat adat, masyarakat Kampung Doka masih mempercayai dan menganut pemahaman tentang arti kesehatan pada zaman dahulu. 

2.6 Kehidupan Religius
            Konsep masyarakat adat Kampung Doka, Desa Radabata terhadap wujud tertinggi sama dengan konsep masyarakat Ngadhu pada umumnya. Konsep ini menjadi pokok kepercayaan asli masyarakat Kampung Doka sebelum masuknya ajaran Gereja Katolik Roma.
            Dalam konsep kepercayaan itu, masyarakat Kampung Doka percaya dan mengakui adanya ‘Wujud Tertinggi’ atau Yang Ilahi. Dalam konsep religi lokal, Yang Ilahi disapa dalam nama umum, ine-ema (‘ibu-bapak’) dan Dewa (Tuhan) dengan beberapa variannya.[10] Dalam konteks inkulturasi dengan Bahasa Austronesia dan Sansekerta, orang Ngadhu menyapa Yang Ilahi dengan panggilan ‘Dewa Zeta Nitu Zale’ atau ‘Nitu Dewa. Hingga kini, nama Dewa masih bergema dalam ritus-ritus orang Ngadhu dan nampaknya masih dihayati dengan baik, khususnya dalam diri generasi tua yang masih setia di rumah-rumah tradisional.
Sebagai penganut ajaran Gereja Katolik Roma yang menyembah Tritunggal Maha Kudus, nama Yang Ilahi tersebut di inkulturasikan dalam bahasa lokal dengan panggilan Dewa Ema, Dewa Ana dan Dewa Ngaru Santo. Seluruh masyarakat Kampung Doka. Desa Radabata menganut ajaran Gereja Katolik Roma (100%). Kontak pertama dengan ajaran Gereja Katolik Roma diperkirakan terjadi pada tahun 1920, bertepatan dengan kedatangan tiga orang misionaris katolik dari Serikat Sabda Allah (SVD), yaitu: P. J. Ettel, SVD, P. H. Helinge, SVD dan Br. Segeriak, SVD. Sejak kedatangan para misionaris tersebut, usaha pendalaman iman katolik dimulai. Usaha ini semakin maju dengan berdirinya Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko pada tanggal 29 September 1929 dan kedatangan para Suster Abdi Roh Kudus ke Todabelu pada tahun 1930.

2.7 Pola Pemukiman[11]
2.7.1 Nua atau Kampung
            Nua atau kampung adalah sebuah bentuk pemukiman tradisional yang didiami oleh beberapa woe, tetapi ada pula satu kampung yang hanya dihuni oleh satu klan atau woe. Nua pada umumnya berbentuk persegi, yang mana setiap sisinya memiliki nama dan makna, yaitu: zele ulu nua, lau wena nua, padhi mena dan padhi zale. Zele ulu nua atau bata nua merupakan pintu masuk bagi para tamu. Sebaliknya wena nua dianggap sebagai pintu masuk bagi saudara sendiri. Pada ulu nua terdapat nunu rada bata (‘beringin pelindung’) fao masa kedhi bhanga (‘yang menaungi anak-anak’). Beringin dipercaya sebagai tempat bersemayam roh para leluhur dan karena itu, di bawah pohon beringin selalu ada batu persembahan atau ture dan selalu diberi sesajen pada acara-acara adat yang dilaksanakan di dalam nua. Roh-roh ini dipercaya menjaga wibawa kampung itu sekaligus melindungi penghuni kampung dari roh-roh jahat. Di dalam kampung sendiri bersemayam roh kampung itu sendiri yang disebut ngebu nua.[12]
            Suatu petunjuk pembangunan sebuah kampung adalah ulu nua dan wena nua. Untuk menjadi ulu nua, dia harus berada di tempat yang tinggi dan karena itu disebut zele ulu nua. Dengan menyebut zele, kita dibawa pada konsep kosmologi nua karena zele berkonotasi sejajar dengan ulu, yaitu tempat yang tinggi atau kepala. Oleh karena itu, ulu nua adalah tempat yang lebih tinggi sehingga ia pantas disebut ulu, yaitu gunung. Sebaliknya zili wena nua, yaitu sebuah tempat yang berkonotasi rendah, sejajar dengan zili leko (leko: kali, sungai), yaitu tempat yang lebih rendah, lembah atau sungai. Konsep letak menjadi penting dalam menetapkan pembangunan sebuah kampung. Oleh karena itu, dikenal dua konsep letak, yaitu secara horizontal dan vertikal.

                                    Zele                                                                 Zeta
                                            Kisa                                                                  Kisa
               Zale                                    Mena                   Lau                                       Zele
                                 
                                  Lau: Zili                                                            Zale
                       Konsep Letak Secara Horizontal                                   Konsep Letak Secara Vertikal
                            Horizontal mengacu ke gunung-laut                                        Vertikal mengacu ke langit-bumi

Gambar Konsep Letak Kampung
           
Pada zele nua, di mana terdapat pintu gerbang yang dijaga oleh roh-roh pelindung yang disimbolkan dalam bentuk pohon beringin, sering diberi sesajen. Selain itu juga pada setiap sudut kampung dan di tengah kampung terdapat ture (batu berundak-undak atau batu persembahan) yang juga diberi sesajen. Sesajen diberikan pada setiap acara adat, seperti: Nalo Nua (‘bersih kampung’), Reba, Dhoro Nua (‘pindah kampung’). Dalam setiap upacara itu, nama ngebu nua selalu disebutkan pertama. Urutannya sebagai berikut: ngebu nua, anaie, meri dan peo. Setelah itu ngadhu-bhaga, sesuai dengan rumah induk dari setiap woe yang mendiami kampung itu, lalu diikuti ture nua, ture nunu (‘beringin’), sudut-sudut kampung dan terakhir di dalam rumah adat (one sa’o), di mana yang terutama adalah zele ulu atau zegu raga (‘mata raga’) sebagai pusat kosmos rumah adat.
Nua dipimpin oleh para mosalaki (mosa meze laki lewa: ‘pemimpin yang berkepribadian, berwibawa dan berwawasan luas’). Tugas seorang pemimpin adalah gili pere wara lue tede angi, artinya sebagai pelindung atau penganyom terhadap segala serangan baik fisik maupun mental, ideologi dan spiritual. Karena tugasnya terbilang cukup berat maka tak pernah ada pemimpin tunggal tetapi memimpin secara bersama-sama, yakni para mosalaki yang berasal dari ketua woe yang mewakili klannya masing-masing. Inilah ciri khas pemimpin perkampungan yang otonom dengan berlandaskan kekerabatan.[13] Pemimpin dipilih berdasarkan rupa-rupa kualitas pribadi.
            Untuk mengetahui banyaknya klan atau woe yang mendiami sebuah kampung adalah dengan cukup menghitung jumlah ngadhu-bhaga yang berada di tengah kampung. Namun hal ini hanyalah pedoman saja karena tidak semua woe sudah memiliki ngadhu-bhaga. Hal ini bergantung pada kemampuan materi dan moril dari anggota woe. Satu klan memiliki satu ngadhu-bhaga tetapi ada juga beberapa klan yang memiliki satu ngadhu-bhaga secara bersama. Misalnya pada saat ini di dalam Kampung Doka, Desa Radabata, Ngadhu Jawa Tena dan Bhaga Doa Zua dimiliki secara bersama-sama oleh tujuh woe, yaitu: Genga, Tipo, Sito, Gisi, Mulu, Ngate dan Seso.
            Saat ini, bentuk kampung yang dimaksudkan di atas telah berubah seiring dengan program pemerintah untuk membuat denah desa dan keindahan desa sebagai manifestasi dari ideologi modernisasi. Bentuk nua dengan kosmologi tradisionalnya sudah banyak ditinggalkan.
2.7.2 Ulueko
            Pola pemukiman secara teritorial yang lain yang lain adalah Ulueko. Ulueko adalah perhimpunan beberapa kampung yang masih mempunyai hubungan, misalnya kesamaan sejarah, kesamaan leluhur atau karena terdapat dalam satu wilayah pemukiman yang sama.
            Pemimpin ulueko adalah para mosa nua yang mewakili kampungnya masing-masing, yaitu mereka yang dianggap paling cakap dari semua mosalaki. Ukurannya, ia harus berwibawa, bijaksana, jujur. Selalu ada kesesuaian antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Namun, yang utama adalah ia punya jaringan yang luas dan relasi yang banyak. Indikatornya adalah ketika ia mengadakan sebuah pesta, seperti: boka goe, nalo nua (‘pesta kampung’), mula ngadhu (‘menanam ngadhu’). Dalam keadaan yang demikian, orang-orang yang menjalin relasi dengannya sekaligus mendukungnya akan membawa dan menyumbang beras, arak (moke), dan hewan. Jika pesta yang dibuatnya sukses maka hal ini membuktikan bahwa ia banyak pendukung serta dihargai mosalaki lainnya. Sifat hakiki seorang pemimpin yang demikian diungkapkan dalam pepatah adat: “mosa wiu laki pado, moe go jai pera wai, wi ngadhi moe ngadhi bati, wi ghata moe ghata woka,” artinya ‘pemimpin yang patut dicontohi, yang mampu mengendalikan, mampu memberi petunjuk, seperti orang yang di depan memberi contoh langkah pertama waktu menari, seperti orang pertama yang mampu mengajak membuka hutan, dan seperti orang pertama yang mampu membajak ladang.’ Karakternya diungkapkan dalam pepatah: “mosa moe nunu, nunu da rada bata wi fao masa kedhi banga, fiki ba nono dhiri, lina ba mata kisa,” artinya ‘pemimpin ibarat pohon beringin tempat berlindung dan penganyom anak-cucu, yang buruk dipinggirkan dan yang jernih diketengahkan.’
 Di Kampung Doka, Desa Radabata, terdapat persekutuan ulueko, yaitu: ulu lado liwu, eko taranage. Ulueko Kampung Doka terdiri dari beberapa kampung, yakni: Ladoliwu, Rongaba’a, Nuameze (Bopoma), Lokalina, Bosoka dan Taranage.

2.7.3 Toko Wolo
            Beberapa ulueko membentuk kesatuan teritorial yang lebih luas yang disebut toko wolo (toko: ‘tulang,’ wolo: gunung/bukit. Tokowolo: ‘tulang/punggung gunung’). Kesatuan toko wolo hanya bersifat temporal, artinya sewaktu-waktu dibutuhkan maka mereka membentuk kesatuan teritorial ini. Toko wolo antara Doka, Linapau, Waso, Jadho, Gisi, Wogo, Liba, disebut ulu dero eko mau. Walaupun disebut ulu eko, namun hal ini merujuk pada bentuk persekuatuan besar, yaitu toko wolo.

2.8 Identifikasi Penduduk
2.8.1 Asal-Usul Masyarakat Ngadha (Ngadhu)
            Orang Doka sebagaimana halnya orang Ngadhu pada umumnya, dianggap berasal dari “Dzava Cone” (‘Jawa Pedalaman’). Hal ini tidak merujuk pada Pulau Jawa. ‘Dzava Cone’ dilihat sebagai sebuah daerah yang jauh sekali, di mana dipercaya bahwa seluruh kekuatan alam berasal. Menurut etnografi Paul Arndt, nama Ngadha adalah ibu asal klan (woe) Ngadha dan asal dari klan-klan lain yang dimekarkan dari klan Ngadha.[14] Diperkirakan bahwa orang Ngadha berasal dari ‘Dzava Cone,’ yaitu daerah yang luas di India Timur Laut, dari sebuah suku bangsa India yang bernama ‘Magadha,’ sebab ada banyak dialek di dalam masyarakat Ngadha pada saat ini yang menggunakan huruf ‘m’ dan ‘ng’ secara bergantian. Orang ‘Magadha’ dipercaya sebagai penganut agama Hindu. Ini dibuktikan dengan adanya stratifikasi sosial di dalam masyarakat Ngadha. Hal ini sesuai dengan sistem kasta yang dianut oleh masyarakat penganut Agama Hindu. 
            Dilihat dari pola pokok budaya tradisional yang terus dipertahankan hingga saat ini, dapat diperkirakan bahwa pendatang dari ‘Magadha’ ini terdiri atas tiga kelompok besar yang memasuki daerah Ngadha dalam kurun waktu yang relatif sama. Hal ini dapat ditelusuri dari klan-klan pengemban fungsi utama dari masing-masing pola budaya yang ada. Pertama, kelompok pendukung “Ngadhu” (‘tiang korban’). Kedua, kelompok pendukung budaya ‘Reba’ (‘pesta tahun baru adat/pesta syukur panen’). Ketiga, kelompok pendukung budaya “Paru Witu” (‘ritual berburu’). Dalam perkembangannya, ketiga kelompok ini saling bercampur sehingga keturunan sebuah klan malah menjadi pendukung dua pola budaya bahkan tiga pola budaya sekaligus. Bagi masyarakat adat Kampung Doka, mereka menganut dua pola budaya, yakni budaya “Ngadhu” dan “Reba.” Di dalam Kampung Doka, woe pendukung budaya ‘Ngadhu’ adalah mereka yang berasal dari Woe Lado dan Gisi. Sedangkan Woe pendukung budaya ‘Reba’ adalah mereka yang berasal dari Woe Keli, Genga, Tipo dan Sito.[15]

2.8.2 Sejarah Masyarakat Kampung Doka[16]
Masyarakat Doka pada mulanya tinggal di Wae Meze (sekarang Aimere). Pada zaman dahulu (menurut mitologi) mereka sangat hidup sejahtera sebab pada waktu itu hubungan dengan Dewa sangat dekat. Di sana terdapat sebatang pohon namanya Tenge (‘Pohon Dewa’). Melalui akar-akarnya, Kabu Tenge (Kabu: akar dan Tenge: ‘Pohon Dewa’), manusia dapat bermain di tempat kediaman para Dewa, meminjamkan alat tenun kepada para Dewi, mengikuti pesta Reba di kampung para Dewa-Dewi itu. Hubungan mesra antara manusia dengan Dewa itu diungkapkan dalam syair: “mena loka oja, pei tangi Dewa noa dhoro dhegha (‘di kampung oja, sandarlah tangga buat para Dewa agar dapat turun bermain ke bumi’); ana sawa pu’u lau bata lole dia one, ana keka ea lau teda lewa, ana lako kua-ana lako kua pu’u ge nua mai dongo dia ulu roro (‘pada saat pikul ‘kaba pere’ sebelum masuk ke rumah adat baru, semua keluarga baik manusia maupun roh-roh diundang untuk ikut dalam perjamuan’). Hubungan mesra ini mau menunjukkan bahwa di antara Dewa dan manusia telah terjalin hubungan keakraban. Ada jalinan komunikasi yang harmonis di antara mereka.
Menurut mitos itu, pada suatu hari atapolo[17] (‘orang jahat’) karena iri dengan hubungan akrab antara manusia dengan Dewa ini, memutuskan Kabu Tenge itu sehingga terputuslah hubungan manusia dengan Dewa. Oleh karena itu, langit sebagai tempat tinggal Dewa terbang tinggi ke tempat yang tidak dapat dijangkau manusia hingga sekarang ini. Begitu kabu tenge ini terputus, terjadilah pola boka (‘bencana alam’) yang sangat hebat. Laut naik sampai di daratan dan memporak-porandakan rumah-rumah dan ladang penduduk. Sejak itu para penghuni kampung tercerai-berai. Dengan hancurnya kampung itu, beberapa woe yang sebelum kejadian itu bersatu kemudian tercerai-berai dan mencari tempat perlindungan masing-masing. Atas perlindungan leluhur mereka Oba dan Nanga[18] yang menguasai lautan, keturunan ini tak sampai punah.
            Leluhur Keturunan langsung dari orang Doka berasal dari adalah Ghe dan Ghena. Keturunan Ghe adalah Teru dan Tena dan Ghena menurunkan anaknya Sili. Sili beranak Tei, dan Tei kawin dengan Duma (Dama) beranakkan Rede (Woe Laja) yang kawin dengan Raja yang melahirkan Jawa dan Keli yang menjadi leluhur Woe Keli sekarang ini. Teru menurunkan Roka yang beranakkan Jara dan beranakkan Roja dan Wio. Roja beranakkan Tena dan Wio beranakkan Wea. Tena kawin dengan Doka dan beranakkan Pole yang menjadi leluhur Woe Gisi. Ketika Tena meninggal, Doka kawin lagi dengan Doa Zua dan menurunkan Reo dan Sai. Reo kawin dengan Muja yang menjadi leluhur Woe Genga. Saudara perempuan Reo, Sai menjadi leluhur Woe Tipo. Dengan demikian yang menjadi penduduk awal Kampung Doka adalah empat woe, yaitu Keli, Gisi, Genga dan Tipo. Saat ini, ada 14 Woe yang mendiami wilayah Kampung Doka, Desa Radabata, yakni: Woe Keli, Woe Genga, Woe Be, Woe Gisi A, Woe Gisi B, Woe Sito, Woe Tipo, Woe Taka, Woe Lobe, Woe Lodo, Woe Kila, Woe Rudu, Woe Mulu, Woe Ngate, Woe Bhaku Dhengi Dhula dan Woe Laja. Penulis berasal dari Woe Bhaku Dhengi Dhula. Woe Laja dan woe Be adalah ‘jaga pu’u taru lobo lelu,’ yakni ‘penjaga tanah.’ Pusatnya di Kampung Sadha. Mereka berada di Kampung Doka karena memiliki sebuah Sa’o (rumah tradisional) dan juga karena mereka memiliki ngia ngora (tanah ulayat) di wilayah Kampung Doka.
Perjalanan hidup orang Doka cukup berliku-liku sejak dari Wae Meze (Aimere) hingga di tempat sekarang ini. Seperti yang telah dikatakan di atas, setelah terjadi bencana alam (pola boka) masyarakat Doka tercerai berai. Keturunan Reo dari Woe Genga dan Dumi dari Woe Keli selalu bersama-sama sejak dari Wae Meze hingga berpindah ke Kampung Doka sekarang ini. Kedua sahabat karib ini saling berjanji untuk tidak saling berperang, bermusuhan dan kawin-mawin. Isi sumpah itu disebut “ngesu meze keli, alu lewa genga” (‘jika ada rejeki wajib saling memberi, jika ada musuh wajib saling melindungi’). Perjanjian perkawinan antara Woe Keli dan Genga adalah kedua woe ini boleh kawin-mawin dengan persyaratan bahwa perempuan harus dari Woe Keli dan laki-laki dari Woe Genga, tidak boleh ditukar atau tertukar. Jika melanggar perjanjian ini maka akan terkena ‘tulah,’ di mana laki-laki menjadi gila.

 BAB III
DASAR PIJAK SISTEM KEKERABATAN
DI DALAM MASYARAKAT KAMPUNG DOKA

            Pada bab ini, penulis akan menyajikan pengertian dari sistem kekerabatan, kekerabatan di dalam masyarakat adat Kampung Doka, Desa Radabata beserta dasar pijak pembentukannya. Dalam menyajikan pengertian sistem kekerabatan, penulis akan menyajikannya dalam berbagai macam perspektif, yakni perspektif etimologi, hukum adat dan para ahli. Tujuannya adalah agar dapat mencapai sebuah pengertian yang komprehensif tentang sistem kekerabatan. Selanjutnya, penulis akan menyajikan keberadaan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata beserta dasar pijak pembentukannya. Penyajian ini dimaksudkan untuk memperlihatkan keunikan dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka yang berbasis adat.

3.1 Pengertian Sistem Kekerabatan
            Pengertian sistem kekerabatan yang akan disajikan penulis, dilihat dari tiga perspektif, yakni perspektif etimologi, perspektif hukum adat dan perspektif para ahli.

3.1.1 Perspektif Etimologi
            Sistem kekerabatan adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua suku kata, yakni sistem dan kekerabatan.
Kata sistem secara etimologi berasal dari berasal dari Bahasa Yunani, yaituSystemo,’ sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan ‘System’ yang mempunyai satu pengertian yang sama, yaitu sehimpunan komponen atau bagian-bagian yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan yang tidak terpisahkan.[19] Dapat disimpulkan bahwa sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen atau elemen-elemen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan atau sasaran tertentu.
            Sedangkan kata kekerabatan berasal dari kata dasar kerabat dan diberi imbuhan ke-an. Kerabat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti ‘dekat’ (berkaitan dengan hubungan pertalian keluarga); sedaging, sedarah, sanak saudara (berdasarkan hubungan pernikahan).[20] Kekerabatan diartikan sebagai sebuah bentuk hubungan pertalian berdasarkan hubungan darah dan pernikahan yang akhirnya membentuk sebuah komunitas yang dicirikan oleh sebuah identitas tertentu.  
            Dengan demikian, sistem kekerabatan adalah himpunan hubungan-hubungan pertalian yang terjalin di antara manusia dan didasarkan atas hubungan darah, perkawinan dan identitas bersama yang membentuk sebuah komunitas dengan mencirikan sebuah identitas tertentu.

3.1.2 Perspektif Hukum Adat
            Sistem kekerabatan dalam pengertian hukum adat disebut rechtsgemeenschaap atau masyarakat hukum adat, sebab ia adalah subjek hukum adat selain individu. Rechtsgemeenschaap ini ada yang menterjemahkannya dengan istilah persekutuan hukum adat dan ada pula yang menyebutnya masyarakat hukum adat atau masyarakat adat. Disebut rechtsgemeenschaap atau masyarakat hukum adat sebab ia adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban layaknya seorang manusia, seperti hak-hak atas tanah: hak ulayat, hak pakai, hak sewa, dan kewajiban: membayar hutang, melindungi anggota, melindungi wilayah dari serangan orang luar dan seterusnya.
Di Indonesia menurut Van Vollenhoven terdapat 19 wilayah adat (Rechtskringen).[21]

3.1.3 Perspektif Para Ahli
3.1.3.1 Roger M. Keesing[22]
            Menurut Roger M. Keesing, seorang antropolog, kekerabatan secara intuisi, menunjuk pada ‘hubungan darah.’ Disebut intuisi, sebab ada kekhawatiran mengalami dilema konseptual dalam setiap kajian antropologi yang selalu muncul dalam upaya menemukan istilah dari tradisi budaya dan bahasa yang cukup luwes sehingga cocok dengan rentangan keragaman budaya, namun tetap mempertahankan makna pokoknya. Jadi, menurut intuisi kekerabatan menunjuk pada ‘hubungan darah.’

3.1.3.2  E.E. Evans-Pritchard
Dia menemukan di dalam masyarakat Nuer di Sudan, Afrika bahwa sistem kekerabatan masyarakat Nuer yang patrilineal memiliki kekhasan.[23] Sifat khasnya adalah:
1.      Pada masyarakat Nuer di Sudan, dikenal dua macam perkawinan yaitu: perkawinan biasa dan perkawinan roh. Pada perkawinan roh, ayah seorang anak yang dikenal secara sosial bukanlah ayah biologisnya, yaitu bukanlah lelaki yang akibat persenggamaannya dengan wanita (ibu dari anak itu) yang menyebabkan kehamilan. Seorang wanita Nuer yang suaminya telah meninggal, tetap terikat secara hukum adat pada kelompok suami dengan hak-hak dan kewajibannya. Hak atas anak yang dilahirkannya dialihkan kepada kelompok suaminya (ana pasa pada masyarakat Ngadhu). Dengan memberikan sejumlah belis kepada kelompok si isteri, kelompok suami untuk selamanya mendapatkan hak atas kemampuan reproduksi sang isteri. Idealnya, bila suami meninggal, kontrak (pasa maza, wea moli pada masyarakat Ngadhu) akan diteruskan dengan cara mengawinkan si janda dengan saudara laki-laki almarhum suaminya atau anggota kerabat almarhum suaminya itu. Sehingga anak-anak yang dilahirkan tetap menjadi anggota kerabat almarhum suaminya itu. Si janda dapat juga kawin dengan laki-laki lain yang bukan kerabat suami, tetapi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan ini tetap menjadi hak dari kerabat almarhum suami.
2.      Bentuk lain yang lebih janggal (temuan Evans-Pitchard) adalah seorang wanita tua dan ‘berpengaruh’ (karena punya banyak ternak) bisa mengawini seorang gadis. Si wanita tua itu menanggung biaya belis (ngaluana), dengan demikian seolah-olah ia adalah ‘suami’ (bukan karena lesbian, tetapi demi keturunan dan kelangsungan kerabat). Bila kemudian si wanita muda tadi mempunyai anak lantaran ia berhubungan seks dengan laki-laki lain, maka anak yang lahir dari hubungan itu, tetap menjadi hak dari ‘suaminya’ yang adalah si wanita tua itu tadi, yang pada gilirannya adalah ‘ayah’ legal (sebab secara hukum adat mereka adalah ‘suaminya’), sekalipun silsilah ditarik menurut garis lak-laki, tetapi yang dimaksudkan bukanlah ‘ayah biologis,’ tetapi ‘ayah yuridisnya.’
 
3.1.3.3 Melville J. Herskovits[24]
Dia mengambil contoh kekerabatan di Tapanuli (Batak-Sumatera Utara). Di Tapanuli pada umumnya dapat dikatakan bahwa untuk kelompok keturunan tertentu dapat dipastikan daerah asalnya. Misalnya daerah yang didiami oleh marga Sembiring berada di Tapanuli Utara. Setiap satuan keturunan se-kakek disebut Marga.
Memang tidak dapat secara pasti dikatakan bahwa, misalnya marga Sidabutar berasal dari daerah Simalungun atau Toba atau Dairi, artinya tidak secara pasti kita menentukan secara tepat dan pasti mengenai hubungan antara marga dengan tempat asal atau daerah asal, dan tidak mungkin juga untuk menentukan daerah asal seseorang dengan memperhatikan nama marganya saja, akan tetapi dengan penelusuran cabang garis keturunan bapak dalam suatu marga atau kalau perlu dengan penyebutan nama kakeknya, kebanyakan orang Batak dapat menentukan tempat asal seseorang. Dalam kosmologi orang Batak, keturunan dan kampung asalnya saling berkaitan dan menjadi komponen inti dari sistem sosialnya. Dari penjelasan ini, kekerabatan menurut orang Batak dilihat dari marganya sebab mereka menganut pola patrilineal, yaitu silsilahnya ditarik menurut garis bapak. Nama marga menunjukkan sistem kekerabatan mereka dan menunjukkan identitas sosial budaya mereka.
Jadi, kerabatan menurut orang Batak adalah kelompok manusia yang berasal dari satu kakek asal yang sama yang dikenal dengan nama marga.
 
3.1.3.4 Th. H. Fischer[25]
Menurut Fischer, suatu turunan adalah sekelompok orang yang merasa dirinya bersama-sama sebagai keturunan dari sepasang nenek moyang yang bersifat mitologis. Mereka masih menganggap diri mereka sebagai kelompok dengan suatu nama persekutuan, nama turunan, dan berbicara dengan logat yang sama serta mempunyai suatu adat yang mengingatkan mereka kepada nenek moyang yang menjadi landasan lahirnya persekutuan itu. Misalnya dalam susunan leluhur masyarakat Kampung Doka yang digambarkan oleh Dominikus Rato, adalah sebagai berikut: Susu Keri, Asu Kae, Meri Peo, Bhaga, Sao, Nange, Nusi, Ebu, Ine-Ema, Ana Ego[26]
Jadi, dari pengertian yang disajikan penulis di atas berdasarkan berbagai perspektif, penulis melihat bahwa ada kaitan dengan pengertian sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.

3.2 Sistem Kekerabatan Di Dalam Masyarakat Kampung Doka
            Seperti yang telah dipaparkan di atas, di dalam masyarakat Kampung Doka terdapat tiga jenis komunitas kekerabatan. Pada bagian ini, akan diuraikan tentang keberadaan dari kekerabatan yang dimaksud, yakni kekerabatan woe, kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ dan kekerabatan berdasarkan perkawinan serta dasar pijak pembentukannya.

3.2.1 Kekerabatan Woe
Woe adalah kesatuan sosial yang bersifat genealogis. Dasar pembentukan persekutuan ini adalah kesadaran akan kesamaan leluhur. Kesatuan ini didasarkan pada kesadaran kesamaan leluhur, yang mana dalam sistem simbol diwakili oleh ikon-ikon adat, seperti: ngadhu-bhaga, meri-peo dan anaie.[27] Woe juga dilihat sebagai kesatuan sosial berdasarkan koalisi rumah tradisional (sa’o) dan berdasarkan keyakinan akan mitologi tentang asal-usul leluhur yang sama oleh setiap anggota woe. Setiap woe memiliki empat buah sa’o (rumah tradisional), yakni saka pu’u, wua ghao saka pu’u, saka lobo dan wua ghao saka lobo. Di antara saka dan wua ghao, saka lah yang lebih berperan karena dialah sa’o pu’u (‘rumah pokok atau rumah asal’), meskipun wua ghao dianggap lebih kakak. Saka pu’u juga berperan lebih besar sebab ia adalah kobho bhaga, artinya ‘rumah induk asal bhaga’, leluhur perempuan dalam keyakinan tradisional orang Doka. Saka lobo adalah kobho ngadhu, yaitu ‘rumah induk asal ngadhu’, leluhur laki-laki dalam keyakinan tradisional orang Doka. Setiap woe memiliki masing-masing satu ngadhu dan bhaga. Kekerabatan woe tidak terbatas pada sebuah masyarakat tertentu atau dalam wilayah tertentu, tetapi tersebar luas. Misalnya, Woe Bhaku Dengi Dula yang berada di dalam wilayah Kampung Doka, juga berada di wilayah Kampung Were I, di mana di sana terdapat ngadhu-bhaga dari woe ini.[28] Ini menunjukkan bahwa sebuah kekerabatan woe tidak terbatas pada sebuah wilayah tertentu.

3.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Ideologi ‘Darah Sejati’
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di Flores yang kuno, ada satu sistem stratifikasi sosial kuno yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu adalah keturunan dari klan-klan yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau senioritet.[29] Keanggotaan dari ketiga lapisan masyarakat ini diperoleh melalui kelahiran dan posisi ibu.[30]
Kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ sebenarnya adalah bentuk klasifikasi sosial di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Kekerabatan ini membagi anggota masyarakat ke dalam tiga kelompok, yakni ga’e (golongan atas), kisa (golongan tengah) dan azi ana (golongan bawah). Kekerabatan ini oleh Watu Yohanes Vianey dilihat sebagai pengaruh budaya Austronesia, khususnya dalam menata model pewarisan keturunan darah berdasarkan urutan kelahiran[31]. Watu Yohanes Vianey melihat klasifikasi ini berdasarkan hubungan kakak-adik. Artinya, ga’e dilihat sebagai anak sulung, kisa dilihat sebagai anak tengah dan azi ana dilihat sebagai anak bungsu. Pendapat di atas tidak sejalan dengan pendapat dari Paul Arndt. Paul Arndt melihat kekerabatan ini sebagai sebuah model klasifikasi dalam masyarakat berdasarkan pola kasta dalam budaya Hinduisme. Pendapat Paul Arndt juga diikuti oleh Dominkus Rato. Hal ini dikarenakan oleh sejarah asal-usul masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada khususnya, yang dikisahkan turun-temurun bahwa leluhur mereka berasal dari India (‘Magadha’) dan menganut budaya Agama Hindu. 

3.2.3 Kekerabatan Berdasarkan Perkawinan
Perkawinan adalah sumbu perkembangan sebuah masyarakat. Kelangsungan hidup suatu masyarakat ditentukan oleh lembaga perkawinan. Melalui perkawinan, generasi baru sebagai pembawa nama keluarga dan pelanjut kehidupan suku dilahirkan. Hal ini juga yang dimaknai oleh masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata pada khususnya. Perkawinan menghantar warga suku untuk berpindah dari statusnya sebagai seorang bujang atau gadis ke dalam sebuah status hidup yang baru sebagai suami dari seorang isteri atau isteri bagi seorang suami. Perkawinan mengubah kedudukan seseorang dalam keluarga dan masyarakat karena perubahan status itu. Hal ini juga menentukan peran pria dan wanita dalam kehidupan di tengah masyarakat. Hal ini pula ditandaskan oleh Watu Yohanes Vianey bahwa perkawinan juga merupakan proses gender, artinya pria dan wanita diinisiasi ke dalam ruang-ruang pemisah di dalam sa’o serta memiliki tugas dan fungsi yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain.[32]
Perkawinan juga adalah sebuah langkah penting dalam proses pengintegrasian manusia ke dalam tata alam sakral yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh tradisi untuk masuk tata alam tersebut.[33] Dalam upacara perkawinan dihadirkan kembali perkawinan asasi pada zaman purba yang seringkali dilukiskan lewat dua pribadi, yakni Dewa dan Dewi, sepasang nenek moyang, yang mana dalam tradisi di dalam masyarakat Kampung Doka merujuk pada ‘perkawinan antara ngadhu dan bhaga.’

3.3 Dasar Pijak Pembentukan Sistem Kekerabatan Di Dalam Masyarakat Kampung Doka
Sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, yakni sistem kekerabatan woe, sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ dan sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan, adalah kekerabatan yang dibangun atas dasar pijak tertentu, yakni adat serta produk-produk kebudayaan di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Kekerabatan dibangun atas dasar tertentu yang dipandang sebagai sesuatu yang essensial. Dasar pijak hubungan kekerabatan adalah sebuah hasil refleksi orang Doka atas kehidupan sebagai sebuah sejarah yang menjadi kelanjutan dari masa lampau. Refleksi itu tertuang dalam berbagai macam produk budaya, baik berupa benda maupun berupa cerita-cerita, mitos yang diyakini dan diterima sebagai sebuah kebenaran yang melandasi keberadaan sebuah kekerabatan.

3.3.1 Dasar Pijak Kekerabatan Woe
            Dalam pemaparan berikut, penulis akan menyajikan dasar pijak dari sistem kekerabatan woe. Dasar pijak itu antara lain: berdasarkan hubungan genealogis, mitos dan kesatuan simbol-simbol adat.

3.3.1.1 Berdasarkan Hubungan Genealogis
Woe adalah kesatuan sosial berdasarkan hubungan genealogis. Dasar pembentukan ini adalah kesadaran akan kesamaan keturunan.[34] Artinya, secara genealogis seluruh anggota woe berasal dari leluhur yang sama, mempunyai pertalian hubungan darah langsung dari leluhur yang sama. Namun, pada saat ini, keturunan langsung yang dimaksud sudah mulai berkurang bahkan hampir tidak ada di dalam setiap woe di dalam masyarakat Kampung Doka. Hal ini dikarenakan oleh kematian dan juga oleh karena kurangnya anggota berjenis kelamin perempuan di dalam sebuah woe (masyarakat Kampung Doka pada umumnya menganut budaya matrilineal). Misalnya, pada Woe Tipo. Pembentukan woe ini didasarkan pada kesadaran akan kesamaan leluhur, yakni Ebu Ulu Buku. Namun, keturunan langsunga dari Ebu Ulu Buku pada saat ini sisa empat orang, yakni: Belu Gili, Suri Gili, Geze Gili, Ngaghi Gili yang menghuni Sa’o Palo Molo.[35] Namun pada kenyataanya, anggota dari Woe Tipo sangat banyak, bukan hanya keturunan langsung tersebut. Hal ini dimungkinkan dengan adanya perkawinan. Melalui perkawinan, anggota sebuah woe terus bertumbuh dan bertambah banyak. Dengan demikian benarlah apa yang dikatakan oleh Watu Yohanes Vianey bahwa kekerabatan woe juga adalah kekerabatan berdasarkan koalisis rumah tradisional (sa’o). Ini tercermin dalam tiga rumah tradisional yang dimiliki oleh setiap woe. Sosok yang diyakini sebagai leluhur pertama berdiam di dalam sa’o saka pu’u (‘rumah awal’). Melalui proses perkawinan, perkembangan anggota terus terjaga. Dengan anggota yang terus bertumbuh dan bertambah banyak, mereka membangun sa’o wuagho (‘rumah akhir’) dan apabila terus berkembang maka akan dibangun sa’o dhoro (‘rumah turunan). Ini dilakukan demi kehidupan anggota dari sebuah woe, khususnya dalam hal pewarisan harta benda, terutama tanah. Di antara ketiga sa’o itu masih terikat sebuah hubungan darah langsung dengan leluhur yang menjadi peletak dasar berdirinya sebuah woe. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keanggotaan dalam kekerabatan woe didasarkan pada kesadaran akan kesamaan leluhur secara genealogis dan dikembangkan dalam lembaga perkawinan. 

3.3.1.2 Berdasarkan Mitos
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 588), mitos adalah cerita suatu bangsa tentang Dewa dan pahlawan zaman dahulu, yang mengandung unsur penafsiran tentang asal-usul alam semesta, manusia dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara lain. Mitos bagi Strauss adalah sebuah bahasa.[36] Bahasa adalah sebuah media, alat, atau sarana untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan pesan dari satu individu kepada individu yang lain, dari satu kelompok kepada kelompok yang lain. Demikian pula dengan mitos. Mitos mengandung pesan-pesan yang terungkap dalam penceritaan. Di dalam mitos terkandung dua aspek penting, yakni ‘langue dan parole.’ Langue adalah struktur kebahasaan yang relatif tetap dan tidak terpengaruh oleh tuturan individual dan berada pada waktu yang bisa berbalik. Sedangkan parole adalah bahasa yang digunakan individu pada saat tertentu berada pada waktu yang tidak dapat dibalik.
Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan woe, kekerabatan ini dipercaya dibangun atas dasar kepemilikan akan mitologi yang sama tentang asal-usul mereka. Mitologi itu dianggap sebagai sesuatu yang benar dan dengan sendirinya mengikat mereka ke dalam sebuah kekerabatan woe. Hal ini terungkap dalam ungkapan tuka mogo, tuka ghi, ura mogo (tuka: rahim ibu; mogo, ghi: bersama; ura: urat, nadi) yang berarti berasal dari rahim ‘ibu asal’ yang sama. Tuka mogo menunjuk pada sebuah hubungan kerabat yang dekat, tuka ghi merujuk pada sebuah hubungan yang lebih dekat dengan mencakup beberapa lapisan.[37] Sedangkan ura mogo merujuk pada segala hubungan keluarga yang mungkin masih ada, malah sampai ke masa purba. Bila dalam menghitung silsilah keluarga dan berakhir pada sebuah tokoh atau kejadian alam, inilah yang disebut mitologi. Misalnya, dalam mitos sejarah masyarakat Kampung Doka. Dalam mitos itu dikisahkan tentang Ne Ghe dan Ne Ghena sebagai leluhur pertama orang Doka. Mitologi ini diterima hampir oleh seluruh woe yang mendiami wilayah adat Kampung Doka dan dikisahkan turun-temurun. Keturunan Ne Ghe dan Ne Ghena adalah leluhur pertama bagi beberapa woe yang mendiami Kampung Doka. Misalnya, Rede yang menjadi leluhur Woe Laja, Keli yang menjadi leluhur Woe Keli, Pole yang menjadi leluhur Woe Gizi, Muja yang menjadi leluhur Woe Genga dan Sai yang menjadi leluhur Woe Tipo.
Memang dalam pengkisahan ulang dari waktu ke waktu mengalami perubahan dalam pengkisahan tetapi inti kebenaran yang terkandung di dalamnya tetap terjaga. Mitologi ini dikisahkan turun temurun dalam rentang waktu yang relatif panjang. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang tahu asal-usulnya, khususnya orang Doka. Mitologi ini diterima serta dihayati dan pada akhirnya menyatukan orang dalam sebuah bentuk kekerabatan berdasarkan kesamaan mitologi.

3.3.1.3 Berdasarkan Kesatuan Simbol-Simbol Adat
            Manusia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Di dalam waktu, manusia senantiasa berproses. Salah satu indikator yang menandakan bahwa manusia sedang berproses adalah kebudayaan. Manusia adalah makhluk budaya yang tercermin dalam dimensi hidup dan tingkah laku manusia.[38] Demikian pun dengan masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata yang adalah juga insan-insan yang berbudaya, senantiasa dan terus berproses dalam kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur mereka sebagai sebuah kearifan lokal. Kebudayaan itu dihadirkan dalam berbagai produk kebudayaan, baik berupa material maupun non material. Ini adalah wujud apresiasi dan refleksi mereka akan keberadaan mereka saat ini sebagai lanjutan masa lampau dan juga sebagai simbol pemersatu. Dalam ikon-ikon adat, seperti: anaie, meri-peo, ngadhu-bhaga dan sa’o, mereka berusaha merefleksikan asal kehidupan mereka, simbol-simbol leluhur yang mempersatukan mereka dalam kekerabatan woe.

3.3.1.3.1 Anaie
Anaie adalah sebuah ‘rumah-rumahan’ yang disembunyikan di dalam rumah induk. Anaie adalah ikon adat yang menjadi simbol dari leluhur pertama yang menghadirkan manusia ke bumi. Anaie adalah simbol kehadiran ‘Oba-Nanga; Ghe dan Ghena.’ Anaie ada dua, yaitu yang laki-laki dan perempuan. Anaie menurunkan meri (keka lela) dan peo. Meri menurunkan bhaga, sedangkan peo menurunkan ngadhu. Bhaga menurunkan sa’o peka pu’u dan Ngadhu menurunkan sa’o peka lobo, yang selanjutnya menurunkan manusia dan tanah. Manusia dengan tanah ibarat laki-laki dan perempuan. Sehingga pada masyarakat Kampung Doka, yang berhak memiliki tanah adalah sa’o bukan manusia.[39]

3.3.1.3.2 Meri dan Peo
Meri adalah simbol leluhur perempuan dan peo adalah simbol leluhur laki-laki. Meri dan peo adalah orang tua yang melahirkan ngadhu dan bhaga, yang selanjutnya melahirkan sa’o. Sa’o-sa’o ini membentuk ana woe. Ana woe melahirkan ayah-ibu yang secara nyata melahirkan manusia. Jadi, apabila kita ingin meneliti siapa leluhur pertama yang menurunkan sebuah woe adalah dengan mencari tahu nama meri dan peo dari sebuah woe beserta ayah-ibunya.
Meri atau keka lela adalah sebuah ‘rumah kecil’ yang luasnya 1x1 ½ m. Di dalam meri terdapat batu yang ditanam berjejer berjumlah tiga buah dengan tingginya 30-40 cm. Dua buah batu di kanan dan kiri lebih rendah dan bagian tengah lebih tinggi. Pada ketiga batu itu dililitkan ijuk menyerupai rambut kepala. Di kaki ketiga batu itu diletakkan sebuah batu ceper berukuran 20-30 cm atau batu bundar dengan jari-jari 10-15 cm. Batu-batu itu diberi nama sesuai dengan nama para leluhur yang pertama kali membuka hutan di daerah itu dan yang pertama kali menurunkan ana woe itu. Tiap woe mempunyai meri dan peo sebagai simbol leluhur mereka.
Peo adalah batu tunggal yang ditanam di antara bhaga dan ngadhu. Jika bhaga belum dibuat atau masih belum permanen, maka ia diletakkan di bawah ‘pokok/kaki’ ngadhu. Jika sudah dibuat secara permanen maka peo harus ditanam 5-7 m dari posisi ngadhu. Letaknya searah dengan ulu nua (searah dengan bukit yang menjadi pedoman bagi kampung itu). Peo berfungsi sebagai pelindung ngadhu. Jika ana woe atau ana sa’o dalam klan (woe) membunuh kerbau, maka kerbau itu harus diikat dengan dua utas tali, di mana tali depan diikatkan pada ngadhu dan tali belakang harus diikatkan pada peo. Peo adalah sebuah batu yang ditanam dan tingginya 75-100 cm dengan lebar 30-40 cm. Nama meri dan peo harus disembunyikan kecuali orang-orang tertentu dalam woe yang boleh mengetahui namanya. Akan sangat riskan apabila nama meri dan peo sampai diketahui oleh orang lain apalagi musuh karena segala kekuatan spiritual terletak pada nama itu.[40] Segala doa-doa harus dimulai dengan anaie, lalu meri dan peo, setelah itu ngadhu dan bhaga.

3.3.1.3.3 Ngadhu Dan Bhaga
Ngadhu adalah sebuah tiang lingga yang dikeramatkan, ditanam di tengah-tengah kampung, terbuat dari sejenis kayu yang bernama hebu (hebu berarti ebu atau nenek), berwarna merah (‘simbol api’), keras dan tak mudah rusak walaupun puluhan tahun usianya. Ngadhu adalah lambang ‘bapa asal’ woe dan ‘anak’ dari peo. Berbeda dengan peo, ngadhu terbuat dari kayu sedangkan peo terbuat dari batu. Nama peo harus disembunyikan sedangkan nama ngadhu harus dan wajib disebarkan. Ngadhu harus berwarna merah sedangkan peo harus berwarna putih/abu-abu. Ngadhu harus dimandikan dengan darah hewan korban sedangkan peo tidak harus dimandikan dengan darah hewan korban. Falsafah ngadhu dinyatakan dalam teke atau doa dalam bentuk pantun yang dinyanyikan dalam ritual mula ngadhu (‘menanam ngadhu’), bunyinya: “pogo ngadhu ngaza tau tobo lizu, kabu wi role nitu, lobo wo soi Dewa,” artinya: ‘tanam ngadhu untuk menyangga langit, akar sampai ke bumi, Nitu[41] (‘leluhur di bawah’) dan ujungnya mencapai Dewa’ (‘leluhur di atas’). Maknanya adalah bahwa ngadhu merupakan penghubung manusia dengan Dewa dan leluhurnya.
Proses mendirikan ngadhu tidak mudah karena tidak setiap woe atau orang dapat mendirikan ngadhu. Harus ada permintaan dari leluhur atau jika keinginan itu datang dari manusia, maka ia menunggu persetujuan dari leluhur. Jika inisiatif itu datang dari leluhur maka keturunannya harus mampu menterjemahkan pesan itu. Jika inisiatif itu datang dari manusia maka leluhur harus dikontak. Sarana yang digunakan untuk berkontak adalah mimpi yang disebut “so nipi. Mimpi itu diberikan secara beruntun kepada seseorang yang dikehendaki oleh leluhur. Biasanya dialami oleh ana di’i sa’o atau ana weta. Jika pesan itu tidak ditanggapi, maka orang yang menerima pesan itu atau kerabat dekatnya akan sakit, di mana fisiknya akan semakin mengecil walaupun ia mengkonsumsi makan yang enak dan bergizi, tidak merasa sakit, serta tumbuh ‘bulu-bulu’ yang berwarna merah di sekujur tubuhnya.
Bhaga adalah leluhur perempuan atau ‘ibu asal’ yang menurunkan ana woe. Ia berbentuk sebuah ‘rumah kecil’ dan letaknya tidak jauh dari ngadhu. Di dalamnya selalu ada tungku perapian, karena pada ritual-ritual adat biasanya digunakan untuk memasak makanan di situ. Bhaga berasal dari kata ‘bha dan ‘ga’ artinya lubang yang terbuka, simbol dari vagina. Bila dikaitkan dengan ngadhu sebagai simbol penis, maka ini adalah pertemuan penis dan vagina, di mana dari sinilah diciptakan manusia. Jumlah bhaga dalam sebuah kampung sesuai dengan jumlah ngadhu. Bhaga harus didirikan terlebih dahulu sebelum ngadhu.[42] Dalam setiap persembahan, ketika leluhur laki-laki dan perempuan disebutkan bersama-sama, maka yang perempuan harus disebutkan terlebih dahulu.

3.3.1.3.4 Sa’o (Rumah Tradisional Masyarakat Ngadhu)
Pada umumnya dalam sebuah woe terdiri dari empat rumah tradisional (sa’o), yaitu dua buah rumah peka pu’u atau saka pu’u dan dua buah rumah peka lobo atau saka lobo. Peka pu’u terdiri dari saka pu’u dan wua ghao saka pu’u, demikian pula dengan peka lobo yang terdiri dari saka lobo dan wua ghao saka lobo. Antara saka dan wua ghao, saka lah yang lebih berperan karena dialah sa’o pu’u (‘rumah pokok atau rumah asal’), meskipun wua ghao dianggap lebih kakak. Saka pu’u juga berperan lebih besar sebab ia adalah kobho bhaga, artinya rumah induk asal bhaga, leluhur perempuan. Saka lobo adalah kobho ngadhu, yaitu sa’o asal ngadhu, leluhur laki-laki.
Saka dan wua ghao adalah ‘ayah dan ibu asal’ ngadhu dan bhaga. Sa’o saka pu’u adalah ‘ibu asal dari bhaga, sedangkan sa’o wua ghao saka pu’u adalah rumah induk dari ‘bapa, bhaga.’ Sa’o saka lobo adalah rumah asal ‘ibu dari ngadhu,’ sedangkan sa’o wua ghao saka lobo adalah ‘rumah asal bapak dari ngadhu.’ Jadi, yang berhak dan berwenang atas harta dalam woe adalah anak dari keturunan rumah induk asal ‘ibu asal,’ yakni sa’o saka pu’u.
Sa’o ada tiga macam, yakni: sa’o pu’u yang terdiri dari saka dan wua ghao (empat buah) yang telah disebutkan di atas, sa’o tede dan sa’o dhoro. Sebuah sa’o pu’u yang berpenghuni padat maka akan memekarkan diri. Hasil pemekaran ini disebut sa’o dhoro atau sao pibe. Pemekaran ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya percekcokan dan perpecahan antara “ana di’i sa’o dan ana pasa.[43] Di dalam sa’o pu’u yang punya banyak ana di’i sa’o dan ana pasa akan saling memperebutkan harta pusaka tertinggi, yakni tanah. Pemekaran itu diikuti dengan pembagian tanah. Sa’o tede adalah samaran bagi sa’o pu’u yang masih bersifat sementara, belum dibangun secara permanen. Sa’o tede sama seperti sa’o pu’u tetapi tidak punya mata raga, simbol dari tengu ebu (‘leher leluhur’).
Sao terdiri dari tiga tingkatan sebagai simbolisasi strata sosial di dalam masyarakat Ngadhu. Strata yang tertinggi adalah ga’e yang disimbolkan dengan one (‘bagian dalam’), yaitu tingkat yang tertinggi. One adalah tempat inti, simbol dari ‘rahim ibu.’ One adalah pusat semua kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual adat. Bagian ini dihiasi berbagai ukiran yang mempunyai makna. Ukiran yang utama adalah mata raga (‘mata rusa’), ie seko atau bela (‘hiasan telinga wanita dari emas’), taka (‘mata kampak’), gebe (‘mata kalung’), jara (‘kuda’), zegu kaba (‘tanduk kerbau’), manu (‘ayam’) dan di tangga masuk ke dalam one sebut, kaba pere di mana pada bagian ini terdapat ukiran kaba pere (‘gajah’), riti (gusi) dan bela (anting). Ukiran ini berkaitan dengan sejarah dari ngaluana (belis).
One adalah simbol tujuan akhir dari hidup manusia. One sa’o adalah simbol ‘rahim,’ tempat Dewa bersemayam dan leluhur berdomisili. Jalan menuju one sa’o melalui pintu yang sangat kecil dan hanya ada satu jalan. Seseorang yang akan masuk ke dalam harus tunduk begitupun ketika ia keluar. Tunduk saat masuk ke dalam berarti ia harus tunduk dan taat kepada aturan para Dewa dan tunduk saat keluar berarti ia harus tunduk pada norma-norma umum yang diwariskan oleh para leluhur dalam kehidupan di tengah masyarakat.[44] One adalah tempat yang sempit dan di sanalah para tamu istimewa diterima. Di tempat ini pula ada kedamaian dan kerahiman. Untuk masuk dan keluar dari one sa’o, hanya melalui satu jalan. Jalan ini adalah jalan kerahiman atau jalan kehidupan. Oleh karena itu, di tempat ini dilindungi oleh seekor gajah, simbol kebijaksanaan. Maka pada jalan menuju one sa’o, selalu ada ukiran gajah di kiri dan kanan.
Tingkatan kedua adalah teda wawo, simbol golongan kisa. Teda wawo lebih luas dan pintu masuk ke tingkat ini lebih luas juga. Teda wawo adalah tempat untuk menerima tamu umum dan di tempat ini sering ditempati oleh golongan menengah. Tempat ini juga merupakan gudang penyimpanan bahan makanan, persediaan untuk sesaat atau jangka pendek. Persiapan makanan jangka panjang atau keperluan ritual selalu ditempatkan di dalam one sa’o.
Tingkatan yang terendah adalah teda au sebagai simbol dari ho’o atau azi ana. Di sini tak ada pintu sehingga sangat terbuka bagi semua orang. Di tempat ini, tak pantas untuk menerima tamu atau hanya menerima tamu untuk suatu keperluan umum. Misalnya, rapat umum atau musyawarah.
Saat ini, banyak sa’o di Kampung Doka yang telah mengalami banyak perubahan. Misalnya, bentuk atap yang sudah menggunakan seng bukan alang-alang, teda wawo dan teda au yang menggunakan lantai dari semen bukan dari papan dan batu (ture) sebagai penyangga, karena dilihat lebih tahan lama. Perubahan ini diakibatkan oleh berkurangnya alang-alang dan kayu. Ukiran-ukiran khas seperti gajah pun mulai diganti dengan kuda. Perubahan ini pun menimbulkan pergeseran makna yang sesungguhnya.

3.3.2 Dasar Pijak Sistem Kekerabatan Berdasarkan Ideologi 'Darah Sejati’
            Dasar pijak sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ didasarkan pada mitos dan urutan kelahiran.

3.3.2.1 Berdasarkan Mitos
            Secara umum masyarakat Ngadhu terbagi atas tiga tingkatan sosial, yakni: ga’e, kisa dan azi ana. Keanggotaan dari ketiga lapisan masyarakat ini diperoleh melalui kelahiran dan posisi ibu. Sistem pelapisan masyarakat pada masyarakat Ngadhu pada umumnya bersifat tertutup.[45] Artinya, sistem ini membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari satu lapisan ke dalam lapisan yang lain. Seorang dari lapisan ga’e tidak dapat berpindah ke dalam lapisan kisa dan sebaliknya. Sekalipun dalam perkawinan seorang pria dari ga’e menikahi wanita dari lapisan kisa, si pria tetap menjadi seorang ga’e, tetapi anak-anaknya mengikuti lapisan ibunya yang berasal dari kisa.
Dalam memahami dasar pijak pembentukan sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati,’ ada beberapa asumsi dasar yang berkembang di dalam wilayah budaya Ngadhu. Kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ pada orang Ngadhu dan pada masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, umumnya berasal dari mitos “Dala Ko Nee Wawi Toro.”[46] Mitos ini mengisahkan perkawinan inses antara dua saudara kembar, yaitu Dala Ko (personifikasi wanita) dengan Wawi Toro (personifikasi laki-laki) yang membawa akibat perpisahan. Dala Ko dan Wawi Toro tidak pernah boleh bertemu. Apabila keduanya bertemu maka akan terjadi musim kemarau yang panjang. Dalam hubungan dengan sistem pelapisan sosial pada masyarakat Kampung Doka, kasta tertinggi adalah keturunan Dala Ko dari hasil perkawinannya yang kedua setelah ia berpisah dengan Wawi Toro. Kasta kisa adalah keturunan Wawi Toro dari hasil perkawinan yang kedua setelah ia berpisah dengan Dala Ko. Sedangkan keturunan Dala Ko dan Wawi Toro menghasilkan kasta ketiga, yaitu azi ana.
Sistem kasta yang demikian pada masyarakat Kampung Doka membawa akibat dan pengaruh dalam sistem relasi warga. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, penggolangan masyarakat yang demikian tidak terlalu mencolok, baik dalam tutur kata maupun dalam komunikasi antar warga, tetapi akan sangat jelas dalam hal perkawinan, dalam pesta-pesta adat dan dalam kehidupan adat. Misalnya, golongan azi ana mempunyai kewajiban mendengar dan melaksanakan perintah dari golongan ga’e. Pada setiap kesempatan pesta atau perayaan besar adat, seorang ga’e harus duduk di sekitar kebha hui (tempat daging korban) sebagai penjaga dan pengatur penggunaan makanan. Mereka adalah orang-orang yang mengucapkan doa-doa dalam setiap perayaan adat. Pada saat perang, golongan ga’e menggunakan sau ga’e (parang panjang yang keramat) sebagai tanda kekuasaan sebagai seorang ga’e. Hanya orang ga’e yang dapat menempati Zegu Raga (dua batang kayu yang digantung pada dinding hulu rumah) yang menandakan hak seseorang atas rumah dan menjadi pemimpin yang mengepalai seluruh penghuni rumah itu dalam setiap pertemuan keluarga atau dalam musyawarah kampung. Tetapi pada umumnya apabila di dalam sa’o itu tidak ada ga’e maka mori sa’o juga dapat mendudukinya sekalipun ia berasal dari golongan kisa atau azi ana.[47]
Dalam perkawinan, seorang wanita dari golongan ga’e hanya boleh kawin dengan laki-laki dari golongan yang sama. Akan tetapi, laki-laki dari golongan ga’e boleh kawin dengan wanita dari golongan manapun, namun keturunannya mengikuti status isterinya. Jika wanita dari golongan ga’e kawin dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah (kisa dan azi ana) maka ia sangat bersalah secara adat, la’a sala (‘jalan salah’). Wanita yang melakukan pelanggaran ini harus melakukan upacara ‘turun tingkat’ yang disebut dhoro ga’e. Ia harus membunuh seekor kerbau untuk keperluan ritual itu, yaitu bura nua (‘bersih kampung’) dan nuka nua (‘masuk kampung’, diterima kembali di dalam kampung).[48] Dalam ritual ini, ia didandani seperti budak belian, yaitu diberi pakaian yang compang-camping, rambutnya disirami abu dapur, menggendong bere (tempat sirih khas wanita Ngadhu) yang sudah robek, berbedak debu yang bercampur arang. Keduanya berjalan mengelilingi kampung dan disaksikan semua orang. Ketika berkeliling kampung, kedua suami-isteri ini disoraki dengan makian dan ‘dibuang’ ludah. Mereka tak boleh melawan dan tak boleh menangis. Mereka berjalan dengan menundukkan kepala dan tidak boleh bertatapan dengan orang-orang apalagi dengan orang-orang dari golongan ga’e. Jika larangan ini dilanggar maka mereka akan dibunuh. Sebelumnya mereka diasingkan di luar kampung. Upacara di atas disebut nuka nua (‘masuk kampung’).
Pada saat ini, sanksi semacam ini sudah tidak lagi dijalankan. Pada zaman dahulu, para pelaku harus dibunuh dengan digantung pada sebatang bambu (le teo le bedhi) atau dibuang ke jurang hidup-hidup. Bila ditilik dari sisi kemanusiaan, sanksi ini tentunya sangat tidak manusiawi tetapi bagi masyarakat Ngadhu pada umumnya, mereka berusaha menjaga kemurnian golongan. Norma mengenai hal ini tertuang dalam ungkapan adat: “ghiri tuka ghi, ngira bonu pida, lobo wi papa tozo, tara wi papa dhaga”, artinya ‘mencari jodoh sesuai dengan status dan tingkatan, agar ujung saling berdempetan dan ranting saling berkaitan.’
Kisa (kisa: tengah) adalah mereka yang digolongkan pada kelompok tengah. Kaum wanita golongan ini boleh kawin dengan pria dari golongan ga’e dan kisa, tetapi dilarang kawin dengan golongan azi ana. Pelanggaran akan aturan ini sama dengan pelanggaran pada wanita ga’e, yaitu la’a sala.
Azi ana adalah lapisan paling bawah dalam strata sosial masyarakat Ngadhu. Azi ana ada dua macam, yakni pertama, ho’o, yakni status yang diperoleh karena ‘diperjual-belikan’ dan menjadi budak belian yang disebut wena naja karena tempat duduknya berada di sebelah bawah jika duduk bersama orang dari golongan ga’e. Pada zaman dahulu, orang wena naja sering menjadi ‘alas’ bagi tuannya yang meninggal. Kedua, ho’o roro, yakni status yang disandang karena kalah perang. Pria ho’o hanya dapat mengawini wanita dari golongan yang sama. Ia dilarang mengawini wanita dari golongan yang lebih tinggi. Jika melanggar maka ia dikenakan la’a sala.
Mitos Dala Ko Ne Wawi Toro pada umumnya diterima oleh masyarakat Kampung Doka dan menjadi patokan bagi penggolongan masyarakat ke dalam tiga golongan di atas. Memang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tetapi hal ini diterima sebagai kebenaran, dihayati dan dilaksanakan di dalam praktek hidup sehari-hari. Mitos ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengatur kehidupan setiap orang di dalamnya agar tidak terjerumus dalam ‘pergaulan bebas.’

3.3.2.2 Berdasarkan Urutan Kelahiran
            Sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ telah memperlihatkan adanya piramida dalam struktur sosial di dalam masyarakat setempat. Dasar pijak kekerabatan ‘darah sejati’ berdasarkan urutan kelahiran, mengikuti pendapat yang digagaskan oleh Watu Yohanes Vianey. Model penataan yang demikian ditafsirkan Watu Yohanes Vianey sebagai bagian dari pengaruh budaya ‘Austronesia’ dalam menata model pewarisan keturunan darah.[49]
Kelompok pertama adalah ‘anak sulung’ yang di dalam tradisi setempat disebut ana li’e ga’e. Ga’e dalam konteks ini sinonim dengan kata ka’e (kakak). Ini dimaksudkan sebagai anak sulung, ‘buah permulaan.’[50] Kelompok kedua adalah keturunan ‘anak tengah’ yang dalam tradisi setempat disebut ana tama kisa. Kelompok ketiga adalah keturunan ‘anak bungsu’ yang dalam istilah setempat disebut ana azi repo. Namun di bawah pengaruh penafsiran penguasa Kolonial Belanda, ketiga kelompok ini diterjemahkan dengan arti: ga’e sebagai golongan teratas, kisa sebagai golongan tengah dan azi ana sebagai kelompok bawah. Hal ini diperkuat oleh konteks sistem organisasi sosial berbasis kerajaan (swapraja) buatan Belanda. Para kaum intelektual organik dan semua orang yang pernah hidup dalam hegemoni regim kolonial, menambahkan predikat meze pada kata ga’e sehingga menghasilkan istilah ga’e meze dan lantas diartikan sebagai bangsawan besar. Selanjutnya ditambahkan pula predikat ga’e pada kata kisa sehingga menjadi ga’e kisa dan diartikan sebagai bangsawan kelas menengah. Pada kelompok ketiga ditambahkan kata ana pada kata azi sehingga menjadi azi ana dan mau menunjukkan kaum ini sebagai kelompok pekerja yang dalam kategori marxian istilah ini relatif sama bobotnya dengan kaum proletar. Sehingga dalam proses penyelenggaraan kepentingan bersama, kaum azi ana sering dianggap sebagai kelompok yang menjadi pekerja. Pengertian ini telah berkembang pesat dalam lapisan epistemik masyarakat saat ini. Dalam penyelengaraan pesta adat bersama, kaum azi ana dijadikan sebagai seorang pekerja yang melaksanakan perintah kaum ga’e meze.
            Dalam kajian Paul Arndt, stratifikasi sosial ini dikatakan mengikuti pola kasta dalam tradisi Hinduisme. Hal ini ditegaskan dengan melihat asal-usul masyarakat Ngadhu yang berasal dari India Timur Laut, yakni ‘Magadha’ yang bermigrasi ke daerah ini dengan membawa pola kasta dalam tradisi Hindu. Ini adalah sebuah asumsi yang dibangun dengan dasar asal-usul nenek moyang orang Ngadhu. Tetapi dalam penelitian lapangannya, ia mempunyai pandangan yang sama dengan Watu Yohanes Vianey bahwa penamaan lapisan sosial di dalam masyarakat Ngadhu masih berhubungan dengan indentifikasi masyarakat berdasarkan urutan kelahiran.

3.3.3 Dasar Pijak Sistem Kekerabatan Berdasarkan Perkawinan
Salah satu masa peralihan terpenting dalam kehidupan manusia adalah peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa dan berkeluarga dengan ditandai oleh adanya perkawinan. Perkawinan sebagai bagian dari unsur budaya yang universal, ditemukan di dalam seluruh kehidupan sosial.[51] Perkawinan adalah sumbu perkembangan sebuah masyarakat. Kelangsungan hidup suatu masyarakat dan kehidupan suku (woe) ditentukan oleh perkawinan. Melalui perkawinan, generasi baru sebagai pembawa nama keluarga dan pelanjut kehidupan suku dilahirkan. Hal ini juga yang dimaknai oleh masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata pada khususnya. Perkawinan menghantar warga suku untuk berpindah dari statusnya sebagai seorang bujang atau gadis ke dalam sebuah status hidup yang baru sebagai suami dari seorang isteri atau isteri bagi seorang suami. Perkawinan merubah kedudukan seseorang dalam keluarga dan masyarakat karena perubahan status itu.
            Perkawinan dengan segala prosesnya adalah peristiwa peralihan dari satu fase hidup ke dalam suatu fase hidup yang lain, yakni dari fase hidup remaja ke fase hidup orang dewasa. Perkawinan juga adalah sebuah langkah penting dalam proses pengintegrasian manusia dalam tata alam sakral yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh tradisi untuk masuk tata alam tersebut.[52] Dalam upacara perkawinan dihadirkan kembali perkawinan asasi pada zaman purba yang seringkali dilukiskan lewat dua pribadi, Dewa dan Dewi, sepasang nenek moyang, yang mana dalam keyakinan masyarakat adat Kampung Doka tergambar dalam persatuan ngadhu dan bhaga.
            Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang diinginkan bersama dan sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah masyarakat. UU No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan yang sah bila perkawinan itu sah menurut Hukum Agamanya. Namun, berbeda dengan norma dan hukum adat. Keabsahan sebuah perkawinan menurut hukum adat wajib memenuhi beberapa persyaratan. Perkawinan yang diharapkan dan sesuai dengan hukum adat Ngadhu adalah perkawinan yang memenuhi beberapa syarat berikut:
1.      Harus sesuai dengan tuka ghi bonu pida (sederajat).
2.      Telah melewati masa inisiasi.
Dua hal di atas adalah dasar pijak pembentukan sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan.

3.3.3.1 Tuka Ghi Bonu Pida
Tuka ghi bonu pida artinya ‘sederajat.’ Dalam perkawinan, pria dan wanita bersatu sekaligus menjalin ikatan kekerabatan di antara kedua bela pihak keluarga masing-masing. Pria meninggalkan rumahnya dan masuk ke dalam rumah isterinya sebagai tamu. Tetapi dia tidak otomatis menjadi anggota klan (woe) dari isterinya. Melainkan isterinya akan menjadi anggota dari woe suaminya apabila si suami memberikan sejumlah belis (ngaluana) kepada keluarga si isteri. Pemberian belis dimaksudkan agar keturunannya menjadi bagian dari woe si suami. Ini terjadi apabila anggota woe dari si suami sangat kurang atau minim anggotanya.
Dalam perkawinan pula dikenal istilah tuka ghi artinya yang sama derajatnya. Seorang isteri harus mempunyai golongan yang sama. Misalnya, wanita ga’e harus memiliki suami dari ga’e juga. Dia tidak boleh mengambil suami dari kelompok kisa atau azi ana. Tetapi, pria dari kelompok ga’e bisa mengambil wanita dari kelompok kisa atau azi ana. Begitu juga wanita dari kelompok kisa tidak bisa mengambil pria dari kelompok azi ana. Pada saat ini, paham ini ditentang oleh oleh berbagai pihak karena melihat perkawinan tuka ghi bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik Roma dan nilai kemanusiaan.
Masyarakat pada umumnya melarang perkawinan inses karena dianggap tabu. Perkawinan inses tidak hanya menyangkut perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, tetapi juga berkaitan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat dan sejak dahulu dijunjung tinggi dan bernilai.[53] Sanksi atas pelanggaran akan perkawinan inses sangat kuat di berbagai macam daerah kebudayaan.
Sejak pengaruh hegemoni ajaran Gereja Katolik Roma ‘bersentuhan’ dengan kehidupan adat masyarakat Kampung Doka, perkawinan yang demikian ditolak karena tidak sesuai dengan ajaran Yesus Kristus, bahwa semua orang adalah sama derajadnya di mata Tuhan. Memang ajaran ini membawa pengaruh yang positif bagi proses internalisasi nilai akan pemahaman tentang kesetaraan di antara manusia. Namun pada kenyataannya, hal ini tetap dipertahankan tetapi sanksinya tidak seketat zaman dahulu. Sanksinya saat ini adalah si wanita diusir dari rumah (sa’o). Dia tidak lagi boleh terlibat dalam seluruh proses kehidupan di dalam rumah, tidak ada hak dan kewajiban.

3.3.3.2 Telah Melewati Masa Inisiasi
3.3.3.2.1 Ruki Kusu Bu’e
            Ruki adalah ‘adat pingitan,’ di mana anak gadis yang hendak menginjak dewasa harus dipingit selama tujuh hari (minimal tiga hari). Pada saat ini, ritus ini hanya terdapat di dalam wilayah adat Kampung Doka. Adat ini mengandung nilai magis, sosial budaya dan hukum yang dikemas dalam mitos Wonga Runu, Gere dan Sina, Bhoga Jara, Reo Genga. Ruki selalu dilaksanakan pada waktu bersamaan dengan ritual Reba (pesta tahun baru adat). Seorang gadis yang memiliki gua ruki (gua adalah ‘adat suatu komunitas yang dilandasi oleh nilai magis’), ketika memasuki usia 10-12 tahun wajib melakukan ruki tahap I. Terhadap gadis yang menjelang dewasa, yaitu mereka yang sudah berusia di atas 12 tahun (13-17 tahun), wajib melakukan ruki tahap II, yang disebut wadho. Gadis yang telah melakukan wadho berarti telah siap untuk kawin. Bagi pria yang mengawini wanita yang belum wadho maka akan dikenai denda, wajib membayar sejumlah hewan. Sanksi ini disebut roka kaku, yaitu ‘membuka secara paksa adat kegadisan,’ yang diibaratkan dengan perkosaan.
            Para gadis yang mengikuti ritual ruki ini harus hidup di sebuah pondok pengasingan, di luar desa atau di belakang rumah induk. Pondok pengasingan ini dinamakan sa’o are (‘rumah padi, rumah kesuburan’). Mereka hidup di dalam pondok yang tertutup rapat. Makna ritual ini, ruki (‘hidup tertutup atau dipingit’) dan kusu bu’e (‘padi yang sedang mekar atau akan mengeluarkan bunganya’). Ritual Reba selalu bersamaan dengan padi yang menjelang mekar atau berbunga. Kusu bu’e (kusu: ‘cuci hingga bersih’, bu’e: gadis) adalah wanita yang melakukan penyucian diri dan hanya dilakukan oleh woe-woe yang memiliki gua (tata cara ritual). Di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, tidak semua gadis dalam woe melakukan ruki dan menjadi kusu bu’e, hanya yang memiliki gua ruki.[54] Cara untuk mengetahui bahwa seorang gadis memiliki gua ruki adalah dari namanya. Oleh karena itu, nama pada masyarakat Kampung Doka sangat bermakna dan mempunyai arti penting. Nama mewakili leluhur si pemilik nama yang pertama kali berjuang mendapatkan gua. Pada saat ini, di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, terdapat dua gua, yakni Gua Buku Reba dan Gua Pana. Gua Buku Reba dipegang Woe Sito dan Gua Pana dipegang Woe Genga.

3.3.3.2.2 Ripa Ngi’i (Acara Merapikan Gigi)
            Setelah melakukan ruki, kaum wanita masih lagi melakukan ritual yang lain, yakni ripa ngi’i atau acara merapikan gigi. Merapikan gigi dimaksudkan agar gigi menjadi rata dan hitam. Wanita yang bergigi hitam berarti wanita dewasa. Ini untuk membedakan dengan wanita yang belum dewasa, yang masih bergigi putih. Wanita dewasa yang belum dirapikan giginya disamakan dengan anjing. Pada masyarakat Ngadhu pada umumnya, wanita dewasa diperkenankan untuk makan sirih pinang sedangkan wanita yang belum dewasa tidak diperkenankan untuk makan sirih pinang. Karena sirih adalah simbol wanita dan pinang adalah simbol laki-laki, sehingga sirih pinang berarti senggama, dan air sirih adalah simbol pecahnya selaput dara. Wanita dewasa yang membiarkan giginya putih akan dihina orang, mo ego ngi’i lako, artinya seperti gigi anjing.
            Inti yang terkandung dalam ritual ripa ngi’i adalah simbolisasi seorang wanita boleh bebas bergaul dengan manusia lain, baik laki-laki maupun perempuan. Apabila belum melaksanakan ritual ini, ia masih belum dianggap dewasa karena masih di bawah pengawasan orang tua. Ritual ini biasanya dilakukan setelah ritual wadho atau ruki. Upacara ini dilakukan di ‘kebun ritual’ (uma moni), di mana semua bahan makan telah tersedia dan disaksikan banyak orang. Pada waktu acara ritual, apabila gigi yang dirapikan mengeluarkan darah maka hal ini menandakan bahwa wanita itu tidak perawan lagi. Seorang wanita dikatakan masih perawan, apabila ketika giginya dirapikan maka tidak akan mengeluarkan darah. Di Kampung Doka, ritual ini terakhir kali dilaksanakan pada tahun 1967 dan sejak saat itu, ritual ini dihilangkan karena dianggap dapat membahayakan kesehatan.
            Ritual inisiasi bagi kaum laki-laki dalam masyarakat Ngadhu pada umumnya adalah sunat (dhegha loka/bo logo/po’o). Dhegha loka adalah tempat di mana para pria disunat dan sekaligus tempat pengajaran tentang adat-istiadat leluhur. Namun saat ini, ritual ini sudah ditiadakan sejak hegemoni ajaran Gereja Katolik Roma ‘bersentuhan’ dengan kehidupan masyarakat adat Kampung Doka.

 BAB IV
MAKNA SISTEM KEKERABATAN
DI DALAM MASYARAKAT KAMPUNG DOKA

            Pada rumusan masalah yang ketiga dari penulisan skripsi ini adalah manakah makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata? Makna dari sistem kekerabatan yang ditawarkan pada bab ini adalah tafsiran ‘makna sesudah makna’.[55] Maksudnya, proses pemaknaan yang dilakukan pada bab ini memuat sirkulasi penafsiran retrospektif dan prospektif. Penafsiran retrospektif adalah upaya untuk memetakan ulang makna-makna yang terkandung di dalam sistem kekerabatan pada bab terdahulu. Selanjutnya penulis membuat peta makna yang baru, yang kiranya selaras zaman, emansipatoris dan visioner, tanpa mengabaikan makna sistem kekerabatan yang sudah terkandung dahulu di dalamnya.

4.1 Makna Kekerabatan Woe
            Makna kekerabatan woe yang akan dipaparkan penulis terdiri atas empat buah makna yang secara essensial terkandung di dalam sebuah kekerabatan woe. Makna-makna itu, antara lain: makna persatuan, sosial, religius dan yuridis.

4.1.1 Makna Persatuan
Hubungan sosial di antara manusia adalah sebuah kebutuhan. Hubungan ini tidak lahir secara temporal tetapi secara hakiki telah ada di dalam diri manusia.[56] Misalnya, seorang pria membutuhkan seorang wanita. Manusia bersatu dengan manusia yang lain membentuk kesatuan, seperti: keluarga, masyarakat, atau kelompok sosial lainnya. Di dalam kesatuan itu, terbentuk hubungan timbal-balik antar manusia dan dari sana terbentuk sekumpulan sistem yang diterima dan dipercaya dapat mengatur pola tingkah laku manusia. Misalnya, hukum adat, adat-istiadat, sistem norma dan nilai, pendidikan, kebudayaan, kekerabatan.
            Sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka adalah manifestasi dari interaksi manusia. Kekerabatan woe telah menunjukkan bahwa manusia menyatukan diri dalam sebuah keyakinan yang dianut bersama. Kekerabatan woe memuat makna persatuan, pluribus unum, kesatuan tidak tercipta dari satu melainkan dari banyak. Woe adalah wadah yang menyatukan banyak orang ke dalam sebuah keyakinan akan kesamaan leluhur, disatukan dalam sebuah mitologi yang sama dan simbol-simbol adat yang sama. Semua itu adalah hasil karya manusia yang ditujukan untuk menyatukan manusia dalam sebuah kebersamaan. Di dalam masyarakat adat Kampung Doka, woe adalah sebuah wadah internalisasi nilai-nilai yang diciptakan dan diwariskan oleh para leluhur, peletak dasar sebuah woe, demi menjamin kelangsungan hidup woe. Orang yang berkumpul dalam satu woe disebut ‘satu pintu’ atau mogo seone, satu rahim’ atau mogo setuka (mogo: bersama, tuka: rahim). Pengertian mogo (bersama-sama) seone (se: satu; one: dalam) dan mogo (bersama-sama) setuka (‘satu rahim) diartikan sebagai kesadaran akan keberadaannya dari satu rahim ibu yang sama. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa woe adalah simbol pemersatu.
Di dalam kekerabatan woe, para anggota disatukan atas dasar ikon-ikon adat, seperti: ngadhu-bhaga, meri-peo, anaie yang sama. Para anggota woe terhimpun dalam sebuah koalisi rumah tradisional (sa’o) yang sama. Di dalam koalisi ini pula, semua anggota woe yang masih hidup, juga disatukan dengan leluhur yang mana diungkapkan dalam simbol-simbol adat. Pemilik sa’o (mori sa’o), bukan saja manusia yang masih hidup tetapi juga leluhur yang sudah meninggal dan memuncak pada Dewa Sa’o. Ini menunjukkan bahwa di dalam kekerabatan woe telah terjadi persatuan antara Yang Ilahi dan yang insan.
Makna persatuan ini juga tercermin dari kisah perjalanan nenek moyang orang Doka. Dalam perjalanan mereka dari ‘Magadha’ hingga ke Kampung Doka sekarang ini menghadapi tantangan yang sangat berat. Hal ini tercermin dalam mitos ‘sui uwi’ yang dilantunkan pada waktu pesta Reba. Sui uwi adalah sebuah gambaran perjalanan fisik maupun batin nenek moyang masyarakat ngadhu-bhaga. Dalam perjalanan fisik, nenek moyang kita menghadapi tantangan baik dari alam (badai, bahaya di dalam hutan belantara) maupun dari sesama manusia, seperti perang dan penaklukan. Tantangan yang demikian berat ini dibutuhkan persatuan dan kesatuan dalam bentuk ikatan lahiriah maupun batiniah (jiwa dan raga). Agar keutuhan komunitas ini tetap terjaga, maka dibentuklah woe ili, yaitu komunitas berdasarkan asal usul. Mengapa? Sebab komunitas yang berasal dari keturunan yang sama ini terjaga keasliannya, terjamin soliditasnya.[57] Persatuan ini juga adalah lambang dari persatuan simbol adat, yakni ngadhu dan bhaga, yang senantiasa harus bersama ketika didirikan. Artinya, masyarakat Kampung Doka meyakini bahwa persatuan dua simbol adat di atas adalah dasar dari keberadaan mereka yang terhimpun dalam komunitas kekerabatan woe.

4.1.2 Makna Sosial
            Manusia bukanlah binatang yang hanya dikuasai oleh naluri-naluri instingtif. Manusia berbeda dengan binatang yang selalu hidup dalam suatu kelompok tanpa memahami secara mendalam arti dari persatuan dalam kelompok itu. Sebaliknya, manusia adalah makhluk yang berkesadaran diri, berakal budi dan berimajinasi, yang secara eksistensial ada bersama dengan yang lain, menjalin sebuah sosialitas dan membentuk komunitas bersama.[58] Sosialitas bukanlah sekadar masalah tidak sendirian. Hal ini bukan hanya mengacu pada realitas adanya banyak orang yang sama-sama di satu tempat dan sedang berkumpul. Ia bukanlah sebuah keramaian, sebab model kumpulan seperti ini bukanlah kerinduan dasar manusia. Yang menjadi kerinduan semua orang adalah sebuah komunitas berlandaskan prinsip bonum commune, di mana di dalamnya terjalin suasana kebersamaan yang saling mengenal, menyapa, membantu, memperkaya, melayani dan mengembangkan satu sama lain.
Salah satu tokoh yang merefleksikan tentang dimensi sosialitas ini adalah Alfred North Whitehead. Dalam sistem filsafatnya yang dinamakan filsafat proses, Whitehead mau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada, ‘semuanya mengalir’ (all things flow) seiring dengan mengalirnya waktu. Setiap satuan aktual secara essensial terjalin dalam rentangan pengalaman dari masa lalu ke masa depan dalam kegiatan yang saling berkaitan. Di sana ada keterjalinan satuan aktual yang saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini nyata dari apa yang oleh Whitehead disebut sebagai ‘prinsip relativitas.’ Prinsip ini berbunyi: “merupakan hakikat setiap ‘pengada’ bahwa ia merupakan potensi untuk setiap proses ‘menjadi’ (its belong to the nature of a ‘being’ that it is a potential for every ‘becoming’).”[59] Satuan aktual yang satu muncul dari satuan aktual yang telah ada sebelumnya dan telah mencapai kepenuhan dirinya (satisfication). Demikian pula satuan aktual yang telah ada menyediakan diri dalam bentuk potensi untuk kelahiran sebuah satuan aktual yang baru (becoming). Dalam kaitannya dengan kekerabatan woe, woe adalah sebuah lanjutan masa lampau, sebuah lanjutan kehidupan masa lampau. Leluhur adalah satuan aktual yang menjadi potensi  dan teraktualisasi dalam ‘kelahiran’ orang Doka yang sekarang, dan orang Doka yang sekarang berpotensi melahirkan generasi berikut. Para leluhur telah menjadi tonggak bagi kelahiran woe.
Menurut kodratnya pula, manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan untuk hidup dalam sebuah masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia lain, co-esse, ‘ada bersama.’ Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya, tidak dapat berkomunikasi dan tidak bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Kekerabatan adalah salah satu wadah yang menunjukkan ciri khas manusia sebagai makhluk sosial. Kekerabatan woe adalah sebuah bentuk persatuan manusia dengan manusia lain. Di dalam kekerabatan ini, orang-orang yang terhimpun di dalamnya memiliki sebuah interaksi afektif yang sangat kuat. Dengan demikian, makna kebersamaan membawa pengaruh yang positif, manusia membutuhkan yang lain. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan praksis ritual adat. Kebersamaan sosial itu terungkap dalam petuah: “su’u papa suru-sa’a papa laka” (‘saling menolong dalam memikul-saling bantu dalam menjunjung’), “ngeta bhagi ngia-mami utu mogo” (‘mentah adalah hak dari masing-masing, tetapi masak adalah hak milik bersama’), “modhe ne’e soga woe-meku ne’e doa delu” (‘berbuat baik dengan teman-berlembut hati dengan sahabat’). Dari petuah ini sekiranya dapat dilihat bahwa di dalam kekerabatan ini, tidak dimunculkan soal ke-aku-an tetapi ke-kita-an. Di dalam petuah ini juga termuat norma-norma yang dihasilkan untuk menjaga kebersamaan sosial sehingga menjadi harmonis.

4.1.3 Makna Religius
            Makna religius di dalam kekerabatan woe yang akan diutarakan penulis, mengikuti pandangan dari Watu Yohanes Vianey dalam desertasinya yang berjudul “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di Kampung Guru Sina, Ngada, Flores.
Woe yang merupakan koalisi dari Sa’o Ngaza itu terdiri dari koalisi unit sosial sa’o pu’u (rumah awal), sa’o lobo (rumah akhir) dan sa’o dhoro (rumah turunan). Koalisi ini dipersatukan oleh ‘tiang korban’ (ngadhu), ‘rumah korban’ (bhaga) dan ‘kebun ritual’ (uma moni) bersama.[60] Simbol ikatan ini bersifat religius, karena itu konsep woe relatif identik dengan konsep religi atau agama. Pengalaman yang religius itu menunjuk kepada sesuatu yang melampaui pengalaman biasa sehari-hari, yang melaluinya menyadarkan manusia tentang kehadiran wujud Ilahi. Hal ini nyata terungkap dalam praktik ritual adat.
 “Tiang korban” (Ngadhu), ikon adat yang merujuk pada ‘bapa asal’, sebagai simbol yang mempersatukan woe sekaligus mengandung makna religius ini, dipandang oleh masyarakat Kampung Doka sebagai simbol religius lokal. Ini dapat dilihat dalam doa yang berbentuk pantun, yang dinyanyikan ketika upacara ritual mula ngadhu (‘menanam ngadhu’), bunyinya: “pogo ngadhu ngaza tau tobo lizu, kabu wi role nitu, lobo wo soi Dewa,” artinya: “tanam ngadhu untuk menyangga langit, akar sampai ke bumi, Nitu (‘leluhur dibawah’) dan ujungnya mencapai Dewa (‘leluhur di atas’).” Maknanya adalah bahwa ngadhu merupakan penghubung manusia dengan Dewa dan leluhurnya. Ngadhu menjadi sebuah simbol yang menunjukkan bahwa para anggota woe bersatu di dalam kebersamaan sosial sekaligus dengan Yang Ilahi.
“Rumah korban” (bhaga) adalah tempat untuk mengolah hewan korban yang telah disembelih, tetapi juga “rumah korban” ini adalah ikon adat yang merujuk pada simbol ‘ibu asal.’ Setiap woe harus memiliki satu ngadhu dan bhaga. Ngadhu dan bhaga adalah simbol dari ‘bapa-ibu asal’ dari sebuah woe yang menurunkan para anggota woe. Di sinilah letak religiositas lokal masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada khususnya.
Di dalam praktik ritual adat, terungkap bahwa di sana ada persatuan antara Yang Ilahi dan yang insani. Bila disandingkan dengan gambaran Gereja Katolik, Woe sebagai sebuah kesatuan unit sosial, dilihat sebagai sebuah ‘gereja mini.’ Anggota woe adalah adalah sekumpulan umat. Di dalam praktik ritual adat, anggota woe ini dipimpin oleh seorang Dela atau imam adat. Secara institusional, Dela mengemban empat fungsi, yakni: (1). Memimpin rapat dan memberikan petuah dan ajaran yang berkaitan dengan penyelenggaraan ritual. (2). Pembawa korban sembelihan, korban bakaran dan korban persembahan kepada Yang Ilahi, sebagai pengantara antara Yang Ilahi dengan yang insani. (3). Menafsirkan kehendak Yang Ilahi dan mewartakannya kepada umat. Dan (4). Dalam nama yang Ilahi memberkati umat, melalui tanda dan sarana religius yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa woe adalah sebuah paguyuban genealogis yang juga memuat unsur religius.

4.1.4 Makna Yuridis
            Sistem kekerabatan dalam pengertian hukum adat disebut rechtsgemeenschaap atau masyarakat hukum adat, sebab ia adalah subjek hukum adat selain individu. Rechtsgemeenschaap ini ada yang menterjemahkan dengan istilah persekutuan hukum adat dan ada pula yang menyebutnya masyarakat hukum adat atau masyarakat adat. Disebut rechtsgemeenschaap atau masyarakat hukum adat sebab ia adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban layaknya seorang manusia, seperti hak-hak atas tanah: hak pakai, hak sewa, dan kewajiban: membayar hutang, melindungi anggota warga, melindungi wilayah dari serangan orang luar dan seterusnya. Di Indonesia, menurut Van Vollenhoven terdapat 19 wilayah adat (Rechtskringen).[61] Salah satunya adalah kekerabatan woe di dalam masyarakat Kampung Doka.
            Woe sebagai masyarakat hukum adat adalah sebuah badan hukum yang bersifat mandiri serta memiliki norma dan aturan hukumnya tersendiri. Woe sebagai sebuah badan hukum adat, mengurusi kehidupan para anggotanya, khususnya dalam pembagian warisan, yakni tanah dan juga sekaligus menjadi badan hukum yang dapat menentukkan kepemilikan seseorang atas harta warisan menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Dengan kehadiran woe, dapat diketahui secara jelas tentang siapa saja yang berhak dan pantas untuk memperoleh harta warisan. Melalui woe, dapat ditarik garis keturunan yang mengesahkan seseorang untuk memiliki harta warisan. Misalnya, dalam pewarisan tanah ulayat, yang berhak menjadi alih waris adalah anak yang ditarik dari keturunan langsung ibu. Sekalipun si ibu adalah wanita yang dibelis, anak-anaknya tetap mendapatkan tanah. Seperti di dalam woe saya, Woe Bhaku Dengi Dula. Saya berhak mendapatkan tanah warisan sedangkan anak-anak dari saudara ibu saya (paman saya) tidak mempunyai hak yang sama seperti saya. Ini dikarenankan oleh sistem matrilineal yang dianut masyarakat Kampung Doka. Saudara ibu saya (paman saya) berhak memperoleh tanah warisan, tetapi tidak bisa diwariskan kepada anak-anaknya. Bila paman saya meninggal, maka tanah itu akan diserahkan kepada saya yang adalah keponakan kandungnya.[62] Hal ini telah diatur di dalam hukum adat dalam sebuah komunitas woe. Selain itu pula, woe memiliki metode yang jelas dan tepat untuk penelusuraan asal usul seseorang dan asal usul harta benda dan pewarisannya.
Di dalam musyawarah untuk mencapai mufakat, kekerabatan woe memainkan peranan yang sangat penting. Misalnya, dalam hal sengketa perebutan warisan, woe sebagai badan hukum adat dapat menentukan orang atau pihak yang paling pantas untuk menjadi alih waris sehingga konflik dapat dihindarkan. Tetapi tak jarang pula terjadi pertikaian yang harus diselesaikan di atas ‘Meja Hijau’ (Pengadilan Negeri). Misalnya pada tahun 2007, terjadi sengketa tanah ulayat di dalam masyarakat Kampung Doka, khususnya antar anggota (ana woe) Woe Tipo. Akar masalahnya adalah ‘penyerobotan tanah’ yang dilakukan oleh anggota Sa’o Longa Sabe terhadap tanah ulayat milik Sa’o Suri Molo. Kedua sa’o ini adalah koalisi rumah adat yang menopang Woe Tipo. Pada awalnya para anggota Sa’o Longa Sabe mengklaim tanah yang disengketakan adalah milik mereka, tetapi sebenarnya tanah itu adalah milik anggota Sa’o Suri Molo. Musyawarah di dalam woe, tidak sanggup menyelesaikan persoalan. Hal ini terjadi karena para anggota Sa’o Longa Sabe tidak mau menaati pembagian yang sudah ada dan sesuai dengan norma yang seharusnya. Mereka akhirnya menyeret masalah ini ke atas meja hijau dan dengan segala upaya, akhirnya mereka memenangkannya.[63] Inilah salah satu keprihatinan penulis dalam usaha mengkaji makna kekerabatan woe sebagai sebuah komunitas hukum adat di dalam masyarakat Kampung Doka.

4.2 Makna Kekerabatan Berdasarkan Ideologi ‘Darah Sejati’
            Di dalam proses memahami kekerabatan berdasarkan ideologi “darah sejati,” penulis mengalami kesulitan untuk memahami kekerabatan yang satu ini. Dari beberapa pandangan para informan dan juga sumber pustaka yang digunakan penulis untuk memperkaya penulisan ini, penulis melihat bahwa ada perbedaan pendapat, khususnya di dalam sumber pustaka yang digunakan. Menurut Watu Yohanes Vianey, kekerabatan ini dilihat sebagai pengaruh Budaya Austronesia untuk menata model pewarisan keturunan darah berdasarkan urutan kelahiran. Beliau melihat klasifikasi ini berdasarkan hubungan kakak-adik. Artinya, ga’e dilihat sebagai anak sulung, kisa dilihat sebagai anak tengah dan azi ana dilihat sebagai anak bungsu. Hal ini berbeda dengan pendapat Paul Arndt dan Dominikus Rato. Mereka berdua melihat kekerabatan ini sebagai sebagai pengaruh budaya Hinduisme. Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Ngadhu pada umumnya berasal dari daerah India Timur Laut, yakni ‘Magadha,’ yang menganut budaya Hindu, di mana mengenal dan menerapkan sistem kasta di dalam masyarakat. Pendapat ini dilihat oleh Watu Yohanes Vianey sebagai masyarakat bentukan Kolonial Belanda, di mana ketika mereka ingin memecah belah kesatuan di dalam masyarakat Ngadhu, mereka membentuk sebuah kerajaan (bentukan Belanda) dan orang yang diangkat menjadi raja dilihat sebagai orang bangsawan (ga’e meze) dan kelompok anak bungsu dikelompokkan sebagai kaum budak (ho’o atau azi ana). Dengan demikian, keluhuran model penataan pewarisan keturunan darah yang original di dalam masyarakat adat Ngadhu mengalami pergeseran secara besar-besaran karena di sana ada kesenjangan yang besar di antara ketiga golongan tersebut. 
            Sekalipun demikian, penulis mencoba melihat dan menemukan makna yang terkandung di dalam kekerabatan ini. Ada tiga makna yang akan diutarakan penulis, yakni makna persaudaraan, makna sosialitas dan historis sosial kemasyarakatan.
 
4.2.1 Makna Persaudaraan
Makna persaudaraan yang diangkat oleh penulis, didasarkan pada pandangan Watu Yohanes Vianey, yakni kekerabatan yang didasarkan pada urutan kelahiran. Model penataan yang demikian ditafsirkan Watu Yohanes Vianey sebagai bagian dari pengaruh Budaya Austronesia untuk menata model pewarisan keturunan darah.[64]
Dengan mengikuti pendapat yang pertama maka di sana penulis menemukan sebuah bentuk komunitas yang bernuansa persaudaraan. Artinya, ga’e, kisa dan azi adalah sebuah urutan kelahiran yang melambang persaudaraan. Makna kekerabatan terasa hangat di dalamnya karena di dalamnya ada kesetaraan derajad, tak ada pemisahan yang dibangun. Kekerabatan yang demikian menawarkan sebuah konsep egalitarian dan fraternitas. Antara ketiga kelompok ini terjalin sebuah hubungan yang saling terkait satu sama lain dengan semangat anti diskriminasi karena diyakinkan oleh sebuah pemahaman tentang asal-usul mereka, yakni dari satu rahim yang sama (mogo seone). Dengan demikian ini mencerminkan ‘umat adat’ dalam religi tradisional, di mana setiap orang bersatu atas kesadaran kesamaan ‘tiang korban’ (ngadhu), ‘rumah korban’ (bhaga) dan ‘kebuan ritual’ (uma moni). Di dalam pemahaman yang demikian, tidak ada lagi bentuk pemisahan atau ketaksetaraan di antara tiga kelompok ini. Sekalipun di dalam sa’o mereka menempati ruang yang berbeda tetapi mereka tetap berada pada rumah yang sama.

4.2.2 Makna Moralitas
            Moral berasal dari bahasa Latin, mores: tata cara, kebiasaan, adat-istiadat di dalam sebuah masyarakat. Secara sederhana moral diartikan sebagai norma yang memuat hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dan sekelompok orang di dalam relasinya dengan sesama di dalam kehidupan bermasyarakat.[65]
            Mengikuti pendapat Watu Yohanes Vianey, moralitas masyarakat adat Kampung Doka juga adalah moralitas berbasis rumah, yaitu Sa’o Ngaza. Sa’o Ngaza tidak hanya diartikan sebagai bangunan tempat tinggal, tetapi juga unit sosial kecil.[66] Dalam Filsafat Pata Dela, dituturkan bagaimana status persona ‘aku’ (ja’o) disebut ‘aku yang bermoral.’ Berikut cuplikan Pata Dela dan makna yang terkandung di dalamnya, yang dikutip penulis dari desertasi Watu Yohanes Vianey:

Ja’o da ga’e                                         Aku yang sejati                                                   
Mo’e Ratu Ka’e                                   Seperti Ratu Ka’e
Ja’o da kega                                         Aku yang setia
Moe Ila Wolo                                       Seperti Ila Wolo

Mali ja’o da molo                               Kalau aku berada dalam kebenaran
Bhodha di’i dhu dolo                         Kebahagiaanku akan tinggal menetap selamanya
Mali ja’o da sala                                                 Kalau aku berada dalam kesalahan
Bhodha we nama we raka                                 Cepat atau lambat (aku) akan mengalami penderitaan

Bait pertama Pata Dela mengatakan tentang ‘aku’ yang baik adalah ‘aku’ yang mengahayati nilai ‘kesejatian’ (ga’e) dan nilai ‘kesetiaan’ (kega). ‘Kesejatian’ itu adalah ‘kesejatian’ Ratu Ka’e yang dalam konteks Budaya Austronesia, istilah ratu tersebut menunjuk pada bobot manusia ‘pemimpin yang luhur.’ ‘Kesetian’ itu merujuk pada Ila Wolo, yaitu terang bagi sesama dan ‘dunia.’ Ini menunjukkan bahwa ‘aku’ yang bermoral adalah ‘aku’ yang dalam relasi sosial menghayati personalitas keakuan-ku dengan berperilaku sebagai pemimpin bagi diriku sendiri, yang dapat mengendalikan diri dari berbagai kecenderungan jahat (wera) dan dengan setia menjadi terang bagi sesama.
                  Bait kedua secara khusus berbicara tentang konsekuensi dari perbuatan moral dan a moral. Jika melakukan perbuatan yang bermoral maka ‘aku’ akan mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, jika ‘aku’ melakukan perbuatan a moral maka ‘aku,’ cepat atau lambat akan mendapatkan penderitaan.[67]

            Dari kutipan Pata Dela di atas, penulis melihat bahwa ada kaitannya dengan kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati.’
Orang Ngadhu pada umumnya dan orang Doka pada khususnya, mengatur kehidupannya berdasarkan ajaran pokok adat yang telah ditetapkan sejak dahulu dan berlandaskan ‘Meko,’ yakni ‘terang dari atas,’ yang menerangi seluruh aspek kehidupan manusia, yakni Allah, penguasa langit dan bumi. Ajaran pokok kehidupan manusia itu, seperti yang termuat di dalam Pata Dela di atas, harus diikuti, ditaati dan dijalankan oleh manusia dan bila tidak diamalkan maka akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Orang yang mentaati dan menghayati serta mengamalkan ajaran itu, ia disebut orang yang terpilih, orang yang bersih dan murni hatinya (da zaki bha’i) menurut ketetapan tata krama masyarakat adat. Orang itu disebut ga’e.
Dengan demikian, penulis melihat bahwa pengelompokan di dalam kekerabatan ini diukur dari cara hidup dan sikap moral seseorang di tengah masyarakat. Hal ini berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatannya yang sejalan dengan ajaran pokok tadi, seperti yang terungkap dalam Pata Dela di atas. Orang ga’e adalah orang yang punya sikap hidup yang baik dan bermoral tinggi sehingga dia disegani dan tentunya dia juga adalah orang yang bijak. Kekayaan tidak melulu menjadi ukuran bagi seseorang untuk masuk dalam kelompok ga’e karena tidak semua orang di dalam masyarakat Kampung Doka yang menjadi ga’e adalah orang yang punya banyak harta. Hidup moral yang baik adalah ukurannya. Ia dapat menjadi imam adat dalam praktik ritual karena ia sanggup menterjemahkan kehendak dari Yang Ilahi, karena kehendak Yang Ilahi hanya dapat ditafsirkan oleh orang yang murni hatinya. Ia juga dapat menjadi pemimpin karena ia memiliki moral hidup yang baik sehingga menjadi teladan bagi yang lain.
Sedangkan kelompok kisa adalah kumpulan orang-orang ga’e yang sedikit ternoda dan ‘pudar’ moralnya karena ketidaksanggupannya untuk menjaga moral hidup yang baik. Ia digolongkan melakukan pelanggaran ringan. Dan kelompok azi ana atau ho’o adalah kumpulan orang-orang yang tidak bermoral. Mereka selalu mengabaikan dan melalaikan ajaran pokok di dalam masyarakat adat. Akibat perbuatan mereka yang tidak bermoral, mereka dipandang hina di dalam masyarakat dan derajadnya semakin menurun bahkan disamakan dengan ho’o wena naja (nilainya sama dengan pelupu, tempat orang duduk dan berjalan).
Dengan demikian di dalam kehidupan bermasyarakat, tingkah laku dan sikap seorang manusia sangat mempengaruhi pandangan dan perlakuan orang lain terhadap dirinya. Jadi, kekerabatan ini berkaitan dengan moralitas hidup manusia.

4.2.3 Makna Historis Sosial Kemasyarakatan
            Sejarah (history) adalah pencarian pengetahuan dan kebenaran.[68] Sejarah hanya dialami dan dibangun oleh manusia karena manusia adalah makhluk yang berakal budi dan berkesadaran. Sejarah meliputi masa lampau untuk membantu manusia dalam mengerjakan sesuatu pada masa sekarang dan dalam menghadapi masa yang akan datang. Sebagai pencarian atas pengetahuan dan kebenaran, sejarah merupakan penggambaran kritis atas seluruh kebenaran kejadian atau fakta pada masa lampau. Sejarah selalu memuat makna dan arti di dalam sebuah kejadian atau fakta. Dengan mengetahui sejarah, dapat dimengerti tentang keberadaan sesuatu pada saat ini dan dapat diperkirakan tentang keberadaannya di masa yang akan datang.
Kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ dapat dipahami sebagai sebuah hasil sejarah yang dibuat leluhur pada masa lampau, sekaligus di dalamnya memuat sebuah kebenaran dan ketetapan akan realitas pada saat ini, khususnya di dalam masyarakat Kampung Doka. Makna historis dari kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ yang akan disajikan penulis bersumber pada sebuah data wawancara Dominikus Rato terhadap beberapa narasumber di dalam Kampung Doka, yang memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menjelaskan persoalan yang dikaji oleh penulis. Data ini adalah sebuah hasil wawancara kepada Ebu Ngea Anu, Ebu Pajo Ghao, Nikolaus Ria, Domi Losa, Ande Gaji dan Simon Ghari, di mana mereka semua adalah Dela Nua di dalam Kampung Doka.
Mereka mengisahkan tentang sejarah asal-usul orang Doka. Diperkirakan nenek moyang orang Doka berasal atau datang dari Srilangka (dalam bahasa lokal disebut Seylo). Kemudian mendirikan kerajaan di Pulau Jawa (Jawa bagian pedalaman) yang bernama Kalingga (di Kampung Doka diwakili Woe Keli dan Genga).
Nenek moyang orang Doka ini adalah pendatang pertama dan dari keturunan raja, maka disebut ga’e meze (ga’e moe ratu ka’e, meze moe kega ila). Sebagai pendatang pertama, maka mereka adalah tuan tanah (ga’e moe ratu ka’e), dan karena mereka adalah keturunan bangsawan, maka mereka dihormati dan memegang kekuasaan politik, yakni menjadi ketua suku (meze moe kega ila).
Ketika terjadi perang saudara di Pulau Jawa, keturunan Kalingga (leluhur Woe Keli dan Genga) ini melarikan diri ke daerah dibagian Timur. Dalam perjalanan ke Timur, golongan ini mendiami pulau-pulau kecil di Sumba (golongan ga’e di Pulau Sumba adalah Maramba dan Tau Kabisu. Sehingga ada kesamaan budaya megalit dan rumah adat dengan masyarakat ngadhu-bhaga di pulau Flores). Kini Woe Keli dan Genga tersebar di berbagai kampung dengan bermacam-macam nama. Pemekaran ini disebabkan oleh perjalanan panjang dari Pulau Jawa hingga Kampung Doka sekarang ini.
Sejarah leluhur ini disosialisasikan melalui mitologi dan folklore. Mitos itu adalah sesuatu yang benar dan benar bagi mereka yang mempercayainya. Di lain pihak, mitos itu ditampik kebenarannya oleh pola pikir Filsafat Yunani, khususnya pada masa Socrates yang membongkar kekuasaan raja yang berasal dari Dewa Seuz. Akan tetapi, pada masyarakat yang berasal dari luar Yunani masih mengandalkan mitos sebagai sumber kebenaran, sebab di dalam mitos ada pesan yang hendak disampaikan, yaitu tentang kebaikan dan kejahatan, keadilan dan kefasikan, kepahlawanan dan kelicikan.
Dalam perjalanan waktu konsep kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ memiliki makna yang terus dikembangkan dan dipertahankan. Kekerabatan ini dipandang sebagai kebenaran dan wajib dipertahankan oleh masyarakat Kampung Doka dan lembaga untuk mempertahakan kekerabatan ini adalah perkawinan.
Ga’e kisa adalah mereka yang datangnya kemudian, yaitu ketika terjadi perang dengan Portugal, orang-orang Melayu dari Utara melarikan diri ke Selatan, dan bertahan di Makasar dan Bima. Ketika terjadi perang saudara di Bima sebagian dari mereka melarikan diri ke daratan Flores dan bertahan di Manggarai dan Bagian Utara Flores Tengah, yaitu Riung-Wangka. Kemudian mereka ini menyebar hingga ke selatan, yaitu wilayah adat ngadhu-bhaga dan mulai berbaur dengan masyarakat di sana melalui perkawinan.
Dalam perjalanan waktu, para laki-laki dari pendatang pertama (golongan ga’e meze) kawin dengan wanita dari golongan kedua, golongan ga’e kisa (mereka yang datang kemudian). Kemudian dari perkawinan ini muncul anak yang disebut ana pasa,[69] mereka juga berhak atas tanah dan rumah adat di kalangan golongan ga’e meze. Dan, selanjutnya tetap diterima sebagai anggota keluarga dan keturunan sah dari kelompok golongan ga’e meze.
Berkaitan dengan golongan ho’o, ada dua pandangan. Pertama, mereka juga disebut wena naja atau ho’o roro. Mereka ini memang telah menjadi hamba sahaya dari golongan ga’e meze, yaitu mereka yang menjadi hamba sahaya yang dibawa sejak dari Sri Langka hingga dalam perjalanan ke Pulau Jawa dan hingga tiba di Kampung Doka. Mereka ini diperoleh melalui ‘jual-beli’ pada zaman dahulu, entah memang dari sana sudah menjadi budak belian atau hasil perburuan manusia. Kemungkinan lainnya adalah karena kalah judi dan dijual oleh orang tuanya. Kedua, mereka juga disebut Denu Reba. Golongan ini adalah mereka yang kalah dalam perang dan dijadikan hamba sahaya. Mereka ini juga pernah dari golongan atas, bangsawan (ga’e meze) atau golongan tengah (ga’e kisa).
Dengan meneliti historisitas ini, maka kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ di dalam masyarakat Kampung Doka, dapat dipahami, dijelaskan dan dihubungkan dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat adat Kampung Doka. Cerita ini diturunkan turun-temurun dan dianggap sebagai sebuah kebenaran yang patut diterima. Konsekuansi dari keberadaan kekerabatan ini adalah dalam praktik ritual adat, doa-doa hanya dilantunkan oleh golongan ga’e meze.[70] Selain itu pula, hanya golongan dari ga’e meze yang berhak memberi dan membawa korban persembahan pada perayaan ritual adat. Di dalam masyarakat Kampung Doka, hal ini terlihat jelas pada Woe Keli dan Genga. Kedua woe adalah keturunan ga’e dan mereka adalah pemegang gua pana, yaitu adat untuk menentukan kapan terjadinya Reba di dalam Kampung Doka dan hanya mereka yang mempunyai wewenang untuk itu.
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa pengelompokan masyarakat Kampung Doka ke dalam tiga kelompok, gae, kisa dan azi ana didasarkan pada sebuah sejarah masa lampau dan masih dipertahankan hingga kini. Sejarah ini adalah pengetahuan dan sumber kebenaran sehingga dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat Kampung Doka.

4.3 Makna Kekerabatan Berdasarkan Perkawinan
            Salah satu masa peralihan terpenting dalam kehidupan manusia adalah peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa dan berkeluarga yang ditandai dengan perkawinan. Perkawinan merupakan sebuah unsur terpenting yang ditemukan di dalam setiap lapisan kehidupan sosial masyarakat budaya.[71] Perkawinan merupakan sebuah hal yang sangat diperhatikan di dalam masyarakat adat. Perkawinan mendapat perhatian yang cukup serius karena perkawinan merupakan salah satu sumbu perkembangan masyarakat. Melalui perkawinan, kestabilan anggota sebuah masyarakat dapat terjamin keberlangsungannya.
            Perkawinan juga merupakan hal yang sangat diperhatikan di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Bagi masyarakat adat Kampung Doka, proses perkawinan adalah sesuatu yang perlu diperhatikan secara baik oleh masyarakat, khususnya orang tua yang memiliki anak dan kaum muda yang akan dikawinkan. Mengapa? Karena perkawinan memuat makna yang sangat dalam bagi perkembangan sosial-adat masyarakat Kampung Doka dan perkawinan itu harus dijalankan seturut norma dan nilai yang dihayati serta berlaku di dalam masyarakat Kampung Doka.
            Dalam uraian berikut, penulis akan memaparkan dua makna, yakni makna moralitas dan kesucian yang ditemukan oleh penulis di dalam sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan.

4.3.1 Makna Normatif
            Perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat Kampung Doka harus sesuai dengan norma dan nilai budaya yang telah diwariskan leluhur. Ini menunjukkan bahwa perkawinan itu harus mengusung makna normatif, artinya berlaku sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan leluhur, dihidupi karena dianggap bernilai. Perkawinan berkaitan juga dengan tingkah laku manusia, artinya seorang pria ketika akan mencari jodohnya, harus sesuai dengan norma yang berlaku sehingga ia dikatakan orang yang bermoral. Norma perkawinan yang berlaku di dalam masyarakat Kampung Doka adalah tuka ghi bonu pida, artinya ‘sederajat.’
Istilah tuka ghi yang artinya sama derajatnya, merujuk pada keharusan seorang wanita harus mencari pria yang berasal golongan yang sama sebagai suaminya. Perkawinan juga berkaitan dengan status sosial seseorang di dalam masyarakat berdasarkan ideologi ‘darah sejati.’ Misalnya, wanita ga’e harus memiliki suami dari ga’e juga. Dia tidak boleh mengambil suami dari kelompok kisa atau azi ana. Tetapi, pria dari kelompok ga’e bisa mengambil wanita dari kelompok kisa atau azi ana. Begitu juga wanita dari kelompok kisa tidak bisa mengambil pria dari kelompok azi ana. Pelanggaran terhadap perkawinan berdasarkan norma tuka ghi adalah la’a sala (‘jalan salah’).
Pada saat ini, perkawinan yang demikian dipandang sebagai sesuatu yang tidak manusiawi. Namun, ini adalah norma yang berlaku di dalam masyarakat Kampung Doka. Norma ini sebenarnya bertujuan untuk menghindarkan para kaum muda dari pergaulan bebas. Selain itu pula, norma ini ditujukan untuk menjaga kemurnian rank dan keturunannya. Karena dalam pandangan orang Doka, seseorang yang punya hidup moral yang baik tidaklah mungkin bersatu dengan orang yang hidup moralnya buruk, kebaikan tidak mungkin bersatu dengan kejahatan, ini akan merusak kewibawaan kelompok yang disegani karena hidup moral yang baik. Norma ini tertuang dalam ungkapan adat: “ghiri tuka ghi, ngira bonu pida, lobo wi papa tozo, tara wi papa dhaga”, artinya “mencari jodoh sesuai dengan status dan tingkatan, agar ujung saling berdekatan dan ranting saling berkaitan.” Masyarakat Kampung Doka pada umumnya melarang perkawinan yang demikian karena dianggap tabu karena dianggap perkawinan inses. Perkawinan inses tidak hanya menyangkut perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, tetapi juga berkaitan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat dan sejak dahulu dijunjung tinggi dan bernilai.[72]

4.3.2 Makna Kesucian
            Perkawinan dengan segala prosesnya adalah peristiwa peralihan dari satu fase hidup ke dalam suatu fase hidup yang lain, yakni dari fase hidup remaja ke fase hidup orang dewasa. Perkawinan juga adalah sebuah langkah penting dalam proses pengintegrasian manusia dalam tata alam sakral yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh tradisi untuk masuk tata alam tersebut.[73] Dalam upacara perkawinan dihadirkan kembali perkawinan asasi pada zaman purba yang seringkali dilukiskan lewat dua pribadi, Dewa dan Dewi, sepasang nenek moyang, yang mana dalam keyakinan orang Doka termuat dalam ikon adat, yakni ngadhu dan bhaga. Di dalam perkawinan terkandung makna kesucian. Kesucian yang dimaksudkan penulis adalah berkaitan dengan kelayakan seorang wanita dan pria untuk disatukan dalam sebuah ikatan perkawinan, yakni kemurnian (keperawanan dan keperjakaan).
            Kesucian setiap pribadi yang akan melangsungkan perkawinan berkaitan dengan kemurnian, kebersihan diri dari si pria dan wanita. Kebersihan itu tidak hanya menyangkut kesehatan atau kebersihan secara fisik, tetapi yang paling utama adalah kebersihan diri secara total, jiwa dan raga. Demi mencapai kebersihan itu, maka diharuskan mengikuti beberapa upacara inisiasi budaya yang bertujuan untuk mendewasakan pria dan wanita. Upacara itu telah dimulai sejak seorang anak dilahirkan dan dilakukan secara bertahap hingga seorang anak itu mencapai kedewasaan dan siap untuk dikawinkan.[74] Upacara itu antara lain: poro puse (‘ritual pemotongan tali pusar seorang bayi’), tame ngaza (‘ritual pemberian nama’), gue luke atau lu zaki (‘ritual pembersihan diri yang bertujuan untuk menghapus dosa’), koi fu (‘ritual pemotongan rambut’). Ini adalah ritual inisiasi yang dijalankan oleh seorang bayi hingga masa kanak-kanak.
Ketika memasuki remaja, seorang wanita diwajibkan untuk menjalankan ritual ruki kusu bue (‘pingit padi muda’), yakni seorang anak gadis harus dipingit selama 7 hari (minimal 3 hari). Pada saat ini, ritus ini hanya terdapat di dalam wilayah adat Kampung Doka. Setelah melakukan ruki, kaum wanita masih lagi melakukan ritual yang lain, yakni ripa ngi’i atau acara merapikan gigi. Merapikan gigi dimaksudkan agar gigi menjadi rata dan hitam. Inti yang terkandung dalam ritual ripa ngi’i adalah simbolisasi seorang wanita boleh bebas bergaul dengan manusia lain, baik laki-laki maupun perempuan. Apabila belum melaksanakan ritual ini, ia masih belum dianggap dewasa karena masih di bawah pengawasan orang tua. Pada waktu acara ritual, apabila gigi yang dirapikan mengeluarkan darah maka hal ini menandakan bahwa wanita itu tidak perawan lagi. Seorang wanita dikatakan masih perawan, apabila jika giginya dirapikan maka tidak akan mengeluarkan darah.
            Setelah melewati ritual-tirual di atas, seorang anak muda, khususnya wanita, siap untuk dikawinkan. Hal ini dimungkinkan karena ia telah suci dan bersih. Kesucian ini lebih banyak dituntut kepada seorang wanita yang hendak menikah.
 
4.4 Refleksi Kritis
            Refleksi kritis yang akan disajikan penulis adalah sebuah refleksi tentang keberadaan tiga komunitas kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka dalam kaitannya dengan pengaruh hegemoni ajaran Gereja Katolik Roma dewasa ini di dalam kehidupan masyarakat adat Kampung Doka. Masyarakat Kampung Doka seluruhnya menganut ajaran Geraja Katolik Roma. Realita ini cukup mempengaruhi cara pandang serta pola perilaku masyarakat, khususnya terhadap tiga komunitas kekerabatan di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Di satu pihak, ada hal positif yang muncul dari inkulturasi ajaran Gereja Katolik Roma ke dalam praktek budaya pada masyarakat Kampung Doka, saling memperkaya. Tetapi di lain pihak, terjadi pertentangan dalam beberapa hal prinsipil, yang mana ajaran Gereja Katolik Roma berusaha menggugurkan beberapa praktik dan produk kebudayaan yang tidak sejalan dengan doktrin Gereja Katolik Roma.
Dalam kaitannya dengan kekerabatan woe, pengaruh ajaran Gereja Katolik Roma cukup terasa. Hal ini dapat dilihat dari penggambaran komunitas kekerabatan woe sebagai sebuah ‘gereja mini,’ dan anggota woe yang adalah ‘umat adat,’ dilihat sebagai umat Allah di dalam sebuah komunitas gereja. Penggambaran yang demikian kiranya adalah cara yang tepat dan jitu bagi Gereja Katolik Roma untuk diterima di dalam masyarakat Kampung Doka. Selain itu pula, masyarakat adat dapat memahami tentang konsep Yang Ilahi dalam ajaran Gereja Katolik Roma dengan menggunakan konsep Yang Ilahi dalam tradisi religi agama etnik, yakni “Dewa Zeta Nitu Zale.” Konsep Dewa sinonim dengan Tuhan dan dikenal juga Riwu Dewa yang dalam ajaran Gereja Katolik Roma merujuk pada santo-santa, orang kudus yang senantiasa mendoakan manusia. Hal sama pula dipercaya bahwa Riwu Dewa adalah roh leluhur yang immortal, yang senantiasa menjaga manusia. Hal ini ditegaskan pula dalam praktek ritual adat, di mana ada seorang ‘imam adat’ (Dela) yang secara institusional mengemban empat fungsi, yakni: (1). Memimpin rapat dan memberikan petuah dan ajaran yang berkaitan dengan penyelenggaraan ritual. (2). Pembawa korban sembelihan, korban bakaran dan korban persembahan kepada Yang Ilahi, sebagai pengantara antara Yang Ilahi dengan yang insani. (3). Menafsirkan kehendak Yang Ilahi dan mewartakannya kepada umat. Dan (4). Dalam nama yang Ilahi memberkati umat, melalui tanda dan sarana religius yang berlaku. Gambaran yang demikian merujuk pada sosok imam sebagai Alter Christus di dalam kehidupan Gereja Katolik Roma, yang hadir mewakili Kristus sebagai Kepala Gereja Kudus, mewartakan Sabda Allah dan memberkati umat Allah dalam nama Allah. Dengan demikian, kekerabatan woe sebagai sebuah ‘gereja mini’ dapat dipahami.
            Berkaitan dengan kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati,’ ajaran Gereja Katolik Roma dengan tegas menolak dan menggugurkan sistem stratifikasi sosial di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Kekerabatan ini dianggap tidak manusiawi karena merendahkan martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang mulia dan sempurna. Dalam pandangan ajaran Gereja Katolik Roma pula, manusia dilihat sebagai makhluk yang sama derajadnya dengan manusia yang lain. Hal ini memang belum mendapat respon yang positif dari sebagian masyarakat Kampung Doka yang masih hidup dalam hegemoni indoktrinisasi turun-temurun, khususnya para generasi tua. Namun, di dalam kehidupan sehari-hari penggolongan yang demikian tidak tampak. Bahkan ada orang dari golongan kisa atau azi ana yang sangat dihormati berkat prestasinya atau teladan hidupnya yang baik. Di samping itu pula, kewibawaan golongan ga’e juga kian memudar seiring dengan semangat zaman yang terus menggemakan kesetaraan dan juga karena sikap dan tingkah laku kaum ga’e yang dianggap buruk di dalam kehidupan sosial.
Dalam kekerabatan berdasarkan perkawinan, Gereja Katolik Roma sangat memperhatikan kemurnian setiap pasangan yang akan menerima sakramen perkawinan. Perkawinan sebagai ungkapan cinta mesra antara suami-isteri dalam terang cinta mesra antara Kristus dengan gereja, diharuskan untuk bebas dari segala kemungkinan yang dapat menodai kesucian sakramen perkawinan itu sendiri. Misalnya, antara pasangan yang akan menikah, belum pernah terikat perkawinan sebelumnya kecuali satu di antaranya meninggal. Untuk itu, Gereja Katolik selalu melaksanakan penyelidikan kanonik, salah satunya dengan menuntut adanya status liber, yang menyatakan keabsahan pasangan dalam statusnya yang ‘masih bebas’ sehingga berhak untuk menerima sakramen perkawinan. Peraturan yang demikian juga terdapat dalam budaya masyarakat Kampung Doka, yakni adanya ritual inisiasi bagi seorang remaja yang hendak menikah, yakni ruki kusu bu’e dan ripa ngi’i. Ritual ini ditujukan untuk mengetahui kemurnian seseorang untuk hidup dalam persekutuan yang diikat oleh lembaga perkawinan. Di dalam ritual itu, kemurnian diukur dari kesuksesan ritual itu. Misalnya dalam ritus ruki kusu bu’e, apabila bere (tempat sirih khas wanita Ngadhu) robek maka dia dikatakan ‘tidak lagi murni’ (tidak lagi perawan) dan dalam ritual ripa ngi’i, apabila ketika gigi dirapikan dan mengeluarkan darah maka dia dianggap telah ternoda. Dengan demikian, dua institusi, yakni adat dan agama, mempunyai cara yang berbeda dalam mempersiapkan seseorang untuk masuk dalam ikatan perkawinan. Artinya, kedua institusi ini sangat memperhatikan kemurnian seseorang yang akan menikah.  
Selain itu pula, kehadiran ajaran Gereja Katolik Roma mencoba mengubah pola perilaku masyarakat budaya Kampung Doka yang salah, yakni berkaitan dengan poligami. Dalam ajaran Gereja Katolik Roma, ditegaskan bahwa perkawinan katolik bersifat monogami, satu dan tak terceraikan, persatuan yang tak terpisahkan, “moe go wea da lala dape” (‘seperti emas yang melebur dan melengket’). Ungkapan ini merujuk bahwa perkawinan adalah sebuah persatuan yang tidak dapat dipisahkan, persatuan antara dua insan manusia yang saling mencintai. Ungkapan di atas, diteguhkan lagi dengan ungkapan: “go fai haki rake moe go wea da lala dhape” (‘suami-isteri yang menyatu seperti emas yang dilebur dan saling melengket’).
Dengan demikian, sistem poligami ditolak. Namun dalam kenyataan bahwa pada zaman dahulu, masyarakat Kampung Doka telah menghalalkan praktek poligami. Selain itu pula, konsep tak terceraikan terbentur dengan realitas di dalam kehidupan masyarakat Kampung Doka di mana adanya praktek ‘waja,’ yakni memberikan sejumlah hewan dan barang sebagai bentuk talak. Dalam kasus tertentu, Gereja Katolik Roma sebagai institusi keagamaan, menolak untuk memberikan sakramen perkawinan bagi mereka yang terbelit dalam praktek ‘waja.’
Gereja Katolik Roma juga menolak norma tuka ghi bonu pida. Hal ini bertolak dari doktrin tentang kesetaraan antara pria dan wanita. Gereja Katolik Roma secara meyakinkan merestui perkawinan yang melanggar norma di atas asalkan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma. Namun di lain pihak, suami-isteri yang melakukan la’a sala dalam kehidupan adat, tetap menerima sanksi secara adat, yakni ‘diusir’ dari rumah (sa’o), khususnya wanita. Hak dan kewajibannya di dalam rumah (sa’o) dihapuskan.
            Inilah refleksi kritis penulis mengenai keberadaan komunitas kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka dalam perjumpaannya dengan ajaran Gereja Katolik Roma. Di satu pihak penulis melihat bahwa adanya inkulturasi yang konstruktif, tetapi di lain pihak ada beberapa hal prinsipil yang masih terbentur, seperti: norma tuka ghi bonu pida, sistem stratifikasi sosial, praktek poligami. Penulis sebagai seorang calon imam, sangat mendukung adanya inkulturasi dengan Gereja Katolik Roma dan mendukung ajaran Gereja Katolik Roma yang menentang beberapa praktek adat yang tidak sejalan dengan ajaran gereja.  
  
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
            Keseluruhan analisis dan refleksi filosofis terhadap sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, dapat disimpulkan secara kognitif dalam empat butir berikut:
            Pertama. Sistem kekerabatan lahir dari sebuah kebutuhan dasariah setiap manusia, yakni kebutuhan akan kehadiran yang lain. Setiap manusia membutuhkan manusia yang lain demi mempertahankan keberadaannya sekaligus untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Kebutuhan dasariah ini tanpa disadari telah melahirkan sebuah masyarakat, awal kehadiran sebuah populasi manusia. Individu-individu yang saling membutuhkan untuk saling melengkapi itu, akhirnya membentuk masyarakat. Kehadiran masyarakat membawa konsekuensi pada terbentuknya berbagai macam sistem sosial yang meneguhkan kehidupan sosial.
Kedua. Sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka adalah sistem kekerabatan yang unik. Keunikan itu terletak pada basis dari kekerabatan, yaitu adat. Komunitas kekerabatan di dalam Kampung Doka didasarkan pada kesamaan leluhur yang dalam sistem simbolnya, terdapat dalam ikon-ikon adat, seperti: “tiang korban” (ngadhu), “rumah korban” (bhaga) dan “kebun korban” (uma moni). Kekerabatan yang demikian di dalam masyarakat Kampung Doka disebut kekerabatan woe (klan), kekerabatan berbasiskan rumah (sa’o). Selain kekerabatan woe, masyarakat Kampung Doka juga mengenal kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati.’ Kekerabatan ini merujuk pada status sosial yang disandang oleh seseorang di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Anggota masyarakat dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni gae, kisa dan azi ana, di mana ketiganya mempunyai peranannya masing-masing di dalam masyarakat adat. Sekalipun demikian, di dalam kehidupan adat ketiga kelompok ini mengusung unsur persaudaraan dan kebersamaan, communio. Selain dua komunitas kekerabatan di atas, pada masyarakat Kampung Doka juga terdapat kekerabatan berdasarkan perkawinan. Perkawinan dalam masyarakat Kampung Doka memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Melalui perkawinan, kelangsungan kekerabatan woe terus berlangsung dan dari perkawinan, seseorang memperoleh status sosialnya di dalam kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati.’
            Ketiga. Ketiga bentuk kekerabatan yang telah disebutkan di atas, bukanlah sebuah kekerabatan yang terbentuk begitu saja, tetapi berpijak pada sesuatu yang hakiki, yang diterima kebenarannya dan dihayati masyarakat adat Kampung Doka. Dasar pijak kekerabatan woe adalah kesadaran akan kesamaan leluhur dan mitos yang sama. Kekerabatan woe juga disatukan dalam simbol adat, yakni anaie, meri-peo, ngadhu-bhaga dan sa’o dan juga oleh sejarah sosial kemasyarakatan dan berdasarkan hubungan genealogis.
Sedangkan sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati,’ didasarkan pada kepercayaan pada mitos yang sama, mitos Dala Ko Ne Wawi Toro. Kekerabatan ini juga berpijak pada urutan kelahiran.  Dan kekerabatan berdasarkan perkawinan didasarkan pada norma tuka ghi bonu pida (sederajat) dan telah melewati masa inisiasi.
Keempat, kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka memuat makna yang mendalam. Kedalaman makna tersebut terletak pada penghayatannya dan pengamalannya. Kekerabatan woe memuat makna persatuan, makna sosial, makna religius dan makna yuridis. Sedangkan kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ memuat makna persaudaraan. Selain itu, kekerabatan ini mengandung makna sosial dan historis. Dan kekerabatan berdasarkan perkawinan mengandung makna moralitas dan makna kesucian.
Kelima, di dalam kenyataan terlihat bahwa terjadi ‘persentuhan’ antara komunitas adat Kampung Doka dengan ajaran Gereja Katolik Roma. Di satu pihak adanya inkulturasi yang konstruktif, tetapi di lain pihak masih ada beberapa hal prinsipil yang masih terbentur, seperti yang diutarakan penulis dalam refleksi kritis.

5.2 Saran
            Kajian budaya yang disajikan penulis ini membantu penulis dan para pembaca, pemilik kebudayaan, untuk kembali melihat dan mengkaji nilai kebudayaan lokal sebagai basis. Penulis secara khusus ingin mengangkat kembali citra dari arti, dasar dan makna dari kekerabatan di dalam masyarakat adat Kampung Doka.
            Melalui kajian budaya ini, penulis menyarankan agar kepada setiap generasi muda dan para pemilik budaya lokal, untuk dengan setia mencoba mengkaji nilai-nilai kebudayaan lainnya yang belum sempat dikaji oleh penulis, khususnya dalam kebudayaan Ngadhu. Melalui penulisan ini pula, penulis berharap dapat membantu para pembaca, pemilik kebudayaan dan para generasi muda dalam menambah wawasan mengenai kebudayaan lokal.
            Melalui kajian budaya ini pula, penulis mengharapkan agar nilai-nilai budaya dalam kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka yang tidak sejalan lagi dengan semangat zaman, khususnya berkaitan ‘gender’ dapat diperbaharui agar budaya itu menjadi budaya yang humanis.
            Akhirnya, dari kedalaman hati, penulis menyarankan agar para pembaca, pemilik budaya dan generasi muda, dapat mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam kekerabatan dan dari sana dapat disosialisasikan ke tengah masyarakat agar semakin hari, kehidupan kita semakin berarti.
  
DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus
Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976
2. Buku-Buku
Arndt, Paul, SVD, Agama Orang Ngadha: Kultus, Pesta Dan Persembahan (Vol. II), Maumere: Candraditya, 2007
_______________, Masyarakat Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum Adat, Ende: Nusa Indah, 2009
_______________, Hinduisme Der Ngadha, Maumere: Candraditya, 1958
Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi Sosial Dan Budaya; Sebuah Pengantar, Maumere: Ledalero, 2009
Evans-Pritchard, E.E., The Nuer, England: Clarendon Press, 1940
Fedyani Saifuddin, Achmad, Ph. D, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai   Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Fischer, Th. H., Pengantar Antropologi Budaya Indonesia, Jakarta: Pustaka Sarjana, 1980
Fromm, Erich, Masyarakat Bebas Agresivitas, Maumere: Ledalero, 2004
Graffin, David Ray and Donald W. Sherburne (Ed), Alfred Northh Whithead: Process and Reality, New York: The Free Press, 1978
Herskovits, Melville J., Man And His Works. New York: Alfred A. Knopf, 1952
Keesing, Roger M., Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer (Edisi II), Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992
Koentjaraningrat, Prof. Dr., Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djembatan, 2007
Narwoko, Dwi dan Bagong Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Dan Pengantar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004
Poespowardojo, Soerjanto, Startegi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis, Jakarta: Gramedia, 1989
Pujileksono, Sugeng, Pengantar Antropologi, Malang: UMM Press, 2006
Rachmat, Subagya, Agama Dan Alam Kerohanian Asli Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1979
Rato, Dominikus, Dr. SH., M. Si., Hukum Dalam Perspektif Konstruksi Sosial: Kasus Ngada-Flores, NTT, Jember: LaksBang Mediatama, 2008
Saku, Dominikus, Dr. Pr, Menyimak Makna Sejarah, Jakarta: PT. Binamitra Megawarna, 2007
Soyomukti, Nurani, Pengantar Sosiologi, Yogyakarta: AR-RUSS MEDIA, 2010
Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto (Ed), Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005
Tua Demu, Yoseph, BA, Budaya Ngadha Dalam Proses Pembangunan Masyarakat Dan Gereja, Surabaya: Agape 73 Printing, 1996
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995

3. Karya-Karya Yang Tidak Diterbitkan
Longa, Lukas, “Relevansi Upacara Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam Proses Pendewasaan Gadis Remaja” (Skripsi), Maumere: STFK Ledalero, 1996
Vianey, Watu Yohanes, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di Kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Denpasar: Universitas Udayana, 2008
Wula, Felista, “Makna Ritus Ruki Kusu Bu’e Bagi Masyarakat Desa Radabata, Kecamatan Golewa,Kabupaten Ngada (Skripsi), Ende: Sekolah Tinggi Ilmu Pembangunan Santa Ursula, 2010

4. Pustaka Net

5. Data Informan
      Bpk. Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H.,M.Si (55 Tahun)
TTL                             : Doka, 5 Januari 1975
Pekerjaan                     : Dosen
Alamat                          : Jember, Jawa Timur
                  Pendidikan Terakhir      : S-3
                  
                  Bpk. Benediktus Kadha (64 tahun)
TTL                             : Doka, 15 Maret 1948
Pekerjaan                     : Petani
Alamat                                    : Kampung Doka, Desa Radabata, Kec. Golewa, Kab. Ngada
Pendidikan Terakhir    : SR (Sekolah Rakyat)

3                Bpk. Dominikus Sua (67 Tahun)
TTL                             : Doka, 10 November 1945
Pekerjaan                     : Petani
Alamat                        : Kampung Doka, Desa Radabata, Kec. Golewa, Kab. Ngada
Pendidikan Terakhir    : SR (Sekolah Rakyat)

4                Oma Evliana Jedhe (75 Tahun)
TTL                             : Doka, 31 Desember 1937
Pekerjaan                     : Petani
Alamat                          : Kampung Doka, Desa Radabata, Kec. Golewa, Kab. Ngada
Pendidikan Terakhir       : SR (Sekolah Rakyat)

                  Bpk. Stevanus Nou (42 Tahun)
TTL                             : Doka, 25 Desember 1970
Pekerjaan                     : Guru-PNS
Alamat                         : Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur.
Pendidikan Terakhir      : SPG


CURRICULUM VITAE
CIMG0871.JPG
Nama Lengkap                      : Florianus Hengki Rato
Tempat/ Tanggal Lahir        : Waingapu, 4 Mei 1989
Nama Ayah                            : Andreas Padha
Nama Ibu                               : Yuliana Finu
Status Dalam Keluarga        : Anak Tunggal
Riwayat Pendidikan :
v  TK       : TKK Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur
v  SD       : SDK Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur
v  SMP    : SMPK Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko, Ngada
v  SMA   : SMAK Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko, Ngada
v  PT        : Fakultas Filsafat Agama, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, NTT


[1] Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 203
[2] Thomas Hylland Eriksen, Antropologi Sosial Dan Budaya; Sebuah Pengantar, (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 160
[3] Watu Yohanes Vianey,Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), (Denpasar: Universitas Udayana, 2008), hlm. 304
[4] Dr. Dominikus Rato, SH.,M. Si, Hukum Dalam Perspektif Konstruksi Sosial; Kasus Ngada-Flores, NTT, (Jember: LaksBang Mediatama, 2008), hlm. 55
[5] Anaie adalah ikon adat yang menjadi simbol dari leluhur pertama yang menghadirkan manusia ke bumi Anaie adalah simbol kehadiran ‘Oba-Nanga; Ghe dan Ghena.’ Anaie menurunkan meri, simbol leluhur wanita (keka lela) dan peo, simbol leluhur laki-laki. Meri menurunkan bhaga (‘rumah korban,’ simbol leluhur wanita), sedangkan peo menurunkan ngadhu (‘tiang korban,’ simbol leluhur laki-laki). Bhaga menurunkan sa’o peka pu’u (‘rumah awal’) dan Ngadhu menurunkan sa’o peka lobo (‘rumah akhir’), yang selanjutnya menurunkan manusia.
[6] Bpk. Dominikus Sua, wawancara 28 Februari 2012
[7] Lukas Longa, “Relevansi Upacara Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam Proses Pendewasaan Gadis Remaja” (Skripsi), (Maumere: STFK Ledalero, 1996), hlm. 10
[8] Penduduk Kab. Ngada (sekarang) terdiri dari 3 suku besar: So’a (asli), ngadhu-bhaga dan Riung-Wangka. (Bpk. Dr. Dominikus Rato, Wawancara 5 Desember 2011)
[9] Lukas Longa, “Relevansi Upacara Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam Proses Pendewasaan Gadis Remaja” (Skripsi), Op. Cit., hlm. 19
[10] Watu Yohanes Vianey,Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 93
[11] Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si, Op. Cit., hlm. 56
[12] Ibid.,  
[13] Thomas Hylland Eriksen, Op. Cit., hlm. 280
[14] P. Paul Arndt, SVD, “Hinduisme Der Ngadha” (Maumere: Candraditya, 1958), pp. 99-102
[15] Lukas Longa, “Relevansi Upacara Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam Proses Pendewasaan Gadis Remaja” (Skripsi), Op. Cit., hlm. 13
[16]  Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit., hlm.28
[17] Ata Polo adalah manusia yang dianggap paling jahat. Ia dapat membunuh orang dengan sekali ucap, pandang atau membatin. Ia pun dipercaya dapat memakan daging manusia secara rohani. Orang sangat takut pada mereka ini karena cara membunuh mereka yang sangat gaib itu, ngewa. Setiap orang tua mengharapkan agar keturunan mereka tidak berjodoh dengan keturunan Ata Polo ini. Lawan dari Ata Polo ini adalah Ata Rato. (Ibid., hlm. 282)
[18] Mitos ini berasal dari tuturan Ama Kae Fua Ie (Alm.) yang dirangkum oleh Dominiku Rato dan diprensentasikan dalam bukunya “Hukum Dalam Persepektif Konstruksi Sosial: Kasus Ngada, Flores, NTT.” Oba dan Nanga adalah dua saudara kembar. Mereka memiliki dua Saudari yang bernama Ne Ghe dan Ne Ghena. Oba dan Nanga (Me Oba dan Me Nanga. Kata me merupakan kata depan dan merujuk pada laki-laki, berasal dari kata Ame yang artinya ayah) lebih tua. Kedua adik mereka, yakni Ne Ghe dan Ne Ghena (kata Ne merupakan kata depan yang merujuk pada permpuan, berasal dari kata Ine) juga adalah saudari kembar. Sebetulnya, keempat saudara ini adalah saudara kembar, tetapi Oba dan Nanga dilahirkan lebih dahulu dalam waktu yang bersamaan sehingga sulit menentukan siapa yang lahir terlebih dahulu. Pada waktu kelahiran mereka terjadi keanehan, yakni Oba dan Nanga lahir dalam wujud air. Lama kelamaan, wujud manusia Oba dan Nanga ini semakin membesar sehingga terbentuklah air laut dan sungai (Oba: laut dan Nanga: sungai). Sedangkan Ghe dan Ghena berubah wujud menjadi daratan. Orang tua mereka membuat batas diantara mereka dengan batas tanaman nenas dan bakau. Laut dilarang melewati nenas karena itu adalah daerah Nanga. Laut juga dilarang melewati bakau karena itu adalah daerah Ghe dan Ghena. Ghe dan Ghena kemudian beranak pinak dengan mengisi semua makhluk yang ada di darat. Ghe menguasai lembah dan Ghena menguasai gunung. Oba sendiri menurunkan semua makhluk di air dan Nanga menurunkan semua makhluk di air. Oleh karena itu, keturunan Ghe dan Ghena yang menguasai tanah lebih dominan dalam hal pewarisan terhadap tanah pertanian serta dalam hubungan kekerabatan yang matrilineal. Oba dan Nanga sebagai laki-laki lebih banyak berada di luar rumah sehingga bagi mereka di rumah isteri adalah tamu, rajo dheke (Ibid.,hlm. 23-25)
[20] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976), hlm. 485
[21] Soerojo Wigjodipoero, Pengantar Dan Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hlm. 10
[22] Roger M. Keesing, Antropologi Budaya: Suatu Perspektif  Kontemporer (Edisi II), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), hlm. 123
[23] E.E. Evans-Pritchard, The Nuer, (England: Clarendon Press, 1940), pp. 104-106
[24]Melville J. Herskovits, Man And His Works. (New York: Alfred A. Knopf, 1952), pp. 239-309. Terjemahan T.O Ihromi (Ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981), hlm. 142-145
[25] Th. H. Fischer, Pengantar Antropologi Budaya Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sarjana, 1980), hlm. 81-82
[26] Bpk. Dr. Dominikus Rato, wawancara, 5 Desember 2011

[27] Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si, Loc. Cit.,
[28] Oma Evliana Jedhe, wawancara 20 november 2011
[29] Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, (Jakarta: Djembatan, 2007), hlm. 199
[30] Bpk. Benediktus Kadha, wawancara 28 November 2011
[31] Watu Yohanes Vianey,Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Loc. Cit.,

[32] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 400
[33] Subagya Rachmat, Agama Dan Alam Kerohanian Asli Di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1979), hlm. 171
[34] Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Loc. Cit.,
[35] Bpk. Stevanus Nou, Wawancara 1 Maret 2012
[36] Mudji Sutrisno dan Hendra Putranto (Ed), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), hlm. 137
[37] Cf. Paul Arndt, SVD, Masyarakat Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum Adat, (Ende: Nusa Indah, 2009), hlm. 209
[38] Cf. Soerjanto Poespowardojo, Startegi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 146
[39] Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit., hlm.37
[40] Ibid., hlm. 39
[41] Kepercayaan masyarakat Ngadhu yang asli adalah Nitu Dewa yang terungkap dalam kalimat Dewa Zeta Nitu Zale. Dewa berada di atas dan Nitu berada di bawah terdalam. Nitu terdiri dari dua bentuk, yaitu yang kasar dan yang halus. Yang kasar ialah Nitu dan yang halus bernama Ngebu. Nitu mewakili leluhur perempuan dan Ngebu mewakili leluhur laki-laki. Antara Dewa dan Nitu punya dua sifat yang bertentangan. Matahari sebagai Dewa sifatnya panas dan mudah marah sedangkan Ngebu sebagai perwakilan leluhur laki-laki adalah penyabar dan pelindung. Sebaliknya juga, bulan sebagai Dewi memiliki sifat yang dingin dan sabar. Hal ini bertentangan dengan Nitu sebagai perwakilan dari leluhur perempuan yang sangat ditakuti karena suka sekali mengutuk. Kalau matahari dan bulan adalah Dewa yang menjaga manusia sebelum manusia lahir maka, Nitu dan Ngebu memelihara manusia setelah manusia meninggal kelak. Dewa yang melahirkan dan Nitu yang memelihara. (Ibid., hlm. 35-36) Dr. Watu Yohanes Vianey melihat secara berbeda tentang konsep Yang Ilahi dalam religi orang Ngadhu. Yang Ilahi disebut Dewa dan Riwu Dewa. Dewa sinonim dengan Tuhan dan Riwu Dewa adalah para leluhur dan makhluk-makhluk rohani yang immortal. (Watu Yohanes Vianey,Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi), Op. Cit., hlm. 25)
[42] Paul Arndt, SVD, Agama Orang Ngadha: Kultus, Pesta Dan Persembahan (Vol. II), (Maumere: Candraditya, 2007), hlm. 20
[43] Ana di’i sa’o disebut juga ana weta, anak dari saudara perempuan ayah. Disebut ana dii sa’o karena status ibunya sebagai dii sa’o atau ‘menunggu rumah’ (sa’o). Jadi, ana dii sa’o adalah anak dari saudara perempuan ayah yang tidak dimintakan ngaluana (belis) atau ngaluana yang diberikan suami hanyalah untuk mempererat dan mengikat tali kekeluargaan. Sedangkan ana pasa adalah ana dhadhi (anak kandung) yang diambil ayahnya setelah mengikuti status ibunya sebagai fai pasa (‘isteri yang telah dibelis penuh’). Ana pasa menjadi sah apabila ayahnya telah membayar ngaluana (belis) secara tuntas atau paling kurang separuhnya. (Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit., hlm. 120-123)  
[44] Ibid ., hlm. 50
[45] J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Dan Pengantar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hlm. 162
[46] Cf. Paul Arndt, SVD, Masyarakat Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum Adat, (Ende: Nusa Indah, 2009), Op. Cit., hlm. 415
[47] Bpk. Benediktus Kadha, Wawancara 25 November 2011
[48] Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit., hlm. 63

[49] Watu Yohanes Vianey,Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 311
[50] Cf. Paul Arndt, SVD, Masyarakat Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum adat, (Ende: Nusa Indah, 2009), Op. Cit., hlm. 423
[51] Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi, (Malang: UMM Press, 2006), hlm. 32
[52] Subagya Rachmat, Loc. Cit.,
[53] Thomas Hylland Eriksen, Op.Cit., hlm. 161

[54] Pada zaman dahulu, semua perempuan memiliki gua dalam suku-suku (woe). Namun pada masa Reo Genga terjadi perubahan. Berdasarkan sejarah pada waktu itu, Reo Genga yang berasal dari Woe Genga mengalami kedukaan, anaknya yang bernama Seghi diculik oleh Manu Liu (burung elang) pada saat Dhoro Reba. Seghi yang pada saat itu keluar dari sa’o are dan menari (ja’i) di depan rumah adat, langsung diculik oleh burung elang dan di bawa ke Doka-Jerebu’u. Berangkat dari kejadian itu, maka Reo Genga mengalihkan kekuasaan kepada Pole Doka, anaknya dan mulai saat itu, perempuan dari suku (Woe) Genga dan Keli tidak boleh menjalankan kusu bu’e. (Felista Wula, “Makna Ritus Ruki Kusu Bu’e Bagi Masyarakat Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada” (Skripsi), (Ende: Sekolah Tinggi Ilmu Pembangunan Santa Ursula, 2010), hlm. 24-25)
[55] Watu Yohanes Vianey,Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit. hlm. 353
[56] Nurani Soyomukti, Pengantar Sosiologi, (Yogyakarta: AR-RUSS MEDIA, 2010), hlm. 257
[57] Bpk. Dr. Dominikus Rato, wawancara 4 April 2012
[58] Erich Fromm, Masyarakat Bebas Agresivitas, (Maumere: Ledalero, 2004), hlm. 224
[59] David Ray Graffin and Donald W. Sherburne (Ed), Alfred Northh Whithead: Process and Reality, (New York: The Free Press, 1978), hlm. 45
[60] Watu Yohanes Vianey,Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 80
[61] Soerojo Wigjodipoero,  Loc. Cit.,
[62] Bpk. Benediktus Kadha, wawancara tanggal 20 Februari 2012
[63] Bpk. Dominikus Sua, wawancara  tanggal 28 Februari 2012
[64] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Loc. Cit.,
[65] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm.399
[66] Ibid., hlm. 400
[67] Ibid.,
[68] Dr. Dominikus Saku, Pr, Menyimak Makna Sejarah, (Jakarta: PT. Binamitra Megawarna, 2007), hlm. 162
[69] Ana pasa adalah anak yang diambil dari ibunya karena ayahnya telah memberi sejumlah belis (ngaluana) kepada ibunya. Dalam kasus di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya perkawinan yang dimaksud adalah si pria berasal dari golongan ga’e meze dan si wanita dari golongan ga’e kisa sehingga anak dari perkawinan ini juga mempunyai hak atas tanah dan warisan lainnya yang ada dimiliki golongan ga’e meze.
[70] Doa-doa dalam praktik ritual adat hanya dilantunkan oleh golongan ga’e meze karena mereka dianggap dan dipercaya punya kekuatan untuk mengucapkan ‘mantra putih’ dan jika ada golongan selain ga’e meze membaca doa, maka mantara itu digolongkan ‘mantra hitam’ yang sering diucapkan oleh ata polo untuk mencelakai orang.
[71] Sugeng Pujileksono, Op. Cit., hlm. 35
[72] Thomas Hylland Eriksen, Loc. Cit.,
[73] Subagya Rachmat, Loc. Cit.,
[74] Yoseph Tua Demu, BA, Budaya Ngadha Dalam Proses Pembangunan Masyarakat Dan Gereja, (Surabaya: Agape 73 Printing, 1996), hlm. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar