BAB
I
PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis akan memaparkan latar belakang
penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, kegunaan penulisan, metode
penelitian, hipotesis, dan sistematika penulisan.
1.1 Latar
Belakang
Manusia dalam semua
fenomena interen yang dialaminya, menyadari suatu yang inti, yang tidak
tersangkalkan sebagai aku yang real atau aku yang mengada. Aku merupakan
kenyataan tertentu yang bernilai, di mana memuat arti dan isi yang tidak lain
adalah aku, sehingga aku terbedakan dengan segala sesuatu yang bukan aku. Dalam
proses mengada, aku berhubungan dengan ‘ada’ yang lain untuk menjadi ‘ada’
secara penuh. Kenyataan di atas menunjukkan ciri ontologis manusia sebagai ens sociale yaitu ‘ada’ yang senantiasa
membutuhkan yang lain. Ciri ontologis ini mau menampakkan bahwa kepenuhan
manusia terjadi karena dorongan untuk bergaul dan berhubungan dengan orang
lain. Dengan demikian, hidup bersama dengan orang lain adalah kenyatan dan
tuntutan kodrat agar manusia bisa berkembang menjadi manusia sejati.
Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang berada di dunia
bersama dengan yang lain. Keberadaan manusia bersama dengan yang lain, co-esse (ada bersama), memungkinkannya
untuk dapat memanifestasikan seluruh dimensi manusiawinya. Perwujudan seluruh
dimensi manusiawi itu terjadi dalam relasi dengan yang lain. Manusia yang
melibatkan diri dalam relasi dengan yang lain juga serentak menyadari dirinya
sebagai yang otonom, dapat menentukan dirinya sendiri. Kesadaran ini juga
membuat manusia berusaha menemukan arti keberadaannya yang otonom itu. Arti
keberadaannya bukanlah mutlak sebagai sesuatu yang terberikan begitu saja,
tetapi semuanya tertata dalam proses jalinan interaksi di antara dirinya dengan
yang lain, sesamanya dan alam dunia. Dalam kebersamaan itu, manusia selalu dan
terus berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan sekitar. Dalam interaksi
itu, manusia menemukan hakekat dan eksistensinya sekaligus mempertegas
keberadaannya sebagai sebuah realitas yang ‘ada’ dan berada di tengah dunia.
Dalam kontak dengan sesama dan alam sekitarnya, manusia mampu memberi arti bagi
kehadiran dan kehidupan yang sedang dihidupinya.
Manusia dalam segala tindakan dan
kegiatannya, selalu berusaha menemukan dan mempertegas hakekat dirinya. Manusia
tidak sekedar ada tetapi ia menunjukkan keberadaannya dalam komunikasi yang
dialektis dengan sesama dan dunia sekitarnya. Komunikasi ini merupakan sebuah
kebutuhan dasariah manusia sebagai ‘ada’ di antara ‘ada’ yang lain dan
keberadaannya di tengah dunia. Dalam komunikasi itu pula, manusia
mengekspresikan dirinya dalam interaksi yang dialektis sebagai konsekuensi dari
hakekatnya. Komunikasi itulah yang pada akhirnya membentuk masyarakat dan melahirkan
kebudayaan, hasil cipta daya dan budi manusia yang memuat arti dan nilai.
Masyarakat dan kebudayaan tidak sekedar ada, tetapi merupakan konsekuensi dari
kebersamaan dan jawaban atas kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Kebudayaan adalah sebuah proses integrasi manusia ke dalam sebuah identitas
bersama dan dari sana dihasilkan berbagai macam produk kebudayaan. Produk
kebudayaan itu, antara lain: bahasa, kesenian, perkawinan, permainan,
ritual-kultus, adat-istiadat. Dalam elemen-elemen ini, manusia mengeksplorasi
dan mengekspresikan seluruh dimensi manusiawi di tengah dunia secara beradab.
Pada akhirnya, segala relasi manusia ini membentuk sebuah relasi dialektis yang
selalu terarah kepada keharmonisan dan keteraturan.
Levi-Strauss, seorang antropolog menyimpulkan bahwa masyarakat ‘primitif’
didorong oleh keinginan kuat untuk membangun keteraturan di dunia.[1]
Keberadaan manusia di tengah masyarakat tidak sekedar menghasilkan
berbagai produk-produk kebudayaan tetapi juga merupakan ungkapan keterdesakkan.
Manusia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan alam, manusia melakukan
adaptasi aktif dengan lingkungan (bukan untuk menguasai alam), manusia berusaha
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia sebagai homo economicus, juga sadar bahwa segala kebutuhannya tidak dapat
dipenuhi sendiri tetapi semuanya dapat terpenuhi dalam kebersamaan dengan yang
lain. Pada akhirnya manusia di tengah manusia yang lain dan di tengah alam
dunia, membentuk sebuah komunitas masyarakat. Komunitas ini bertumbuh atas
dasar kesadaran alamiah manusia sebagai makhluk sosial dengan segala
konsekuensinya. Di tengah masyarakat ini, manusia bertumbuh dan berkembang.
Manusia bertumbuh menjadi pribadi yang sejati sekaligus manusia berusaha
mengembangkan diri dalam mempertahankan kelangsungan keturunannya. Di tengah
masyarakat ini pula, manusia membangun dan mengembangkan jalinan relasi sosial.
Manusia membentuk sebuah sistem kekerabatan. Kekerabatan
adalah pranata sosial yang paling penting di dalam sebuah komunitas masyarakat.[2]
Komunitas kekerabatan dalam banyak hal mengurusi kelangsungan
hidup sebuah kelompok dan anggota kelompok, seperti: perkawinan, keamanan dan
jati diri sosial kelompok. Kekerabatan sebagai pranata sosial berusaha
mengantar manusia ke dalam tataran nilai yang luhur. Artinya, sistem kekerabatan
membantu manusia untuk hidup baik dengan menjujung tinggi nilai, norma dan
aturan di dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat menuju kehidupan bersama
secara layak, makmur, aman, tenteram, damai, dan sejahtera.
Di dalam
masyarakat Ngadhu-Bhaga (Bajawa-Ngada),
khususnya masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, terdapat juga sistem
kekerabatan. Sistem kekerabatan itu terdiri atas tiga komunitas kekerabatan,
yakni sistem kekerabatan woe, sistem
kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ dan sistem kekerabatan
berdasarkan perkawinan. Sistem kekerabatan ini adalah hasil reprensentasi
interaksi manusia, bukan hanya sebagai kontak ‘tubuh diri’ yang bersifat
personal semata-mata, tetapi juga memuat interaksi ‘tubuh diri’ yang bersifat
sosial.[3]
Kekerabatan woe
(klan/suku) adalah kesatuan sosial berdasarkan hubungan genealogis.[4] Artinya, secara genealogis
seluruh anggota woe berasal dari
leluhur yang sama, mempunyai pertalian hubungan darah langsung dari leluhur
yang sama. Namun, pada saat ini, keturunan langsung yang dimaksud di atas sudah
mulai berkurang bahkan hampir tidak ada di dalam setiap woe di dalam Kampung Doka. Hal ini dikarenakan oleh kematian dan
juga oleh karena kurangnya anggota yang berjenis kelamin perempuan di dalam
sebuah woe (masyarakat Ngadhu
menganut budaya matrilineal). Dasar pembentukan dari persekutuan ini adalah
kesadaran akan kesamaan leluhur yang menurunkan mereka. Mereka bersatu atas
kesadaran bahwa mereka berasal dari keturunan ibu-bapak asal yang sama, yang
mana dalam sistem simbolnya terungkap dalam ikon-ikon adat berikut: ngadhu-bhaga, meri-peo dan anaie.[5] Artinya, mereka bersatu
karena diikat oleh kesamaan leluhur yang disimbolkan oleh ngadhu-bhaga, meri-peo, dan anaie.
Woe sebagai sistem kekerabatan orang Ngadhu pada umumnya dan orang Doka
pada khususnya, menunjuk juga pada status sosial yang dimiliki oleh seseorang.
Orang yang berkumpul dalam satu woe (klan) juga disebut ‘satu pintu’
atau mogo seone, ‘satu rahim’
atau mogo setuka (mogo: bersama, tuka: rahim).
Pengertian mogo seone dan mogo setuka
(‘satu rahim’) diartikan sebagai berasal dari satu rahim ibu yang sama. Woe
adalah bagian penting dalam kehidupan sosial masyarakat Ngadhu pada umumnya dan
masyarakat Kampung Doka pada khususnya. Woe sangat menentukan interaksi
sosial manusia di dalamnya, khususnya dalam hal perkawinan dan dalam proses
pewarisan harta benda. Untuk menjelaskan kekerabatan woe di dalam masyarakat Kampung Doka, penulis meneliti dua woe yang berdiam di wilayah Kampung Doka,
yakni Woe Bhaku Dengi Dula dan Woe Tipo.
Selain sistem kekerabatan woe, ada juga sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah
sejati.’ Sistem kekerabatan ini merupakan bentuk klasifikasi sosial di dalam
masyarakat tradisional Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada
khususnya. Klasifikasi ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam interaksi sosial
seseorang di tengah masyarakat. Klasifikasi ini membagi masyarakat Kampung Doka
ke dalam tiga kelompok, yakni ga’e (golongan
atas), kisa (golongan tengah) dan azi ana (golongan bawah). Ketiga
kelompok sosial ini mempunyai peranan dan kedudukan yang berbeda di tengah
masyarakat.
Sistem kekerabatan yang ketiga adalah sistem kekerabatan
berdasarkan perkawinan. Perkawinan sebagai sumbu utama perkembangan masyarakat
merupakan salah satu hal penting yang sangat diperhatikan oleh masyarakat Kampung
Doka. Salah satu kebutuhan biologis manusia adalah kebutuhan manusia akan
‘seks.’ Perkawinan telah mengangkat arti ‘seks’ ke dalam tataran yang lebih
humanis. Seks tidaklah sekedar kebutuhan biologis tetapi wujud keterarahan
manusia untuk melanjutkan keturunan secara beradab. Kekerabatan berdasarkan perkawinan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan dua sistem kekerabatan di atas.
Ketertarikan penulis untuk membahas dan mengkaji sistem
kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata bertolak dari
kepedulian penulis atas situasi yang sedang terjadi di tengah masyarakat Kampung
Doka, Desa Radabata, dalam beberapa problem empirik berikut:
1.
Kurangnya pengetahuan
generasi muda sebagai penjaga/penerus kelestarian budaya dalam memahami sistem
kekerabatan di dalam masyarakat budaya Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung
Doka pada khususnya, termasuk generasi muda yang lahir di daerah diaspora
seperti penulis. Melalui penggarapan tulisan ini, penulis sendiri berusaha
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan sistem kekerabatan di dalam
masyarakat Kampung Doka.
2.
Fenomena arus globalisasi
yang terus merembes hingga ke akar peradaban manusia lokal, khususnya
masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, mulai memudarkan arti dan makna dari sistem kekerabatan yang dibangun dan
dihayati. Arus globalisasi yang dimaksud adalah arus globalisasi yang
bersifat negatif, yakni individualistis dan materialistis.
3.
Adanya fenomena penurunan
penghayatan akan arti dan makna dari sistem simbol-simbol adat di dalam
masyarakat budaya Kampung Doka, yang adalah dasar pijak dari pembentukan sebuah
sistem kekerabatan.
4.
Di dalam realita kehidupan
sosial masyarakat Kampung Doka, muncul fenomena yang memperlihatkan bahwa arti
dan makna dari kekerabatan sudah tidak lagi dihargai. Secara faktual hal ini terlihat
dalam pertikaian antara individu-individu yang masih memiliki hubungan
kekerabatan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan nilai-nilai yang
terkandung dan dijunjung tinggi di dalam sebuah sistem kekerabatan, yakni
persatuan, persaudaran, kebersamaan. Misalnya pada tahun 2007 telah terjadi
sengketa tanah ulayat di dalam Woe Tipo.[6]
Atas dasar latar belakang dan keprihatinan di atas, penulis
sebagai generasi muda dari Kampung Doka, Desa Radabata yang sedang bertumbuh
dan berproses di tengah
dunia, berusaha menyajikan sebuah refleksi filosofis akan arti dan makna serta
dasar pijak dari sistem kekerabatan di dalam
kehidupan sosial masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata dalam tulisan
yang berjudul Sistem Kekerabatan Di Dalam Masyarakat Kampung Doka, Desa
Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada.
1.2
Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana
keberadaan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka?
2. Apa dasar
pijak pembentukan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka?
3. Manakah makna
visioner dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka?
1.3 Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai
dalam tulisan ini, yakni:
- Untuk memahami arti dan makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata.
- Untuk memahami dasar pijak pembentukan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.
- Menemukan makna visioner dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.
- Untuk memenuhi sebagian syarat guna mendapatkan gelar sarjana filsafat.
1.4
Kegunaan Penulisan
1.4.1
Bagi Masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata
Melalui tulisan ini,
diharapkan dapat mengangkat kembali kesadaran masyarakat Kampung Doka, Desa
Radabata akan pentingnya sistem kekerabatan dalam kehidupan sosial. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat Kampung Doka, Desa
Radabata untuk mengembalikan keluhuran arti dan makna sistem kekerabatan secara
benar dari berbagai bentuk pereduksian ke dalam konsep ego sempit ataupun dari
pengaruh arus globalisasi yang bersifat negatif, yakni individualistis dan materialistis.
Penulis juga mengharapkan bahwa tulisan ini dapat meningkatkan rasa persatuan
dan kesatuan di antara masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, khususnya dalam
ikatan kekerabatan. Terkhususnya bagi generasi muda Kampung Doka untuk terus
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam sistem kekerabatan.
1.4.2
Bagi Civitas Academica FFA
Tulisan ini diharapkan
dapat membantu para mahasiswa Fakultas Filsafat Agama untuk memahami dan
merefleksikan kearifan lokal sebagai basis pembangunan manusia yang matang ke
arah yang baik dan benar sesuai disiplin ilmu yang digeluti.
1.4.3
Bagi Penulis
Tulisan ini diharapkan
dapat membantu penulis untuk semakin memahami sistem kekerabatan di dalam
masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata pada
khususnya, sekaligus menambah khazanah pengetahuan penulis akan kearifan lokal.
1.5
Metode Penelitian
Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah untuk mencari, menemukan dan memahami secara kualitatif sistem
kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di Kampung Doka, Desa Radabata, Kecamatan
Golewa, Kabupaten Ngada. Pertimbangan pemilihan lokasi ini, yakni: (1). Lokasi ini
adalah daerah asal penulis berdasarkan garis keturunan ibu. (2). Pada lokasi
ini terdapat jumlah woe yang cukup
banyak (14 woe) beserta simbol-simbol
agama etniknya. (3). Kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ masih
dipegang teguh di dalam masyarakat Kampung Doka, khususnya dalam hal
perkawinan, sekalipun sanksi atas pelanggarannya tidak setegas zaman dahulu.
Ruang lingkup penelitian kualitatif ini dibatasi oleh
tiga pertanyaan dasar yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan dari skripsi
ini. Pertama, berkaitan dengan keberadaan sistem kekerabatan di dalam
masyarakat Kampung Doka. Kedua, berkaitan dengan dasar pijak dari
pembentukan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka. Ketiga,
berkaitan dengan arti dan makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung
Doka.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data
kualitatif berupa kata-kata, kalimat dan ungkapan. Data kualitatif itu pada
dasarnya memuat hal-hal yang dikatakan tentang Kampung Doka (asal-usul
masyarakatnya, organisasi sosialnya dan sistem kekerabatan). Data juga
berbicara tentang arti dan makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung
Doka. Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer ini
adalah data-data dari lapangan penelitian yang diperoleh dari pengamatan,
pengalaman dan wawancara serta diskusi bersama para informan. Sumber data
sekunder dalam penelitian adalah data dari kepustakaan dan hasil penelitian
yang telah dipublikasi.
Data yang diperoleh
dianalisis dan diintepretasi secara filosofis. Selanjutnya data itu dideskripsikan
dalam wujud skripsi ini.
1.6
Hipotesis
Hidup bersama dengan
orang lain adalah kenyatan dan tuntutan kodrat agar manusia bisa berkembang
menjadi manusia sejati. Manusia lahir dan berkembang dalam suatu lingkungan
manusiawi. Mulanya ia hadir dalam keluarga sebagai unit sosial terkecil di
dalam sebuah masyarakat. Di dalam keluarga ini, ‘yang lain’ dilihat sebagai
kerabat. Maka terbentuklah komunitas kekerabatan di dalamnya berdasarkan
relasi-relasi khusus dan tertutup sebab baginya keluarga adalah ‘yang lain,’
yang mengadakan dirinya. Konsep demikian berkembang luas di dalam seluruh
lapisan masyarakat dan terus bertahan dari waktu ke waktu.
Kekerabatan sebagai
sebuah kumpulan relasi interpersonal yang memuat arti dan makna, juga terdapat
di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata. Kekerabatan di dalam
masyarakat Kampung Doka adalah kekerabatan yang unik. Keunikan itu terletak
pada basis dari kekerabatan itu, yakni adat-istiadat beserta produk-produk yang
dihasilkannya. Kekerabatan pada masyarakat Kampung Doka tidak dilihat sebatas
keluarga inti (bapak, mama, kakak dan adik serta keturunan selanjutnya) tetapi lintas
batas, artinya tidak terbatas pada sebuah wilayah tertentu. Di dalam masyarakat
adat Kampung Doka, terdapat tiga komunitas kekerabatan, yakni kekerabatan woe (klan), kekerabatan berdasarkan
ideologi ‘darah sejati,’ dan kekerabatan berdasarkan perkawinan. Ketiga
kekerabatan ini mempunyai arti dan makna di dalam kehidupan sosial masyarakat Kampung
Doka, Desa Radabata.
1.7
Sistematika Penulisan
Pembahasan ini
terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah bab pendahuluan yang mencakup latar
belakang penulisan dan alasan pengangkatan tema tentang sistem kekerabatan di
dalam masyarakat Kampung Doka, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, kegunaan
penulisan, metode penelitian, hipotesis dan sistematika penulisan.
Pada
bab kedua, penulis akan memaparkan gambaran umum Kampung Doka, Desa Radabata. Pembahasan
ini mencakup letak dan kondisi geografis, keadaan penduduk, keadaan ekonomi dan
kehidupan sosial budaya, kesehatan masyarakat, kehidupan religius, pola
pemukiman dan identifikasi penduduk dari masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata.
Pada bab ketiga, penulis
akan memaparkan konsep kekerabatan serta dasar pijak dari sistem kekerabatan di
dalam masyarakat Kampung Doka. Pada bab keempat, penulis akan membahas arti dan
makna dari sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka. Pada bagian ini
penulis akan mengangkat nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem kekerabatan
tersebut. Di akhir dari pembahasan pada bab ini, penulis akan menutupnya dengan
sebuah refleksi kritis.
Penulis
menutup seluruh rangkaian pembahasan ini dengan sebuah kesimpulan serta saran
yang akan dikemukakan dalam bab kelima.
BAB
II
GAMBARAN
UMUM MASYARAKAT
KAMPUNG
DOKA, DESA RADABATA
Pada bab ini, penulis akan menyajikan gambaran umum masyarakat Kampung
Doka, Desa Radabata. Pembahasan ini mencakup letak dan
kondisi geografis, keadaan penduduk, keadaan ekonomi dan kehidupan sosial
budaya, kesehatan masyarakat, kehidupan religius, pola pemukiman dan
identifikasi penduduk dari masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata.
2.1 Letak Dan
Kondisi Geografis Desa Radabata
Radabata
merupakan sebuah desa yang berdiri pada tanggal 27 Juli 1969. Sebelumnya, desa
ini adalah gabungan beberapa kampung, yakni: Doka, Linapau, Waso dan Jadho, yang
biasa disebut Doka Liwaja.[7] Desa ini masuk dalam wilayah administrasi dari Kecamatan Golewa,
Kabupaten Ngada. Desa ini terletak ± 4 km ke arah selatan dari ibu kota
kecamatan dan ± 18 km dari ibu kota kabupaten. Secara geografis, orang Radabata
termasuk dalam kelompok budaya ngadhu-bhaga
menurut pembagian wilayah budaya di dalam Kabupaten Ngada. Ada lima kelompok
wilayah budaya dalam Kabupaten Ngada (sebelum pemekaran menjadi Kabupaten
Nagekeo), yaitu: ngadhu-bhaga, So’a (penduduk asli Kabupaten Ngada), Nage (pedalaman: daerah Boawae, Raja,
Mbay), Keo (daerah pantai selatan:
Nangaroro, Mauponggo, Maunori) dan Riung-Wangka.[8]
Wilayah Desa Radabata berada pada dataran tinggi dengan ketinggian
1250 meter dari permukaan laut. Topografi wilayah ini adalah perbukitan dengan
curah hujan yang tinggi, rata-rata 1800 mm per tahun. Tanah dalam wilayah ini
sangat subur dan digunakan sebagai lahan pertanian dengan pola pertanian
berladang. Kelekatan pada kegiatan berladang atau pengolahan ladang merupakan
ciri umum orang Radabata. ‘Uma maza’ (uma: ladang atau kebun dan maza:
kering) mengacu pada usaha pertanian lahan kering, ‘tau uma’ (tau:
membuat atau membuka) berarti membuka daerah baru untuk menjadi ladang, ‘ngo
uma’ (ngo: kerja) adalah ungkapan umum yang merujuk pada segala
bentuk kegiatan berladang.
Desa Radabata memiliki wilayah seluas 8889 kilometer persegi. Desa
Radabata terdiri dari Kampung Doka (Rongoba’a, Ladoliwu,
Taranage, Bosoka, Bopoma, dan Lokalina) dan Kampung Wajamala serta terdiri dari empat dusun, yakni:
Dusun Taranage, Dusun Ladoliwu, Dusun Maiwali dan Dusun Wajamala. Batas-batas
wilayahnya, yakni: sebelah utara berbatasan dengan Desa Dadawea (Kec. Golewa),
sebelah selatan dengan Desa Were I (Kec. Golewa)
dan Desa Naruwolo (Kec. Jerebu’u), sebelah timur dengan Desa Sadha dan Desa Were
II (Kec. Golewa) dan sebelah barat dengan Desa Rakateda I (Kec. Golewa), Desa Dariwali
dan Desa Naruwolo II (Kec. Jerebu’u).
2.2 Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Desa Radabata berdasarkan hasil pendataan bulan Mei
tahun 2010 adalah 305 kepala keluarga dengan jumlah total seluruh masyarakat adalah
1442 jiwa. Sebagian besar penduduk Desa Radabata adalah berjenis kelamin
perempuan.
Mata pencaharian masyarakat Desa
Radabata pada umumnya adalah bertani dan bercocok tanam. Hal ini ditunjang oleh
keadaan alam yang kondusif, seperti: tanah yang subur dan curah hujan yang tinggi.
Dapat dipastikan dalam setahun, penduduk setempat dapat memanen hasil bumi
sebanyak dua kali, khususnya tanaman umur pendek. Selain bertani, ada juga yang
bekerja sebagai pengusaha kecil dan menengah dan ada juga yang berprofesi
sebagai PNS (guru dan pegawai daerah).
Dalam bidang pendidikan, sebagian
besar penduduk Desa Radabata hanya menamatkan pendidikan formal di bangku
Sekolah Dasar. Namun akhir-akhir ini, kesadaran akan pentingnya pendidikan
semakin berkembang seiring dengan program pendidikan luar sekolah yang saat ini
sedang dijalankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Ngada melalui Dinas PPO.
Sebagian penduduk dapat melanjutkan kembali pendidikan yang telah terhambat dan
dapat menyelesaikan pendidikan setara dengan SMA. Di samping itu, ada pula
sebagian penduduk yang sedang dan telah mengenyam pendidikan di Perguruan
Tinggi (di daerah Ende, Kupang, Makasar dan Pulau Jawa). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tingkat SDM masyarakat Desa Radabata dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan.
2.3 Keadaan Ekonomi Masyarakat
Masyarakat Desa Radabata sebagaimana telah dijelaskan di atas,
pada umumnya hidup sebagai petani. Kehidupan ekonomi mereka sebagai petani
sangat dipengaruhi oleh tanah serta kondisi alam. Cara pengolahan tanah yang
dilakukan masih sangat sederhana, sesuai dengan tingkat pendidikan dan
pengalaman mereka. Pola pertanian yang diterapkan pada umumnya adalah berladang
dengan sistem holtikultura, yaitu
berbagai jenis tanaman yang ditanam bersama-sama dalam satu bidang.
Secara ekonomis, kehidupan
masyarakat Desa Radabata cukup mapan. Sebagian besar penghasilan masyarakat
berasal dari hasil pertanian. Hasil pertanian itu, antara lain: jagung,
umbi-umbian, kacang-kacangan, padi ladang dan juga didukung oleh hasil
perkebunan, seperti: kopi, kemiri, kakao, dan vanili. Selain hidup dari
pertanian, masyarakat Desa Radabata juga memiliki pola hidup beternak, seperti:
beternak babi, kerbau, kuda, sapi, unggas. Pada zaman dahulu, pola hidup beternak
ini dimaksudkan untuk memperlancar urusan ritual adat yang membutuhkan hewan
korban. Namun pada saat ini, hal ini sudah dilakukan secara intensif serta
mendatangkan tambahan pendapatan ekonomi keluarga.
2.4 Keadaan Sosial Budaya
Masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata merupakan bagian dari
kelompok pendukung budaya ngadhu-bhaga,
yang mana dalam pengaturan garis keturunan, mengikuti garis keturunan ibu
(matrilineal). Pola matrilineal ini tergambar jelas dalam sistem kekerabatan di
dalam masyarakat budaya Kampung Doka, Desa Radabata.
Pada umumnya, masyarakat adat Kampung
Doka, Desa Radabata dikelompokkan ke dalam woe,
yakni kesatuan adat berdasarkan kesamaan leluhur, baik secara mitologis
maupun genealogis. Dasar pembentukan ini adalah kesadaran akan kesamaan
keturunan. Mereka bersatu atas kesadaran bahwa mereka berasal dari keturunan leluhur
yang sama, yang mana dalam sistem simbolnya terungkap dalam ikon-ikon adat
berikut: ngadhu-bhaga, meri-peo dan anaie. Pada saat ini, ada 14 woe yang mendiami wilayah Kampung
Doka, Desa Radabata, yakni: Woe Keli,
Woe Genga, Woe Be, Woe Gisi A, Woe Gisi B, Woe Sito, Woe Tipo, Woe Taka, Woe Lobe, Woe Lodo, Woe Kila, Woe Rudu, Woe Mulu, Woe Ngate, Woe Bhaku Dhengi Dhula dan Woe Laja. Woe Laja dan Woe
Be adalah ‘jaga pu’u taru lobo lelu,’ yakni ‘penjaga tanah,’ pusatnya
di Kampung Sadha. Mereka berada di Kampung Doka karena memiliki sebuah sa’o (rumah
tradisional) dan juga karena mereka memiliki ngia ngora (tanah ulayat)
di dalam wilayah adat Kampung Doka. Satu woe umumnya memiliki empat buah
sa’o (rumah tradisional), yaitu saka
puu, saka lobo, wuagho saka puu dan wuaghao saka lobo. Woe dipimpin oleh seorang mosalaki.
Desa Radabata termasuk dalam satu
kelompok sosial karena membentuk satu persekutuan yang disebut ulueko. Ulueko
(ulu: kepala dan eko: ekor) adalah perhimpunan
beberapa kampung yang masih mempunyai hubungan, seperti: kesamaan sejarah,
kesamaan leluhur atau karena terdapat dalam satu wilayah pemukiman yang sama.
Misalnya: ‘Ulu Ladoliwu Eko Taranage,’
yang artinya, ‘berawal dari Kampung Ladoliwu dan berakhir di Kampung Taranage.’
2.5
Kesehatan Masyarakat[9]
Arti kesehatan
bagi masyarakat Kampung Doka pada zaman dahulu dan saat ini, sangat berbeda.
Pada zaman dahulu orang Doka mengerti kesehatan dalam pengertian yang sangat
terbatas. Kesehatan bagi mereka selalu dihubungkan dengan ‘tindakan roh’ dalam
hidup manusia. Roh-roh itu dipercaya hidup bersama manusia dan mempengaruhi
kehidupan manusia. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang masih
bersifat animisme dan dinamisme. Dampaknya masih terasa sampai sekarang.
Roh-roh itu dipercaya dapat menentukan nasib manusia termasuk kesehatan
manusia. Karena itu untuk ‘menjaga kesehatan,’ setiap orang harus berusaha
menciptakan relasi yang baik dengan para roh lewat doa dan upacara korban.
Orang yang sakit dengan menunjukkan ciri-ciri yang tidak lazim, dipercaya telah
mendapat kutukan dari para roh. Agar si penderita dapat sembuh, harus diadakan
sebuah upacara korban demi penulihan kesehatan.
Pada
saat ini, orang Doka telah melihat kesehatan sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan dunia medis. Hal ini didukung dengan berdirinya poliklinik desa,
hadirnya puskesmas, BKIA dan balai penanggulangan masalah kesehatan yang dapat
dijangkau masyarakat. Selain itu, masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata juga telah
menikmati program pelayanan kesehatan dari pemerintah, seperti: imunisasi pada
balita, pengobatan gratis dan penyuluhan kesehatan. Walaupun demikian, sebagai
masyarakat adat, masyarakat Kampung Doka masih mempercayai dan menganut
pemahaman tentang arti kesehatan pada zaman dahulu.
2.6
Kehidupan Religius
Konsep
masyarakat adat Kampung Doka, Desa Radabata terhadap wujud tertinggi sama
dengan konsep masyarakat Ngadhu pada umumnya. Konsep ini menjadi pokok
kepercayaan asli masyarakat Kampung Doka sebelum masuknya ajaran Gereja Katolik
Roma.
Dalam
konsep kepercayaan itu, masyarakat Kampung Doka percaya dan mengakui adanya
‘Wujud Tertinggi’ atau Yang Ilahi. Dalam konsep religi lokal, Yang Ilahi disapa
dalam nama umum, ine-ema (‘ibu-bapak’)
dan Dewa (Tuhan) dengan beberapa
variannya.[10]
Dalam konteks inkulturasi dengan Bahasa Austronesia dan Sansekerta, orang
Ngadhu menyapa Yang Ilahi dengan panggilan ‘Dewa
Zeta Nitu Zale’ atau ‘Nitu Dewa.’ Hingga kini, nama Dewa masih bergema dalam ritus-ritus orang Ngadhu dan nampaknya
masih dihayati dengan baik, khususnya dalam diri generasi tua yang masih setia
di rumah-rumah tradisional.
Sebagai penganut ajaran
Gereja Katolik Roma yang menyembah Tritunggal Maha Kudus, nama Yang Ilahi
tersebut di inkulturasikan dalam bahasa lokal dengan panggilan Dewa Ema, Dewa Ana dan Dewa Ngaru Santo. Seluruh masyarakat Kampung
Doka. Desa Radabata menganut ajaran Gereja Katolik Roma (100%). Kontak pertama
dengan ajaran Gereja Katolik Roma diperkirakan terjadi pada tahun 1920,
bertepatan dengan kedatangan tiga orang misionaris katolik dari Serikat Sabda
Allah (SVD), yaitu: P. J. Ettel, SVD, P. H. Helinge, SVD dan Br. Segeriak, SVD.
Sejak kedatangan para misionaris tersebut, usaha pendalaman iman katolik
dimulai. Usaha ini semakin maju dengan berdirinya Seminari Menengah St. Yoh.
Berkhmans Todabelu, Mataloko pada tanggal 29 September 1929 dan kedatangan para
Suster Abdi Roh Kudus ke Todabelu pada tahun 1930.
2.7
Pola Pemukiman[11]
2.7.1
Nua atau Kampung
Nua atau kampung adalah sebuah bentuk
pemukiman tradisional yang didiami oleh beberapa woe, tetapi ada pula satu kampung yang hanya dihuni oleh satu klan
atau woe. Nua pada umumnya berbentuk persegi, yang mana setiap sisinya
memiliki nama dan makna, yaitu: zele ulu
nua, lau wena nua, padhi mena dan padhi
zale. Zele ulu nua atau bata nua merupakan pintu masuk bagi para
tamu. Sebaliknya wena nua dianggap
sebagai pintu masuk bagi saudara sendiri. Pada ulu nua terdapat nunu rada
bata (‘beringin pelindung’) fao masa
kedhi bhanga (‘yang menaungi anak-anak’). Beringin dipercaya sebagai tempat
bersemayam roh para leluhur dan karena itu, di bawah pohon beringin selalu ada
batu persembahan atau ture dan selalu
diberi sesajen pada acara-acara adat yang dilaksanakan di dalam nua. Roh-roh ini dipercaya menjaga
wibawa kampung itu sekaligus melindungi penghuni kampung dari roh-roh jahat. Di
dalam kampung sendiri bersemayam roh kampung itu sendiri yang disebut ngebu nua.[12]
Suatu
petunjuk pembangunan sebuah kampung adalah ulu
nua dan wena nua. Untuk menjadi ulu nua, dia harus berada di tempat yang
tinggi dan karena itu disebut zele ulu
nua. Dengan menyebut zele, kita
dibawa pada konsep kosmologi nua
karena zele berkonotasi sejajar
dengan ulu, yaitu tempat yang tinggi
atau kepala. Oleh karena itu, ulu nua
adalah tempat yang lebih tinggi sehingga ia pantas disebut ulu, yaitu gunung. Sebaliknya zili
wena nua, yaitu sebuah tempat yang berkonotasi rendah, sejajar dengan zili leko (leko: kali, sungai), yaitu tempat yang lebih rendah, lembah atau
sungai. Konsep letak menjadi penting dalam menetapkan pembangunan sebuah
kampung. Oleh karena itu, dikenal dua konsep letak, yaitu secara horizontal dan
vertikal.


Kisa Kisa


Lau: Zili Zale
Konsep Letak Secara Horizontal Konsep Letak
Secara Vertikal
Horizontal mengacu
ke gunung-laut
Vertikal mengacu ke langit-bumi
Gambar Konsep Letak Kampung
Pada zele nua, di mana terdapat pintu gerbang
yang dijaga oleh roh-roh pelindung yang disimbolkan dalam bentuk pohon beringin,
sering diberi sesajen. Selain itu juga pada setiap sudut kampung dan di tengah kampung
terdapat ture (batu berundak-undak
atau batu persembahan) yang juga diberi sesajen. Sesajen diberikan pada setiap
acara adat, seperti: Nalo Nua (‘bersih
kampung’), Reba, Dhoro Nua (‘pindah
kampung’). Dalam setiap upacara itu, nama ngebu
nua selalu disebutkan pertama. Urutannya sebagai berikut: ngebu nua, anaie, meri dan peo. Setelah itu ngadhu-bhaga, sesuai dengan rumah induk dari setiap woe yang mendiami kampung itu, lalu
diikuti ture nua, ture nunu (‘beringin’),
sudut-sudut kampung dan terakhir di dalam rumah adat (one sa’o), di mana yang
terutama adalah zele ulu atau zegu raga (‘mata raga’) sebagai pusat
kosmos rumah adat.
Nua
dipimpin
oleh para mosalaki (mosa meze laki lewa: ‘pemimpin yang
berkepribadian, berwibawa dan berwawasan luas’). Tugas seorang pemimpin adalah gili pere wara lue tede angi, artinya
sebagai pelindung atau penganyom terhadap segala serangan baik fisik maupun
mental, ideologi dan spiritual. Karena tugasnya terbilang cukup berat maka tak
pernah ada pemimpin tunggal tetapi memimpin secara bersama-sama, yakni para mosalaki yang berasal dari ketua woe yang mewakili klannya masing-masing.
Inilah ciri khas pemimpin perkampungan yang otonom dengan berlandaskan
kekerabatan.[13]
Pemimpin dipilih berdasarkan rupa-rupa kualitas pribadi.
Untuk
mengetahui banyaknya klan atau woe yang
mendiami sebuah kampung adalah dengan cukup menghitung jumlah ngadhu-bhaga yang berada di tengah
kampung. Namun hal ini hanyalah pedoman saja karena tidak semua woe sudah memiliki ngadhu-bhaga. Hal ini bergantung pada kemampuan materi dan moril
dari anggota woe. Satu klan memiliki
satu ngadhu-bhaga tetapi ada juga
beberapa klan yang memiliki satu ngadhu-bhaga
secara bersama. Misalnya pada saat ini di dalam Kampung Doka, Desa Radabata, Ngadhu Jawa Tena dan Bhaga Doa Zua dimiliki secara
bersama-sama oleh tujuh woe, yaitu:
Genga, Tipo, Sito, Gisi, Mulu, Ngate dan Seso.
Saat
ini, bentuk kampung yang dimaksudkan di atas telah berubah seiring dengan
program pemerintah untuk membuat denah desa dan keindahan desa sebagai
manifestasi dari ideologi modernisasi. Bentuk nua dengan kosmologi tradisionalnya sudah banyak ditinggalkan.
2.7.2
Ulueko
Pola
pemukiman secara teritorial yang lain yang lain adalah Ulueko. Ulueko adalah
perhimpunan beberapa kampung yang masih mempunyai hubungan, misalnya kesamaan
sejarah, kesamaan leluhur atau karena terdapat dalam satu wilayah pemukiman
yang sama.
Pemimpin
ulueko adalah para mosa nua yang mewakili kampungnya
masing-masing, yaitu mereka yang dianggap paling cakap dari semua mosalaki. Ukurannya, ia harus berwibawa,
bijaksana, jujur. Selalu ada kesesuaian antara pikiran, perkataan dan
perbuatan. Namun, yang utama adalah ia punya jaringan yang luas dan relasi yang
banyak. Indikatornya adalah ketika ia mengadakan sebuah pesta, seperti: boka goe, nalo nua (‘pesta kampung’), mula ngadhu (‘menanam ngadhu’). Dalam keadaan yang demikian,
orang-orang yang menjalin relasi dengannya sekaligus mendukungnya akan membawa
dan menyumbang beras, arak (moke), dan hewan. Jika pesta yang dibuatnya sukses
maka hal ini membuktikan bahwa ia banyak pendukung serta dihargai mosalaki lainnya. Sifat hakiki seorang
pemimpin yang demikian diungkapkan dalam pepatah adat: “mosa wiu laki pado, moe go jai pera wai, wi ngadhi moe ngadhi bati, wi
ghata moe ghata woka,” artinya ‘pemimpin yang patut dicontohi, yang mampu
mengendalikan, mampu memberi petunjuk, seperti orang yang di depan memberi
contoh langkah pertama waktu menari, seperti orang pertama yang mampu mengajak
membuka hutan, dan seperti orang pertama yang mampu membajak ladang.’
Karakternya diungkapkan dalam pepatah: “mosa
moe nunu, nunu da rada bata wi fao masa kedhi banga, fiki ba nono dhiri, lina
ba mata kisa,” artinya ‘pemimpin ibarat pohon beringin tempat berlindung
dan penganyom anak-cucu, yang buruk dipinggirkan dan yang jernih diketengahkan.’
Di Kampung Doka, Desa Radabata, terdapat persekutuan
ulueko, yaitu: ulu lado liwu, eko taranage. Ulueko
Kampung Doka terdiri dari beberapa kampung, yakni: Ladoliwu, Rongaba’a,
Nuameze (Bopoma), Lokalina, Bosoka dan Taranage.
2.7.3
Toko Wolo
Beberapa
ulueko membentuk kesatuan teritorial
yang lebih luas yang disebut toko wolo
(toko: ‘tulang,’ wolo: gunung/bukit. Tokowolo:
‘tulang/punggung gunung’). Kesatuan toko
wolo hanya bersifat temporal, artinya sewaktu-waktu dibutuhkan maka mereka
membentuk kesatuan teritorial ini. Toko
wolo antara Doka, Linapau, Waso, Jadho, Gisi, Wogo, Liba, disebut ulu dero eko mau. Walaupun disebut ulu eko, namun hal ini merujuk pada
bentuk persekuatuan besar, yaitu toko
wolo.
2.8 Identifikasi Penduduk
2.8.1 Asal-Usul Masyarakat Ngadha (Ngadhu)
Orang Doka sebagaimana halnya orang Ngadhu pada umumnya, dianggap
berasal dari “Dzava Cone” (‘Jawa Pedalaman’). Hal ini tidak merujuk pada Pulau Jawa.
‘Dzava Cone’ dilihat sebagai sebuah daerah yang jauh sekali, di mana dipercaya
bahwa seluruh kekuatan alam berasal. Menurut etnografi Paul Arndt, nama Ngadha
adalah ibu asal klan (woe) Ngadha dan
asal dari klan-klan lain yang dimekarkan dari klan Ngadha.[14] Diperkirakan bahwa orang
Ngadha berasal dari ‘Dzava Cone,’ yaitu daerah yang luas di India Timur Laut,
dari sebuah suku bangsa India yang bernama ‘Magadha,’ sebab ada banyak dialek di
dalam masyarakat Ngadha pada saat ini yang menggunakan huruf ‘m’ dan ‘ng’
secara bergantian. Orang ‘Magadha’ dipercaya sebagai penganut agama Hindu. Ini
dibuktikan dengan adanya stratifikasi sosial di dalam masyarakat Ngadha. Hal
ini sesuai dengan sistem kasta yang dianut oleh masyarakat penganut Agama Hindu.
Dilihat dari pola pokok budaya
tradisional yang terus dipertahankan hingga saat ini, dapat diperkirakan bahwa
pendatang dari ‘Magadha’ ini terdiri atas tiga kelompok besar yang memasuki
daerah Ngadha dalam kurun waktu yang relatif sama. Hal ini dapat ditelusuri
dari klan-klan pengemban fungsi utama dari masing-masing pola budaya yang ada. Pertama, kelompok pendukung “Ngadhu” (‘tiang korban’). Kedua, kelompok pendukung budaya ‘Reba’ (‘pesta tahun baru adat/pesta
syukur panen’). Ketiga, kelompok pendukung budaya “Paru Witu” (‘ritual berburu’). Dalam perkembangannya, ketiga
kelompok ini saling bercampur sehingga keturunan sebuah klan malah menjadi
pendukung dua pola budaya bahkan tiga pola budaya sekaligus. Bagi masyarakat
adat Kampung Doka, mereka menganut dua pola budaya, yakni budaya “Ngadhu” dan “Reba.” Di dalam Kampung Doka, woe
pendukung budaya ‘Ngadhu’ adalah
mereka yang berasal dari Woe Lado dan
Gisi. Sedangkan Woe pendukung budaya ‘Reba’ adalah mereka yang berasal dari Woe Keli, Genga, Tipo dan Sito.[15]
2.8.2 Sejarah Masyarakat Kampung Doka[16]
Masyarakat Doka pada mulanya tinggal di Wae Meze (sekarang Aimere). Pada zaman dahulu
(menurut mitologi) mereka sangat hidup sejahtera
sebab pada waktu itu hubungan dengan Dewa sangat dekat. Di sana terdapat
sebatang pohon namanya Tenge (‘Pohon Dewa’). Melalui akar-akarnya, Kabu
Tenge (Kabu: akar dan Tenge: ‘Pohon Dewa’), manusia dapat
bermain di tempat kediaman para Dewa, meminjamkan alat tenun kepada para Dewi,
mengikuti pesta Reba di kampung para
Dewa-Dewi itu. Hubungan mesra antara manusia dengan Dewa itu diungkapkan dalam
syair: “mena loka oja, pei tangi Dewa noa
dhoro dhegha (‘di kampung oja, sandarlah tangga buat para Dewa agar dapat
turun bermain ke bumi’); ana sawa pu’u
lau bata lole dia one, ana keka ea lau teda lewa, ana lako kua-ana lako kua
pu’u ge nua mai dongo dia ulu roro (‘pada saat pikul ‘kaba pere’ sebelum
masuk ke rumah adat baru, semua keluarga baik manusia maupun roh-roh diundang
untuk ikut dalam perjamuan’). Hubungan mesra ini mau menunjukkan bahwa di antara
Dewa dan manusia telah terjalin hubungan keakraban. Ada jalinan komunikasi yang
harmonis di antara mereka.
Menurut mitos itu, pada suatu hari atapolo[17]
(‘orang jahat’) karena iri dengan hubungan akrab antara manusia dengan Dewa
ini, memutuskan Kabu Tenge itu sehingga terputuslah hubungan manusia
dengan Dewa. Oleh karena itu, langit sebagai tempat tinggal Dewa terbang tinggi
ke tempat yang tidak dapat dijangkau manusia hingga sekarang ini. Begitu kabu
tenge ini terputus, terjadilah pola boka (‘bencana alam’)
yang sangat hebat. Laut naik sampai di daratan dan memporak-porandakan
rumah-rumah dan ladang penduduk. Sejak itu para penghuni kampung
tercerai-berai. Dengan hancurnya kampung itu, beberapa woe yang sebelum
kejadian itu bersatu kemudian tercerai-berai dan mencari tempat perlindungan
masing-masing. Atas perlindungan leluhur mereka Oba dan Nanga[18] yang menguasai lautan, keturunan ini tak sampai punah.
Leluhur Keturunan
langsung dari orang Doka berasal dari adalah Ghe dan
Ghena. Keturunan Ghe adalah Teru dan Tena dan Ghena menurunkan anaknya Sili.
Sili beranak Tei, dan Tei kawin dengan Duma (Dama) beranakkan Rede (Woe Laja)
yang kawin dengan Raja yang melahirkan Jawa dan Keli yang menjadi leluhur Woe
Keli sekarang ini. Teru menurunkan Roka yang beranakkan Jara dan beranakkan
Roja dan Wio. Roja beranakkan Tena dan Wio beranakkan Wea. Tena kawin dengan
Doka dan beranakkan Pole yang menjadi leluhur Woe Gisi. Ketika Tena
meninggal, Doka kawin lagi dengan Doa Zua dan
menurunkan Reo dan Sai. Reo kawin dengan Muja yang menjadi leluhur Woe Genga.
Saudara perempuan Reo, Sai menjadi leluhur Woe Tipo. Dengan demikian
yang menjadi penduduk awal Kampung Doka adalah empat woe, yaitu Keli,
Gisi, Genga dan Tipo. Saat ini, ada 14 Woe yang mendiami wilayah Kampung
Doka, Desa Radabata, yakni: Woe Keli,
Woe Genga, Woe Be, Woe Gisi A, Woe Gisi
B, Woe Sito, Woe Tipo, Woe Taka, Woe Lobe, Woe Lodo, Woe Kila, Woe Rudu, Woe Mulu, Woe Ngate, Woe Bhaku Dhengi Dhula dan Woe
Laja. Penulis berasal dari Woe Bhaku Dhengi Dhula. Woe Laja
dan woe Be adalah ‘jaga pu’u taru lobo lelu,’ yakni ‘penjaga
tanah.’ Pusatnya di Kampung Sadha. Mereka berada di Kampung Doka karena
memiliki sebuah Sa’o (rumah tradisional) dan juga karena mereka memiliki
ngia ngora (tanah ulayat) di wilayah Kampung Doka.
Perjalanan hidup orang Doka cukup berliku-liku sejak dari Wae Meze (Aimere) hingga di tempat
sekarang ini. Seperti yang telah dikatakan di atas, setelah terjadi bencana
alam (pola boka) masyarakat Doka tercerai berai. Keturunan Reo dari Woe
Genga dan Dumi dari Woe Keli selalu bersama-sama sejak dari Wae Meze hingga berpindah ke Kampung
Doka sekarang ini. Kedua sahabat karib ini saling berjanji untuk tidak saling
berperang, bermusuhan dan kawin-mawin. Isi sumpah itu disebut “ngesu meze
keli, alu lewa genga” (‘jika ada rejeki wajib saling memberi, jika ada
musuh wajib saling melindungi’). Perjanjian perkawinan antara Woe Keli dan Genga adalah kedua woe ini boleh kawin-mawin dengan
persyaratan bahwa perempuan harus dari Woe
Keli dan laki-laki dari Woe Genga,
tidak boleh ditukar atau tertukar. Jika melanggar perjanjian ini maka akan
terkena ‘tulah,’ di mana laki-laki menjadi gila.
BAB III
DASAR PIJAK SISTEM KEKERABATAN
DI DALAM MASYARAKAT KAMPUNG DOKA
Pada bab ini, penulis akan menyajikan
pengertian dari sistem kekerabatan, kekerabatan di dalam masyarakat adat Kampung
Doka, Desa Radabata beserta dasar pijak pembentukannya. Dalam menyajikan
pengertian sistem kekerabatan, penulis akan menyajikannya dalam berbagai macam perspektif,
yakni perspektif etimologi, hukum adat dan para ahli. Tujuannya adalah agar
dapat mencapai sebuah pengertian yang komprehensif tentang sistem kekerabatan. Selanjutnya,
penulis akan menyajikan keberadaan sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung
Doka, Desa Radabata beserta dasar pijak pembentukannya. Penyajian ini
dimaksudkan untuk memperlihatkan keunikan dari sistem kekerabatan di dalam
masyarakat Kampung Doka yang berbasis adat.
3.1 Pengertian Sistem Kekerabatan
Pengertian sistem kekerabatan yang akan disajikan penulis, dilihat
dari tiga perspektif, yakni perspektif etimologi, perspektif hukum adat dan
perspektif para ahli.
3.1.1 Perspektif Etimologi
Sistem kekerabatan adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua
suku kata, yakni sistem dan kekerabatan.
Kata sistem secara etimologi berasal
dari berasal dari Bahasa Yunani, yaitu ‘Systemo,’ sedangkan dalam
Bahasa Inggris dikenal dengan ‘System’ yang mempunyai satu pengertian
yang sama, yaitu sehimpunan komponen atau bagian-bagian yang saling berhubungan
secara teratur dan merupakan satu keseluruhan yang tidak terpisahkan.[19]
Dapat disimpulkan bahwa sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen atau
elemen-elemen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan atau sasaran
tertentu.
Sedangkan kata kekerabatan berasal
dari kata dasar kerabat dan diberi imbuhan ke-an. Kerabat dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia berarti ‘dekat’ (berkaitan dengan hubungan pertalian
keluarga); sedaging, sedarah, sanak saudara (berdasarkan hubungan pernikahan).[20]
Kekerabatan diartikan sebagai sebuah bentuk hubungan pertalian berdasarkan
hubungan darah dan pernikahan yang akhirnya membentuk sebuah komunitas yang
dicirikan oleh sebuah identitas tertentu.
Dengan demikian, sistem kekerabatan
adalah himpunan hubungan-hubungan pertalian yang terjalin di antara manusia dan
didasarkan atas hubungan darah, perkawinan dan identitas bersama yang membentuk
sebuah komunitas dengan mencirikan sebuah identitas tertentu.
3.1.2 Perspektif Hukum Adat
Sistem kekerabatan dalam pengertian hukum adat disebut rechtsgemeenschaap atau masyarakat hukum
adat, sebab ia adalah subjek hukum adat selain individu. Rechtsgemeenschaap ini ada yang menterjemahkannya dengan istilah
persekutuan hukum adat dan ada pula yang menyebutnya masyarakat hukum adat atau
masyarakat adat. Disebut rechtsgemeenschaap
atau masyarakat hukum adat sebab ia adalah subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban layaknya seorang manusia, seperti hak-hak atas tanah: hak ulayat, hak
pakai, hak sewa, dan kewajiban: membayar hutang, melindungi anggota, melindungi
wilayah dari serangan orang luar dan seterusnya.
Di Indonesia menurut Van Vollenhoven terdapat 19 wilayah adat (Rechtskringen).[21]
3.1.3 Perspektif Para Ahli
3.1.3.1
Roger M. Keesing[22]
Menurut Roger M. Keesing, seorang antropolog, kekerabatan secara
intuisi, menunjuk pada ‘hubungan darah.’ Disebut intuisi, sebab ada
kekhawatiran mengalami dilema konseptual dalam setiap kajian antropologi yang
selalu muncul dalam upaya menemukan istilah dari tradisi budaya dan bahasa yang
cukup luwes sehingga cocok dengan rentangan keragaman budaya, namun tetap
mempertahankan makna pokoknya. Jadi, menurut intuisi kekerabatan menunjuk pada
‘hubungan darah.’
3.1.3.2
E.E. Evans-Pritchard
Dia menemukan di dalam masyarakat Nuer di Sudan, Afrika bahwa
sistem kekerabatan masyarakat Nuer yang patrilineal memiliki kekhasan.[23] Sifat khasnya adalah:
1.
Pada masyarakat Nuer di
Sudan, dikenal dua macam perkawinan yaitu: perkawinan biasa dan perkawinan roh.
Pada perkawinan roh, ayah seorang anak yang dikenal secara sosial bukanlah ayah
biologisnya, yaitu bukanlah lelaki yang akibat persenggamaannya dengan wanita (ibu
dari anak itu) yang menyebabkan kehamilan. Seorang wanita Nuer yang suaminya
telah meninggal, tetap terikat secara hukum adat pada kelompok suami dengan
hak-hak dan kewajibannya. Hak atas anak yang dilahirkannya dialihkan kepada
kelompok suaminya (ana pasa pada
masyarakat Ngadhu). Dengan memberikan sejumlah belis kepada kelompok si isteri, kelompok suami untuk selamanya
mendapatkan hak atas kemampuan reproduksi sang isteri. Idealnya, bila suami
meninggal, kontrak (pasa maza, wea moli
pada masyarakat Ngadhu) akan diteruskan dengan cara mengawinkan si janda dengan
saudara laki-laki almarhum suaminya atau anggota kerabat almarhum suaminya itu.
Sehingga anak-anak yang dilahirkan tetap menjadi anggota kerabat almarhum
suaminya itu. Si janda dapat juga kawin dengan laki-laki lain yang bukan
kerabat suami, tetapi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan ini tetap
menjadi hak dari kerabat almarhum suami.
2.
Bentuk lain yang lebih
janggal (temuan Evans-Pitchard) adalah seorang wanita tua dan ‘berpengaruh’
(karena punya banyak ternak) bisa mengawini seorang gadis. Si wanita tua itu
menanggung biaya belis (ngaluana), dengan
demikian seolah-olah ia adalah ‘suami’ (bukan karena lesbian, tetapi demi
keturunan dan kelangsungan kerabat). Bila kemudian si wanita muda tadi
mempunyai anak lantaran ia berhubungan seks dengan laki-laki lain, maka anak
yang lahir dari hubungan itu, tetap menjadi hak dari ‘suaminya’ yang adalah si
wanita tua itu tadi, yang pada gilirannya adalah ‘ayah’ legal (sebab secara
hukum adat mereka adalah ‘suaminya’), sekalipun silsilah ditarik menurut garis
lak-laki, tetapi yang dimaksudkan bukanlah ‘ayah biologis,’ tetapi ‘ayah
yuridisnya.’
3.1.3.3 Melville J. Herskovits[24]
Dia mengambil contoh kekerabatan di Tapanuli (Batak-Sumatera
Utara). Di Tapanuli pada umumnya dapat dikatakan bahwa untuk kelompok keturunan
tertentu dapat dipastikan daerah asalnya. Misalnya daerah yang didiami oleh
marga Sembiring berada di Tapanuli Utara. Setiap satuan keturunan se-kakek
disebut Marga.
Memang tidak dapat secara pasti dikatakan bahwa, misalnya marga
Sidabutar berasal dari daerah Simalungun atau Toba atau Dairi, artinya tidak
secara pasti kita menentukan secara tepat dan pasti mengenai hubungan antara
marga dengan tempat asal atau daerah asal, dan tidak mungkin juga untuk
menentukan daerah asal seseorang dengan memperhatikan nama marganya saja, akan
tetapi dengan penelusuran cabang garis keturunan bapak dalam suatu marga atau
kalau perlu dengan penyebutan nama kakeknya, kebanyakan orang Batak dapat
menentukan tempat asal seseorang. Dalam kosmologi orang Batak, keturunan dan
kampung asalnya saling berkaitan dan menjadi komponen inti dari sistem
sosialnya. Dari penjelasan ini, kekerabatan menurut orang Batak dilihat dari
marganya sebab mereka menganut pola patrilineal, yaitu silsilahnya ditarik
menurut garis bapak. Nama marga menunjukkan sistem kekerabatan mereka dan
menunjukkan identitas sosial budaya mereka.
Jadi, kerabatan menurut orang Batak adalah kelompok manusia yang
berasal dari satu kakek asal yang sama yang dikenal dengan nama marga.
3.1.3.4 Th. H. Fischer[25]
Menurut Fischer, suatu turunan adalah sekelompok orang yang merasa
dirinya bersama-sama sebagai keturunan dari sepasang nenek moyang yang bersifat
mitologis. Mereka masih menganggap diri mereka sebagai kelompok dengan suatu
nama persekutuan, nama turunan, dan berbicara dengan logat yang sama serta
mempunyai suatu adat yang mengingatkan mereka kepada nenek moyang yang menjadi
landasan lahirnya persekutuan itu. Misalnya dalam susunan leluhur masyarakat Kampung
Doka yang digambarkan oleh Dominikus Rato, adalah sebagai berikut: Susu
Keri, Asu Kae, Meri Peo, Bhaga, Sao, Nange, Nusi, Ebu, Ine-Ema, Ana Ego[26]
Jadi, dari pengertian yang disajikan penulis di atas berdasarkan
berbagai perspektif, penulis melihat bahwa ada kaitan dengan pengertian sistem
kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka.
3.2 Sistem Kekerabatan Di Dalam Masyarakat Kampung Doka
Seperti yang telah dipaparkan di atas, di dalam masyarakat Kampung
Doka terdapat tiga jenis komunitas kekerabatan. Pada bagian ini, akan diuraikan
tentang keberadaan dari kekerabatan yang dimaksud, yakni kekerabatan woe, kekerabatan berdasarkan ideologi
‘darah sejati’ dan kekerabatan berdasarkan perkawinan serta dasar pijak pembentukannya.
3.2.1 Kekerabatan Woe
Woe adalah kesatuan sosial yang bersifat
genealogis. Dasar pembentukan persekutuan ini adalah kesadaran akan kesamaan leluhur.
Kesatuan ini didasarkan pada kesadaran kesamaan leluhur, yang mana dalam sistem
simbol diwakili oleh ikon-ikon adat, seperti: ngadhu-bhaga, meri-peo
dan anaie.[27] Woe juga dilihat sebagai kesatuan sosial berdasarkan koalisi rumah
tradisional (sa’o) dan berdasarkan keyakinan
akan mitologi tentang asal-usul leluhur yang sama oleh setiap anggota woe. Setiap woe memiliki empat buah sa’o
(rumah tradisional), yakni saka
pu’u, wua ghao saka pu’u, saka lobo dan wua ghao saka lobo. Di antara saka
dan wua ghao, saka lah yang lebih berperan karena dialah
sa’o pu’u (‘rumah pokok atau rumah
asal’), meskipun wua ghao dianggap
lebih kakak. Saka pu’u juga berperan
lebih besar sebab ia adalah kobho bhaga,
artinya ‘rumah induk asal bhaga’,
leluhur perempuan dalam keyakinan tradisional orang Doka. Saka lobo adalah kobho ngadhu,
yaitu ‘rumah induk asal ngadhu’, leluhur laki-laki dalam
keyakinan tradisional orang Doka. Setiap woe
memiliki masing-masing satu ngadhu
dan bhaga. Kekerabatan woe tidak terbatas pada sebuah
masyarakat tertentu atau dalam wilayah tertentu, tetapi tersebar luas.
Misalnya, Woe Bhaku Dengi Dula yang berada
di dalam wilayah Kampung Doka, juga berada di wilayah Kampung Were I, di mana
di sana terdapat ngadhu-bhaga dari woe ini.[28]
Ini menunjukkan bahwa sebuah kekerabatan woe
tidak terbatas pada sebuah wilayah tertentu.
3.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Ideologi ‘Darah Sejati’
Dalam
masyarakat sub-sub suku bangsa di Flores yang kuno, ada satu sistem
stratifikasi sosial kuno yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan
itu adalah keturunan dari klan-klan yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau
senioritet.[29] Keanggotaan dari ketiga lapisan masyarakat ini diperoleh
melalui kelahiran dan posisi ibu.[30]
Kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ sebenarnya adalah
bentuk klasifikasi sosial di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Kekerabatan
ini membagi anggota masyarakat ke dalam tiga kelompok, yakni ga’e (golongan atas), kisa (golongan tengah) dan azi
ana (golongan bawah). Kekerabatan
ini oleh Watu Yohanes Vianey dilihat sebagai pengaruh budaya Austronesia,
khususnya dalam menata model pewarisan keturunan darah berdasarkan urutan
kelahiran[31].
Watu Yohanes Vianey melihat klasifikasi ini berdasarkan hubungan kakak-adik.
Artinya, ga’e dilihat sebagai anak
sulung, kisa dilihat sebagai anak
tengah dan azi ana dilihat sebagai
anak bungsu. Pendapat di atas tidak sejalan dengan pendapat dari Paul Arndt. Paul
Arndt melihat kekerabatan ini sebagai sebuah model klasifikasi dalam masyarakat
berdasarkan pola kasta dalam budaya Hinduisme. Pendapat Paul Arndt juga diikuti
oleh Dominkus Rato. Hal ini dikarenakan oleh sejarah asal-usul masyarakat Ngadhu
pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada khususnya, yang dikisahkan turun-temurun
bahwa leluhur mereka berasal dari India (‘Magadha’) dan menganut budaya Agama
Hindu.
3.2.3 Kekerabatan Berdasarkan Perkawinan
Perkawinan adalah sumbu
perkembangan sebuah masyarakat. Kelangsungan hidup suatu masyarakat ditentukan
oleh lembaga perkawinan. Melalui perkawinan, generasi baru sebagai pembawa nama
keluarga dan pelanjut kehidupan suku dilahirkan. Hal ini juga yang dimaknai
oleh masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata
pada khususnya. Perkawinan menghantar warga suku untuk berpindah dari statusnya
sebagai seorang bujang atau gadis ke dalam sebuah status hidup yang baru
sebagai suami dari seorang isteri atau isteri bagi seorang suami. Perkawinan
mengubah kedudukan seseorang dalam keluarga dan masyarakat karena perubahan
status itu. Hal ini juga menentukan peran pria dan wanita dalam kehidupan di
tengah masyarakat. Hal ini pula ditandaskan oleh Watu Yohanes Vianey bahwa
perkawinan juga merupakan proses gender, artinya pria dan wanita diinisiasi ke
dalam ruang-ruang pemisah di dalam sa’o
serta memiliki tugas dan fungsi yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama
lain.[32]
Perkawinan juga adalah
sebuah langkah penting dalam proses pengintegrasian manusia ke dalam tata alam
sakral yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh tradisi untuk masuk tata
alam tersebut.[33]
Dalam upacara perkawinan dihadirkan kembali perkawinan asasi pada zaman purba
yang seringkali dilukiskan lewat dua pribadi, yakni Dewa dan Dewi, sepasang
nenek moyang, yang mana dalam tradisi di dalam masyarakat Kampung Doka merujuk
pada ‘perkawinan antara ngadhu dan bhaga.’
3.3 Dasar Pijak Pembentukan Sistem
Kekerabatan Di Dalam Masyarakat Kampung Doka
Sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata,
yakni sistem kekerabatan woe, sistem
kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ dan sistem kekerabatan berdasarkan
perkawinan, adalah kekerabatan yang dibangun atas dasar pijak tertentu, yakni adat
serta produk-produk kebudayaan di dalam masyarakat adat Kampung Doka.
Kekerabatan dibangun atas dasar tertentu yang dipandang sebagai sesuatu yang
essensial. Dasar pijak hubungan kekerabatan adalah sebuah hasil refleksi orang
Doka atas kehidupan sebagai sebuah sejarah yang menjadi kelanjutan dari masa
lampau. Refleksi itu tertuang dalam berbagai macam produk budaya, baik berupa
benda maupun berupa cerita-cerita, mitos yang diyakini dan diterima sebagai
sebuah kebenaran yang melandasi keberadaan sebuah kekerabatan.
3.3.1 Dasar Pijak Kekerabatan Woe
Dalam pemaparan berikut, penulis
akan menyajikan dasar pijak dari sistem kekerabatan woe. Dasar pijak itu
antara lain: berdasarkan hubungan genealogis, mitos dan kesatuan simbol-simbol
adat.
3.3.1.1 Berdasarkan Hubungan Genealogis
Woe adalah kesatuan sosial berdasarkan hubungan genealogis. Dasar
pembentukan ini adalah kesadaran akan kesamaan keturunan.[34] Artinya, secara genealogis
seluruh anggota woe berasal dari
leluhur yang sama, mempunyai pertalian hubungan darah langsung dari leluhur
yang sama. Namun, pada saat ini, keturunan langsung yang dimaksud sudah mulai
berkurang bahkan hampir tidak ada di dalam setiap woe di dalam masyarakat Kampung Doka. Hal ini dikarenakan oleh
kematian dan juga oleh karena kurangnya anggota berjenis kelamin perempuan di
dalam sebuah woe (masyarakat Kampung
Doka pada umumnya menganut budaya matrilineal). Misalnya,
pada Woe Tipo. Pembentukan woe ini didasarkan pada kesadaran akan
kesamaan leluhur, yakni Ebu Ulu Buku. Namun, keturunan langsunga dari Ebu Ulu
Buku pada saat ini sisa empat orang, yakni: Belu Gili, Suri Gili, Geze Gili,
Ngaghi Gili yang menghuni Sa’o Palo
Molo.[35] Namun pada kenyataanya, anggota dari Woe Tipo sangat banyak, bukan hanya keturunan langsung tersebut. Hal ini dimungkinkan dengan adanya perkawinan. Melalui perkawinan,
anggota sebuah woe terus bertumbuh
dan bertambah banyak. Dengan demikian benarlah apa yang dikatakan oleh Watu
Yohanes Vianey bahwa kekerabatan woe juga
adalah kekerabatan berdasarkan koalisis rumah tradisional (sa’o). Ini tercermin dalam
tiga rumah tradisional yang dimiliki oleh setiap woe. Sosok yang diyakini
sebagai leluhur pertama berdiam di dalam sa’o saka pu’u (‘rumah awal’).
Melalui proses perkawinan, perkembangan anggota terus terjaga. Dengan anggota
yang terus bertumbuh dan bertambah banyak, mereka membangun sa’o wuagho
(‘rumah akhir’) dan apabila terus berkembang maka akan dibangun sa’o dhoro
(‘rumah turunan). Ini dilakukan demi kehidupan anggota dari sebuah woe,
khususnya dalam hal pewarisan harta benda, terutama tanah. Di antara ketiga sa’o
itu masih terikat sebuah hubungan darah langsung dengan leluhur yang
menjadi peletak dasar berdirinya sebuah woe. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keanggotaan dalam kekerabatan woe didasarkan pada
kesadaran akan kesamaan leluhur secara genealogis dan dikembangkan dalam
lembaga perkawinan.
3.3.1.2 Berdasarkan Mitos
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 588), mitos adalah cerita suatu bangsa
tentang Dewa dan pahlawan zaman dahulu, yang mengandung unsur penafsiran
tentang asal-usul alam semesta, manusia dan bangsa itu sendiri yang mengandung
arti mendalam yang diungkapkan dengan cara lain. Mitos bagi Strauss adalah
sebuah bahasa.[36]
Bahasa adalah sebuah media, alat, atau sarana untuk berkomunikasi, untuk
menyampaikan pesan dari satu individu kepada individu yang lain, dari satu
kelompok kepada kelompok yang lain. Demikian pula dengan mitos. Mitos
mengandung pesan-pesan yang terungkap dalam penceritaan. Di dalam mitos
terkandung dua aspek penting, yakni ‘langue
dan parole.’ Langue adalah struktur kebahasaan yang relatif tetap dan tidak
terpengaruh oleh tuturan individual dan berada pada waktu yang bisa berbalik. Sedangkan
parole adalah bahasa yang digunakan
individu pada saat tertentu berada pada waktu yang tidak dapat dibalik.
Dalam
kaitannya dengan sistem kekerabatan woe,
kekerabatan ini dipercaya dibangun atas dasar kepemilikan akan mitologi yang
sama tentang asal-usul mereka. Mitologi itu dianggap sebagai sesuatu yang benar
dan dengan sendirinya mengikat mereka ke dalam sebuah kekerabatan woe. Hal ini terungkap dalam ungkapan tuka mogo, tuka ghi, ura mogo (tuka: rahim ibu; mogo, ghi: bersama; ura:
urat, nadi) yang berarti berasal dari rahim ‘ibu asal’ yang sama. Tuka mogo menunjuk pada sebuah hubungan
kerabat yang dekat, tuka ghi merujuk
pada sebuah hubungan yang lebih dekat dengan mencakup beberapa lapisan.[37]
Sedangkan ura mogo merujuk pada
segala hubungan keluarga yang mungkin masih ada, malah sampai ke masa purba. Bila
dalam menghitung silsilah keluarga dan berakhir pada sebuah tokoh atau kejadian
alam, inilah yang disebut mitologi. Misalnya, dalam mitos sejarah masyarakat Kampung
Doka. Dalam mitos itu dikisahkan tentang Ne
Ghe dan Ne Ghena sebagai leluhur
pertama orang Doka. Mitologi ini diterima hampir oleh seluruh woe yang mendiami wilayah adat Kampung
Doka dan dikisahkan turun-temurun. Keturunan Ne Ghe dan Ne Ghena
adalah leluhur pertama bagi beberapa woe yang
mendiami Kampung Doka. Misalnya, Rede yang menjadi leluhur Woe Laja, Keli yang menjadi leluhur Woe Keli, Pole yang menjadi leluhur Woe Gizi, Muja yang menjadi leluhur Woe Genga dan Sai yang menjadi leluhur Woe Tipo.
Memang
dalam pengkisahan ulang dari waktu ke waktu mengalami perubahan dalam
pengkisahan tetapi inti kebenaran yang terkandung di dalamnya tetap terjaga.
Mitologi ini dikisahkan turun temurun dalam rentang waktu yang relatif panjang.
Hal ini dimaksudkan agar setiap orang tahu asal-usulnya, khususnya orang Doka. Mitologi
ini diterima serta dihayati dan pada akhirnya menyatukan orang dalam sebuah
bentuk kekerabatan berdasarkan kesamaan mitologi.
3.3.1.3
Berdasarkan Kesatuan Simbol-Simbol Adat
Manusia
senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Di dalam waktu, manusia senantiasa
berproses. Salah satu indikator yang menandakan bahwa manusia sedang berproses
adalah kebudayaan. Manusia adalah makhluk budaya yang tercermin dalam dimensi
hidup dan tingkah laku manusia.[38]
Demikian pun dengan masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata yang adalah juga
insan-insan yang berbudaya, senantiasa dan terus berproses dalam kebudayaan
yang diwariskan oleh leluhur mereka sebagai sebuah kearifan lokal. Kebudayaan
itu dihadirkan dalam berbagai produk kebudayaan, baik berupa material maupun
non material. Ini adalah wujud apresiasi dan refleksi mereka akan keberadaan
mereka saat ini sebagai lanjutan masa lampau dan juga sebagai simbol pemersatu.
Dalam ikon-ikon adat, seperti: anaie,
meri-peo, ngadhu-bhaga dan sa’o,
mereka berusaha merefleksikan asal kehidupan mereka, simbol-simbol leluhur yang
mempersatukan mereka dalam kekerabatan woe.
3.3.1.3.1
Anaie
Anaie
adalah
sebuah ‘rumah-rumahan’ yang disembunyikan di dalam rumah induk. Anaie adalah ikon adat yang menjadi
simbol dari leluhur pertama yang menghadirkan manusia ke bumi. Anaie adalah simbol kehadiran ‘Oba-Nanga; Ghe dan Ghena.’ Anaie ada dua, yaitu yang laki-laki dan
perempuan. Anaie menurunkan meri (keka lela) dan peo. Meri menurunkan bhaga, sedangkan peo menurunkan ngadhu. Bhaga menurunkan sa’o peka
pu’u dan Ngadhu menurunkan sa’o peka lobo, yang selanjutnya
menurunkan manusia dan tanah. Manusia dengan tanah ibarat laki-laki dan
perempuan. Sehingga pada masyarakat Kampung Doka, yang berhak memiliki tanah
adalah sa’o bukan manusia.[39]
3.3.1.3.2
Meri dan Peo
Meri
adalah
simbol leluhur perempuan dan peo adalah
simbol leluhur laki-laki. Meri dan peo adalah orang tua yang melahirkan ngadhu dan bhaga, yang selanjutnya melahirkan sa’o. Sa’o-sa’o ini
membentuk ana woe. Ana woe melahirkan ayah-ibu yang secara
nyata melahirkan manusia. Jadi, apabila kita ingin meneliti siapa leluhur
pertama yang menurunkan sebuah woe
adalah dengan mencari tahu nama meri dan
peo dari sebuah woe beserta ayah-ibunya.
Meri
atau keka lela adalah sebuah ‘rumah
kecil’ yang luasnya 1x1 ½ m. Di dalam meri
terdapat batu yang ditanam berjejer berjumlah tiga buah dengan tingginya
30-40 cm. Dua buah batu di kanan dan kiri lebih rendah dan bagian tengah lebih
tinggi. Pada ketiga batu itu dililitkan ijuk menyerupai rambut kepala. Di kaki
ketiga batu itu diletakkan sebuah batu ceper berukuran 20-30 cm atau batu bundar
dengan jari-jari 10-15 cm. Batu-batu itu diberi nama sesuai dengan nama para
leluhur yang pertama kali membuka hutan di daerah itu dan yang pertama kali
menurunkan ana woe itu. Tiap woe mempunyai meri dan peo sebagai
simbol leluhur mereka.
Peo adalah batu
tunggal yang ditanam di antara bhaga dan
ngadhu. Jika bhaga belum dibuat atau masih belum permanen, maka ia diletakkan di
bawah ‘pokok/kaki’ ngadhu. Jika sudah
dibuat secara permanen maka peo harus
ditanam 5-7 m dari posisi ngadhu.
Letaknya searah dengan ulu nua
(searah dengan bukit yang menjadi pedoman bagi kampung itu). Peo berfungsi sebagai pelindung ngadhu. Jika ana woe atau ana sa’o dalam klan (woe) membunuh kerbau, maka kerbau itu
harus diikat dengan dua utas tali, di mana tali depan diikatkan pada ngadhu dan tali belakang harus diikatkan
pada peo. Peo adalah sebuah batu yang ditanam dan tingginya 75-100 cm dengan
lebar 30-40 cm. Nama meri dan peo harus disembunyikan kecuali
orang-orang tertentu dalam woe yang boleh
mengetahui namanya. Akan sangat riskan apabila nama meri dan peo sampai
diketahui oleh orang lain apalagi musuh karena segala kekuatan spiritual
terletak pada nama itu.[40]
Segala doa-doa harus dimulai dengan anaie,
lalu meri dan peo, setelah itu ngadhu dan
bhaga.
3.3.1.3.3
Ngadhu Dan Bhaga
Ngadhu adalah sebuah
tiang lingga yang dikeramatkan, ditanam di tengah-tengah kampung, terbuat dari
sejenis kayu yang bernama hebu (hebu berarti ebu atau nenek), berwarna merah (‘simbol api’), keras dan tak mudah
rusak walaupun puluhan tahun usianya. Ngadhu
adalah lambang ‘bapa asal’ woe dan ‘anak’
dari peo. Berbeda dengan peo, ngadhu terbuat dari kayu sedangkan peo terbuat dari batu. Nama peo harus disembunyikan sedangkan nama ngadhu harus dan wajib disebarkan. Ngadhu harus berwarna merah sedangkan peo harus berwarna putih/abu-abu. Ngadhu harus dimandikan
dengan darah hewan korban sedangkan peo tidak
harus dimandikan dengan darah hewan korban. Falsafah ngadhu dinyatakan dalam teke atau
doa dalam bentuk pantun yang dinyanyikan dalam ritual mula ngadhu (‘menanam ngadhu’),
bunyinya: “pogo ngadhu ngaza tau tobo
lizu, kabu wi role nitu, lobo wo soi Dewa,” artinya: ‘tanam ngadhu untuk menyangga langit, akar
sampai ke bumi, Nitu[41]
(‘leluhur di bawah’) dan ujungnya mencapai Dewa’ (‘leluhur di atas’). Maknanya
adalah bahwa ngadhu merupakan
penghubung manusia dengan Dewa dan leluhurnya.
Proses mendirikan ngadhu tidak mudah karena tidak setiap woe atau orang dapat mendirikan ngadhu. Harus ada permintaan dari
leluhur atau jika keinginan itu datang dari manusia, maka ia menunggu
persetujuan dari leluhur. Jika inisiatif itu datang dari leluhur maka
keturunannya harus mampu menterjemahkan pesan itu. Jika inisiatif itu datang
dari manusia maka leluhur harus dikontak. Sarana yang digunakan untuk berkontak
adalah mimpi yang disebut “so nipi.” Mimpi itu diberikan secara beruntun
kepada seseorang yang dikehendaki oleh leluhur. Biasanya dialami oleh ana di’i sa’o atau ana weta. Jika pesan itu tidak ditanggapi, maka orang yang menerima
pesan itu atau kerabat dekatnya akan sakit, di mana fisiknya akan semakin
mengecil walaupun ia mengkonsumsi makan yang enak dan bergizi, tidak merasa
sakit, serta tumbuh ‘bulu-bulu’ yang berwarna merah di sekujur tubuhnya.
Bhaga
adalah
leluhur perempuan atau ‘ibu asal’ yang menurunkan ana woe. Ia berbentuk
sebuah ‘rumah kecil’ dan letaknya tidak jauh dari ngadhu. Di dalamnya selalu ada tungku perapian, karena pada ritual-ritual
adat biasanya digunakan untuk memasak makanan di situ. Bhaga berasal dari kata ‘bha’ dan ‘ga’ artinya lubang yang terbuka, simbol dari vagina. Bila dikaitkan
dengan ngadhu sebagai simbol penis,
maka ini adalah pertemuan penis dan vagina, di mana dari sinilah diciptakan
manusia. Jumlah bhaga dalam sebuah
kampung sesuai dengan jumlah ngadhu. Bhaga harus didirikan terlebih dahulu
sebelum ngadhu.[42]
Dalam setiap persembahan, ketika leluhur laki-laki dan perempuan disebutkan
bersama-sama, maka yang perempuan harus disebutkan terlebih dahulu.
3.3.1.3.4
Sa’o (Rumah Tradisional Masyarakat
Ngadhu)
Pada umumnya dalam sebuah
woe terdiri dari empat rumah tradisional
(sa’o), yaitu dua buah rumah peka pu’u atau saka pu’u dan dua buah rumah peka
lobo atau saka lobo. Peka pu’u terdiri dari saka pu’u dan wua ghao saka pu’u, demikian pula dengan peka lobo yang terdiri dari saka
lobo dan wua ghao saka lobo. Antara
saka dan wua ghao, saka lah yang
lebih berperan karena dialah sa’o pu’u
(‘rumah pokok atau rumah asal’), meskipun wua
ghao dianggap lebih kakak. Saka pu’u juga
berperan lebih besar sebab ia adalah kobho
bhaga, artinya rumah induk asal bhaga,
leluhur perempuan. Saka lobo adalah kobho ngadhu, yaitu sa’o asal ngadhu, leluhur
laki-laki.
Saka
dan wua ghao adalah ‘ayah dan ibu asal’ ngadhu dan bhaga. Sa’o saka pu’u
adalah ‘ibu asal dari bhaga,’ sedangkan sa’o wua ghao saka pu’u adalah rumah induk dari ‘bapa, bhaga.’ Sa’o saka lobo adalah rumah asal ‘ibu dari ngadhu,’ sedangkan sa’o wua
ghao saka lobo adalah ‘rumah asal bapak dari ngadhu.’ Jadi, yang berhak dan berwenang atas harta dalam woe adalah anak dari keturunan rumah
induk asal ‘ibu asal,’ yakni sa’o saka
pu’u.
Sa’o
ada
tiga macam, yakni: sa’o pu’u yang
terdiri dari saka dan wua ghao (empat
buah) yang telah disebutkan di atas, sa’o
tede dan sa’o dhoro. Sebuah sa’o pu’u yang berpenghuni padat maka
akan memekarkan diri. Hasil pemekaran ini disebut sa’o dhoro atau sao pibe.
Pemekaran ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya percekcokan dan perpecahan
antara “ana di’i sa’o dan ana pasa.”[43]
Di dalam sa’o pu’u yang punya banyak ana di’i sa’o dan ana pasa akan saling memperebutkan harta pusaka tertinggi, yakni
tanah. Pemekaran itu diikuti dengan pembagian tanah. Sa’o tede adalah samaran bagi sa’o
pu’u yang masih bersifat sementara, belum dibangun secara permanen. Sa’o tede sama seperti sa’o pu’u tetapi tidak punya mata raga, simbol dari tengu ebu (‘leher
leluhur’).
Sao
terdiri
dari tiga tingkatan sebagai simbolisasi strata sosial di dalam masyarakat
Ngadhu. Strata yang tertinggi adalah ga’e
yang disimbolkan dengan one (‘bagian
dalam’), yaitu tingkat yang tertinggi. One
adalah tempat inti, simbol dari ‘rahim ibu.’ One adalah pusat semua kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual
adat. Bagian ini dihiasi berbagai ukiran yang mempunyai makna. Ukiran yang
utama adalah mata raga (‘mata rusa’),
ie seko atau bela (‘hiasan telinga wanita dari emas’), taka (‘mata kampak’), gebe (‘mata
kalung’), jara (‘kuda’), zegu kaba (‘tanduk kerbau’), manu (‘ayam’) dan di tangga masuk ke
dalam one sebut, kaba pere di mana pada bagian ini terdapat ukiran kaba pere (‘gajah’), riti (gusi) dan bela (anting). Ukiran ini berkaitan dengan sejarah dari ngaluana (belis).
One
adalah
simbol tujuan akhir dari hidup manusia. One
sa’o adalah simbol ‘rahim,’ tempat Dewa bersemayam dan leluhur berdomisili.
Jalan menuju one sa’o melalui pintu
yang sangat kecil dan hanya ada satu jalan. Seseorang yang akan masuk ke dalam
harus tunduk begitupun ketika ia keluar. Tunduk saat masuk ke dalam berarti ia
harus tunduk dan taat kepada aturan para Dewa dan tunduk saat keluar berarti ia
harus tunduk pada norma-norma umum yang diwariskan oleh para leluhur dalam
kehidupan di tengah masyarakat.[44]
One adalah tempat yang sempit dan di
sanalah para tamu istimewa diterima. Di tempat ini pula ada kedamaian dan kerahiman.
Untuk masuk dan keluar dari one sa’o,
hanya melalui satu jalan. Jalan ini adalah jalan kerahiman atau jalan
kehidupan. Oleh karena itu, di tempat ini dilindungi oleh seekor gajah, simbol
kebijaksanaan. Maka pada jalan menuju one
sa’o, selalu ada ukiran gajah di kiri dan kanan.
Tingkatan kedua adalah teda wawo, simbol golongan kisa. Teda wawo lebih luas dan pintu masuk ke tingkat ini lebih luas
juga. Teda wawo adalah tempat untuk
menerima tamu umum dan di tempat ini sering ditempati oleh golongan menengah.
Tempat ini juga merupakan gudang penyimpanan bahan makanan, persediaan untuk
sesaat atau jangka pendek. Persiapan makanan jangka panjang atau keperluan
ritual selalu ditempatkan di dalam one
sa’o.
Tingkatan yang terendah
adalah teda au sebagai simbol dari ho’o atau azi ana. Di sini tak ada pintu sehingga sangat terbuka bagi semua
orang. Di tempat ini, tak pantas untuk menerima tamu atau hanya menerima tamu
untuk suatu keperluan umum. Misalnya, rapat umum atau musyawarah.
Saat ini, banyak sa’o di Kampung Doka yang telah
mengalami banyak perubahan. Misalnya, bentuk atap yang sudah menggunakan seng
bukan alang-alang, teda wawo dan teda au yang menggunakan lantai dari
semen bukan dari papan dan batu (ture)
sebagai penyangga, karena dilihat lebih tahan lama. Perubahan ini diakibatkan
oleh berkurangnya alang-alang dan kayu. Ukiran-ukiran khas seperti gajah pun
mulai diganti dengan kuda. Perubahan ini pun menimbulkan pergeseran makna yang
sesungguhnya.
3.3.2 Dasar Pijak Sistem Kekerabatan
Berdasarkan Ideologi 'Darah Sejati’
Dasar pijak sistem kekerabatan
berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ didasarkan pada mitos dan urutan kelahiran.
3.3.2.1 Berdasarkan Mitos
Secara umum masyarakat Ngadhu terbagi atas tiga tingkatan sosial,
yakni: ga’e, kisa dan azi ana. Keanggotaan dari ketiga
lapisan masyarakat ini diperoleh melalui kelahiran dan posisi ibu. Sistem
pelapisan masyarakat pada masyarakat Ngadhu pada umumnya bersifat tertutup.[45] Artinya, sistem ini
membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari satu lapisan ke dalam lapisan
yang lain. Seorang dari lapisan ga’e
tidak dapat berpindah ke dalam lapisan kisa
dan sebaliknya. Sekalipun dalam perkawinan seorang pria dari ga’e menikahi wanita dari lapisan kisa, si pria tetap menjadi seorang ga’e, tetapi anak-anaknya mengikuti
lapisan ibunya yang berasal dari kisa.
Dalam memahami dasar pijak pembentukan sistem kekerabatan
berdasarkan ideologi ‘darah sejati,’ ada beberapa asumsi dasar yang berkembang
di dalam wilayah budaya Ngadhu. Kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’
pada orang Ngadhu dan pada masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, umumnya
berasal dari mitos “Dala
Ko Nee Wawi Toro.”[46] Mitos ini mengisahkan perkawinan inses antara dua saudara kembar,
yaitu Dala Ko (personifikasi wanita) dengan Wawi Toro
(personifikasi laki-laki) yang membawa akibat perpisahan. Dala Ko dan Wawi
Toro tidak pernah boleh bertemu. Apabila keduanya bertemu maka akan terjadi
musim kemarau yang panjang. Dalam hubungan dengan sistem pelapisan sosial pada
masyarakat Kampung Doka, kasta tertinggi adalah keturunan Dala Ko dari
hasil perkawinannya yang kedua setelah ia berpisah dengan Wawi Toro.
Kasta kisa adalah keturunan Wawi Toro dari hasil perkawinan yang
kedua setelah ia berpisah dengan Dala Ko. Sedangkan keturunan Dala Ko
dan Wawi Toro menghasilkan kasta ketiga, yaitu azi ana.
Sistem kasta yang demikian pada masyarakat Kampung Doka membawa
akibat dan pengaruh dalam sistem relasi warga. Namun, dalam kehidupan
sehari-hari, penggolangan masyarakat yang demikian tidak terlalu mencolok, baik
dalam tutur kata maupun dalam komunikasi antar warga, tetapi akan sangat jelas
dalam hal perkawinan, dalam pesta-pesta adat dan dalam kehidupan adat.
Misalnya, golongan azi ana mempunyai kewajiban mendengar dan
melaksanakan perintah dari golongan ga’e. Pada setiap kesempatan pesta
atau perayaan besar adat, seorang ga’e harus duduk di sekitar kebha
hui (tempat daging korban) sebagai penjaga dan pengatur penggunaan makanan.
Mereka adalah orang-orang yang mengucapkan doa-doa dalam setiap perayaan adat.
Pada saat perang, golongan ga’e menggunakan sau ga’e (parang
panjang yang keramat) sebagai tanda kekuasaan sebagai seorang ga’e.
Hanya orang ga’e yang dapat menempati Zegu Raga (dua
batang kayu yang digantung pada dinding hulu rumah) yang menandakan hak
seseorang atas rumah dan menjadi pemimpin yang mengepalai seluruh penghuni
rumah itu dalam setiap pertemuan keluarga atau dalam musyawarah kampung. Tetapi
pada umumnya apabila di dalam sa’o itu
tidak ada ga’e maka mori sa’o juga dapat mendudukinya sekalipun
ia berasal dari golongan kisa atau azi ana.[47]
Dalam perkawinan, seorang wanita dari golongan ga’e hanya
boleh kawin dengan laki-laki dari golongan yang sama. Akan tetapi, laki-laki
dari golongan ga’e boleh kawin dengan wanita dari golongan manapun, namun
keturunannya mengikuti status isterinya. Jika wanita dari golongan ga’e kawin
dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah (kisa dan azi ana)
maka ia sangat bersalah secara adat, la’a sala (‘jalan salah’). Wanita yang
melakukan pelanggaran ini harus melakukan upacara ‘turun tingkat’ yang disebut dhoro
ga’e. Ia harus membunuh seekor kerbau untuk keperluan ritual itu, yaitu
bura nua (‘bersih kampung’) dan nuka nua (‘masuk kampung’, diterima
kembali di dalam kampung).[48] Dalam ritual ini, ia didandani seperti budak belian, yaitu
diberi pakaian yang compang-camping, rambutnya disirami abu dapur, menggendong bere
(tempat sirih khas wanita Ngadhu) yang sudah robek, berbedak debu yang
bercampur arang. Keduanya berjalan mengelilingi kampung dan disaksikan semua
orang. Ketika berkeliling kampung, kedua suami-isteri ini disoraki dengan
makian dan ‘dibuang’ ludah. Mereka tak boleh melawan dan tak boleh menangis.
Mereka berjalan dengan menundukkan kepala dan tidak boleh bertatapan dengan
orang-orang apalagi dengan orang-orang dari golongan ga’e. Jika larangan
ini dilanggar maka mereka akan dibunuh. Sebelumnya mereka diasingkan di luar
kampung. Upacara di atas disebut nuka nua (‘masuk kampung’).
Pada saat ini, sanksi semacam ini sudah tidak lagi dijalankan.
Pada zaman dahulu, para pelaku harus dibunuh dengan digantung pada sebatang
bambu
(le teo le bedhi) atau dibuang ke jurang hidup-hidup. Bila ditilik dari sisi
kemanusiaan, sanksi ini tentunya sangat tidak manusiawi tetapi bagi masyarakat
Ngadhu pada umumnya, mereka berusaha menjaga kemurnian golongan. Norma mengenai
hal ini tertuang dalam ungkapan adat: “ghiri tuka ghi, ngira bonu pida, lobo
wi papa tozo, tara wi papa dhaga”, artinya ‘mencari jodoh sesuai dengan
status dan tingkatan, agar ujung saling berdempetan dan ranting saling
berkaitan.’
Kisa (kisa: tengah) adalah mereka
yang digolongkan pada kelompok tengah. Kaum wanita golongan ini boleh kawin
dengan pria dari golongan ga’e dan kisa, tetapi dilarang kawin
dengan golongan azi ana. Pelanggaran akan aturan ini sama dengan
pelanggaran pada wanita ga’e, yaitu la’a sala.
Azi ana adalah lapisan paling bawah
dalam strata sosial masyarakat Ngadhu. Azi ana ada dua macam, yakni pertama,
ho’o, yakni status yang
diperoleh karena ‘diperjual-belikan’ dan menjadi budak belian yang
disebut wena naja karena tempat duduknya berada di sebelah bawah jika duduk
bersama orang dari golongan ga’e. Pada zaman dahulu, orang wena naja sering
menjadi ‘alas’ bagi tuannya yang meninggal. Kedua, ho’o roro, yakni
status yang disandang karena kalah perang. Pria ho’o hanya dapat
mengawini wanita dari golongan yang sama. Ia dilarang mengawini wanita dari golongan
yang lebih tinggi. Jika melanggar maka ia dikenakan la’a sala.
Mitos Dala Ko Ne Wawi Toro pada
umumnya diterima oleh masyarakat Kampung Doka dan menjadi patokan bagi
penggolongan masyarakat ke dalam tiga golongan di atas. Memang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya, tetapi hal ini diterima sebagai kebenaran, dihayati
dan dilaksanakan di dalam praktek hidup sehari-hari. Mitos ini sebenarnya dimaksudkan
untuk mengatur kehidupan setiap orang di dalamnya agar tidak terjerumus
dalam ‘pergaulan bebas.’
3.3.2.2
Berdasarkan Urutan Kelahiran
Sistem kekerabatan
berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ telah memperlihatkan adanya piramida dalam
struktur sosial di dalam masyarakat setempat. Dasar pijak kekerabatan ‘darah
sejati’ berdasarkan urutan kelahiran, mengikuti pendapat yang digagaskan oleh Watu
Yohanes Vianey. Model penataan yang demikian ditafsirkan Watu Yohanes Vianey
sebagai bagian dari pengaruh budaya ‘Austronesia’ dalam menata model pewarisan
keturunan darah.[49]
Kelompok
pertama adalah ‘anak sulung’ yang di dalam tradisi setempat disebut ana li’e ga’e. Ga’e dalam konteks ini sinonim dengan kata ka’e (kakak). Ini dimaksudkan sebagai anak sulung, ‘buah permulaan.’[50]
Kelompok kedua adalah keturunan ‘anak tengah’ yang dalam tradisi setempat
disebut ana tama kisa. Kelompok
ketiga adalah keturunan ‘anak bungsu’ yang dalam istilah setempat disebut ana azi repo. Namun di bawah pengaruh
penafsiran penguasa Kolonial Belanda, ketiga kelompok ini diterjemahkan dengan
arti: ga’e sebagai golongan teratas, kisa sebagai golongan tengah dan azi ana sebagai kelompok bawah. Hal ini
diperkuat oleh konteks sistem organisasi sosial berbasis kerajaan (swapraja)
buatan Belanda. Para kaum intelektual organik dan semua orang yang pernah hidup
dalam hegemoni regim kolonial, menambahkan predikat meze pada kata ga’e
sehingga menghasilkan istilah ga’e meze
dan lantas diartikan sebagai bangsawan besar. Selanjutnya ditambahkan pula predikat
ga’e pada kata kisa sehingga menjadi ga’e
kisa dan diartikan sebagai bangsawan kelas menengah. Pada kelompok ketiga
ditambahkan kata ana pada kata azi sehingga menjadi azi ana dan mau menunjukkan kaum ini
sebagai kelompok pekerja yang dalam kategori marxian istilah ini relatif sama
bobotnya dengan kaum proletar. Sehingga dalam proses penyelenggaraan
kepentingan bersama, kaum azi ana
sering dianggap sebagai kelompok yang menjadi pekerja. Pengertian ini telah
berkembang pesat dalam lapisan epistemik masyarakat saat ini. Dalam
penyelengaraan pesta adat bersama, kaum azi
ana dijadikan sebagai seorang pekerja yang melaksanakan perintah kaum ga’e meze.
Dalam kajian Paul Arndt, stratifikasi sosial ini
dikatakan mengikuti pola kasta dalam tradisi Hinduisme. Hal ini ditegaskan
dengan melihat asal-usul masyarakat Ngadhu yang berasal dari India Timur Laut,
yakni ‘Magadha’ yang bermigrasi ke daerah ini dengan membawa pola kasta dalam
tradisi Hindu. Ini adalah sebuah asumsi yang dibangun dengan dasar asal-usul
nenek moyang orang Ngadhu. Tetapi dalam penelitian lapangannya, ia mempunyai
pandangan yang sama dengan Watu Yohanes Vianey bahwa penamaan lapisan sosial di
dalam masyarakat Ngadhu masih berhubungan dengan indentifikasi masyarakat
berdasarkan urutan kelahiran.
3.3.3 Dasar Pijak Sistem Kekerabatan Berdasarkan Perkawinan
Salah satu masa
peralihan terpenting dalam kehidupan manusia adalah peralihan dari masa remaja
menuju masa dewasa dan berkeluarga dengan ditandai oleh adanya perkawinan.
Perkawinan sebagai bagian dari unsur budaya yang universal, ditemukan di dalam
seluruh kehidupan sosial.[51]
Perkawinan adalah sumbu perkembangan sebuah masyarakat. Kelangsungan hidup
suatu masyarakat dan kehidupan suku (woe)
ditentukan oleh perkawinan. Melalui perkawinan, generasi baru sebagai pembawa
nama keluarga dan pelanjut kehidupan suku dilahirkan. Hal ini juga yang
dimaknai oleh masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka, Desa
Radabata pada khususnya. Perkawinan menghantar warga suku untuk berpindah dari
statusnya sebagai seorang bujang atau gadis ke dalam sebuah status hidup yang
baru sebagai suami dari seorang isteri atau isteri bagi seorang suami.
Perkawinan merubah kedudukan seseorang dalam keluarga dan masyarakat karena
perubahan status itu.
Perkawinan
dengan segala prosesnya adalah peristiwa peralihan dari satu fase hidup ke
dalam suatu fase hidup yang lain, yakni dari fase hidup remaja ke fase hidup orang
dewasa. Perkawinan juga adalah sebuah langkah penting dalam proses
pengintegrasian manusia dalam tata alam sakral yang harus memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh tradisi untuk masuk tata alam tersebut.[52]
Dalam upacara perkawinan dihadirkan kembali perkawinan asasi pada zaman purba
yang seringkali dilukiskan lewat dua pribadi, Dewa dan Dewi, sepasang nenek
moyang, yang mana dalam keyakinan masyarakat adat Kampung Doka tergambar dalam
persatuan ngadhu dan bhaga.
Perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang diinginkan bersama dan sesuai dengan
nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah masyarakat. UU No. 1 tahun 1974
mengatakan bahwa perkawinan yang sah bila perkawinan itu sah menurut Hukum
Agamanya. Namun, berbeda dengan norma dan hukum adat. Keabsahan sebuah
perkawinan menurut hukum adat wajib memenuhi beberapa persyaratan. Perkawinan
yang diharapkan dan sesuai dengan hukum adat Ngadhu adalah perkawinan yang
memenuhi beberapa syarat berikut:
1.
Harus sesuai dengan tuka ghi bonu pida (sederajat).
2.
Telah melewati masa inisiasi.
Dua hal di atas adalah
dasar pijak pembentukan sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan.
3.3.3.1
Tuka Ghi Bonu Pida
Tuka
ghi bonu pida artinya ‘sederajat.’ Dalam perkawinan,
pria dan wanita bersatu sekaligus menjalin ikatan kekerabatan di antara kedua
bela pihak keluarga masing-masing. Pria meninggalkan rumahnya dan masuk ke
dalam rumah isterinya sebagai tamu. Tetapi dia tidak otomatis menjadi anggota
klan (woe) dari isterinya. Melainkan
isterinya akan menjadi anggota dari woe
suaminya apabila si suami memberikan sejumlah belis (ngaluana) kepada keluarga si isteri. Pemberian belis dimaksudkan
agar keturunannya menjadi bagian dari woe
si suami. Ini terjadi apabila anggota woe
dari si suami sangat kurang atau minim anggotanya.
Dalam perkawinan pula
dikenal istilah tuka ghi artinya yang
sama derajatnya. Seorang isteri harus mempunyai golongan yang sama. Misalnya,
wanita ga’e harus memiliki suami dari
ga’e juga. Dia tidak boleh mengambil
suami dari kelompok kisa atau azi ana. Tetapi, pria dari kelompok ga’e bisa mengambil wanita dari kelompok
kisa atau azi ana. Begitu juga wanita dari kelompok kisa tidak bisa mengambil pria dari kelompok azi ana. Pada saat ini, paham ini ditentang oleh oleh berbagai
pihak karena melihat perkawinan tuka ghi
bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik Roma dan nilai kemanusiaan.
Masyarakat pada umumnya
melarang perkawinan inses karena dianggap tabu. Perkawinan inses tidak hanya
menyangkut perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang
sangat dekat, tetapi juga berkaitan dengan norma yang berlaku di dalam
masyarakat dan sejak dahulu dijunjung tinggi dan bernilai.[53]
Sanksi atas pelanggaran akan perkawinan inses sangat kuat di berbagai macam
daerah kebudayaan.
Sejak pengaruh hegemoni
ajaran Gereja Katolik Roma ‘bersentuhan’ dengan kehidupan adat masyarakat Kampung
Doka, perkawinan yang demikian ditolak karena tidak sesuai dengan ajaran Yesus
Kristus, bahwa semua orang adalah sama derajadnya di mata Tuhan. Memang ajaran
ini membawa pengaruh yang positif bagi proses internalisasi nilai akan
pemahaman tentang kesetaraan di antara manusia. Namun pada kenyataannya, hal
ini tetap dipertahankan tetapi sanksinya tidak seketat zaman dahulu. Sanksinya
saat ini adalah si wanita diusir dari rumah (sa’o). Dia tidak lagi boleh terlibat dalam seluruh proses kehidupan
di dalam rumah, tidak ada hak dan kewajiban.
3.3.3.2
Telah Melewati Masa Inisiasi
3.3.3.2.1
Ruki Kusu Bu’e
Ruki
adalah ‘adat pingitan,’ di mana anak gadis yang hendak menginjak dewasa harus
dipingit selama tujuh hari (minimal tiga hari). Pada saat ini, ritus ini hanya
terdapat di dalam wilayah adat Kampung Doka. Adat ini mengandung nilai magis,
sosial budaya dan hukum yang dikemas dalam mitos Wonga Runu, Gere dan Sina, Bhoga Jara, Reo Genga. Ruki selalu dilaksanakan pada waktu
bersamaan dengan ritual Reba (pesta
tahun baru adat). Seorang gadis yang memiliki gua ruki (gua adalah ‘adat
suatu komunitas yang dilandasi oleh nilai magis’), ketika memasuki usia 10-12
tahun wajib melakukan ruki tahap I. Terhadap
gadis yang menjelang dewasa, yaitu mereka yang sudah berusia di atas 12 tahun
(13-17 tahun), wajib melakukan ruki tahap
II, yang disebut wadho. Gadis yang
telah melakukan wadho berarti telah
siap untuk kawin. Bagi pria yang mengawini wanita yang belum wadho maka akan dikenai denda, wajib membayar
sejumlah hewan. Sanksi ini disebut roka
kaku, yaitu ‘membuka secara paksa adat kegadisan,’ yang diibaratkan dengan
perkosaan.
Para
gadis yang mengikuti ritual ruki ini
harus hidup di sebuah pondok pengasingan, di luar desa atau di belakang rumah
induk. Pondok pengasingan ini dinamakan sa’o
are (‘rumah padi, rumah kesuburan’). Mereka hidup di dalam pondok yang
tertutup rapat. Makna ritual ini, ruki (‘hidup
tertutup atau dipingit’) dan kusu bu’e
(‘padi yang sedang mekar atau akan mengeluarkan bunganya’). Ritual Reba selalu bersamaan dengan padi yang
menjelang mekar atau berbunga. Kusu bu’e
(kusu: ‘cuci hingga bersih’, bu’e: gadis) adalah wanita yang
melakukan penyucian diri dan hanya dilakukan oleh woe-woe yang memiliki gua (tata
cara ritual). Di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, tidak semua
gadis dalam woe melakukan ruki dan menjadi kusu bu’e, hanya yang memiliki gua
ruki.[54]
Cara untuk mengetahui bahwa seorang gadis memiliki gua ruki adalah dari namanya. Oleh karena itu, nama pada masyarakat
Kampung Doka sangat bermakna dan mempunyai arti penting. Nama mewakili leluhur
si pemilik nama yang pertama kali berjuang mendapatkan gua. Pada saat ini, di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata,
terdapat dua gua, yakni Gua Buku Reba dan Gua Pana. Gua Buku Reba dipegang
Woe Sito dan Gua Pana dipegang Woe Genga.
3.3.3.2.2
Ripa Ngi’i (Acara Merapikan Gigi)
Setelah
melakukan ruki, kaum wanita masih
lagi melakukan ritual yang lain, yakni ripa
ngi’i atau acara merapikan gigi. Merapikan gigi dimaksudkan agar gigi
menjadi rata dan hitam. Wanita yang bergigi hitam berarti wanita dewasa. Ini
untuk membedakan dengan wanita yang belum dewasa, yang masih bergigi putih.
Wanita dewasa yang belum dirapikan giginya disamakan dengan anjing. Pada
masyarakat Ngadhu pada umumnya, wanita dewasa diperkenankan untuk makan sirih
pinang sedangkan wanita yang belum dewasa tidak diperkenankan untuk makan sirih
pinang. Karena sirih adalah simbol wanita dan pinang adalah simbol laki-laki,
sehingga sirih pinang berarti senggama, dan air sirih adalah simbol pecahnya
selaput dara. Wanita dewasa yang membiarkan giginya putih akan dihina orang, mo ego ngi’i lako, artinya seperti gigi
anjing.
Inti
yang terkandung dalam ritual ripa ngi’i
adalah simbolisasi seorang wanita boleh bebas bergaul dengan manusia lain, baik
laki-laki maupun perempuan. Apabila belum melaksanakan ritual ini, ia masih
belum dianggap dewasa karena masih di bawah pengawasan orang tua. Ritual ini
biasanya dilakukan setelah ritual wadho
atau ruki. Upacara ini dilakukan di ‘kebun
ritual’ (uma moni), di mana semua bahan makan telah tersedia dan disaksikan
banyak orang. Pada waktu acara ritual, apabila gigi yang dirapikan mengeluarkan
darah maka hal ini menandakan bahwa wanita itu tidak perawan lagi. Seorang
wanita dikatakan masih perawan, apabila ketika giginya dirapikan maka tidak
akan mengeluarkan darah. Di Kampung Doka, ritual ini terakhir kali dilaksanakan
pada tahun 1967 dan sejak saat itu, ritual ini dihilangkan karena dianggap dapat
membahayakan kesehatan.
Ritual
inisiasi bagi kaum laki-laki dalam masyarakat Ngadhu pada umumnya adalah sunat
(dhegha loka/bo logo/po’o). Dhegha loka adalah tempat di mana para
pria disunat dan sekaligus tempat pengajaran tentang adat-istiadat leluhur.
Namun saat ini, ritual ini sudah ditiadakan sejak hegemoni ajaran Gereja
Katolik Roma ‘bersentuhan’ dengan kehidupan masyarakat adat Kampung Doka.
BAB IV
MAKNA SISTEM KEKERABATAN
DI DALAM MASYARAKAT KAMPUNG DOKA
Pada rumusan masalah yang ketiga
dari penulisan skripsi ini adalah manakah makna dari sistem kekerabatan di
dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata? Makna dari sistem kekerabatan
yang ditawarkan pada bab ini adalah tafsiran ‘makna sesudah makna’.[55] Maksudnya, proses
pemaknaan yang dilakukan pada bab ini memuat sirkulasi penafsiran retrospektif
dan prospektif. Penafsiran retrospektif adalah upaya untuk memetakan ulang
makna-makna yang terkandung di dalam sistem kekerabatan pada bab terdahulu.
Selanjutnya penulis membuat peta makna yang baru, yang kiranya selaras zaman,
emansipatoris dan visioner, tanpa mengabaikan makna sistem kekerabatan yang
sudah terkandung dahulu di dalamnya.
4.1 Makna Kekerabatan Woe
Makna kekerabatan woe yang
akan dipaparkan penulis terdiri atas empat buah makna yang secara essensial
terkandung di dalam sebuah kekerabatan woe.
Makna-makna itu, antara lain: makna persatuan, sosial, religius dan yuridis.
4.1.1 Makna Persatuan
Hubungan sosial di antara manusia adalah sebuah kebutuhan.
Hubungan ini tidak lahir secara temporal
tetapi secara hakiki telah ada di dalam diri manusia.[56] Misalnya, seorang pria
membutuhkan seorang wanita. Manusia bersatu dengan manusia yang lain membentuk
kesatuan, seperti: keluarga, masyarakat, atau kelompok sosial lainnya. Di dalam
kesatuan itu, terbentuk hubungan timbal-balik antar manusia dan dari sana
terbentuk sekumpulan sistem yang diterima dan dipercaya dapat mengatur pola
tingkah laku manusia. Misalnya, hukum adat, adat-istiadat, sistem norma dan
nilai, pendidikan, kebudayaan, kekerabatan.
Sistem kekerabatan di dalam
masyarakat Kampung Doka adalah manifestasi dari interaksi manusia. Kekerabatan woe telah menunjukkan bahwa manusia
menyatukan diri dalam sebuah keyakinan yang dianut bersama. Kekerabatan woe memuat makna persatuan, pluribus unum, kesatuan tidak tercipta
dari satu melainkan dari banyak. Woe adalah
wadah yang menyatukan banyak orang ke dalam sebuah keyakinan akan kesamaan leluhur,
disatukan dalam sebuah mitologi yang sama dan simbol-simbol adat yang sama.
Semua itu adalah hasil karya manusia yang ditujukan untuk menyatukan manusia
dalam sebuah kebersamaan. Di dalam masyarakat adat Kampung Doka, woe adalah sebuah wadah internalisasi
nilai-nilai yang diciptakan dan diwariskan oleh para leluhur, peletak dasar
sebuah woe, demi menjamin
kelangsungan hidup woe. Orang yang
berkumpul dalam satu woe disebut ‘satu pintu’ atau mogo seone, ‘satu rahim’ atau mogo
setuka (mogo: bersama, tuka: rahim). Pengertian mogo (bersama-sama) seone (se: satu; one: dalam) dan mogo (bersama-sama)
setuka (‘satu rahim) diartikan sebagai
kesadaran akan keberadaannya dari satu rahim ibu yang sama. Dari pengertian
ini, dapat disimpulkan bahwa woe adalah
simbol pemersatu.
Di dalam kekerabatan woe,
para anggota disatukan atas dasar ikon-ikon adat, seperti: ngadhu-bhaga, meri-peo, anaie yang sama. Para anggota woe terhimpun dalam sebuah koalisi rumah
tradisional (sa’o) yang sama. Di
dalam koalisi ini pula, semua anggota woe
yang masih hidup, juga disatukan dengan leluhur yang mana diungkapkan dalam simbol-simbol
adat. Pemilik sa’o (mori sa’o), bukan saja manusia yang
masih hidup tetapi juga leluhur yang sudah meninggal dan memuncak pada Dewa Sa’o. Ini menunjukkan bahwa di
dalam kekerabatan woe telah terjadi
persatuan antara Yang Ilahi dan yang insan.
Makna persatuan ini juga tercermin dari kisah perjalanan nenek
moyang orang Doka. Dalam perjalanan mereka dari ‘Magadha’
hingga ke Kampung Doka sekarang ini menghadapi tantangan yang sangat berat. Hal
ini tercermin dalam mitos ‘sui uwi’ yang
dilantunkan pada waktu pesta Reba. Sui uwi adalah sebuah gambaran perjalanan
fisik maupun batin nenek moyang masyarakat ngadhu-bhaga.
Dalam perjalanan fisik, nenek moyang kita menghadapi tantangan baik dari alam
(badai, bahaya di dalam hutan belantara) maupun dari sesama manusia, seperti
perang dan penaklukan. Tantangan yang demikian berat ini dibutuhkan persatuan
dan kesatuan dalam bentuk ikatan lahiriah maupun batiniah (jiwa dan raga). Agar
keutuhan komunitas ini tetap terjaga, maka dibentuklah woe ili, yaitu komunitas berdasarkan asal usul. Mengapa? Sebab
komunitas yang berasal dari keturunan yang sama ini terjaga keasliannya,
terjamin soliditasnya.[57]
Persatuan ini juga adalah lambang dari persatuan simbol adat, yakni ngadhu dan bhaga, yang senantiasa harus bersama ketika didirikan. Artinya,
masyarakat Kampung Doka meyakini bahwa persatuan dua simbol adat di atas adalah
dasar dari keberadaan mereka yang terhimpun dalam komunitas kekerabatan woe.
4.1.2 Makna Sosial
Manusia
bukanlah binatang yang hanya dikuasai oleh naluri-naluri instingtif. Manusia berbeda
dengan binatang yang selalu hidup dalam suatu kelompok tanpa memahami secara
mendalam arti dari persatuan dalam kelompok itu. Sebaliknya, manusia adalah
makhluk yang berkesadaran diri, berakal budi dan berimajinasi, yang secara
eksistensial ada bersama dengan yang lain, menjalin sebuah sosialitas dan
membentuk komunitas bersama.[58]
Sosialitas bukanlah sekadar masalah tidak sendirian. Hal ini bukan hanya
mengacu pada realitas adanya banyak orang yang sama-sama di satu tempat dan
sedang berkumpul. Ia bukanlah sebuah keramaian, sebab model kumpulan seperti
ini bukanlah kerinduan dasar manusia. Yang menjadi kerinduan semua orang adalah
sebuah komunitas berlandaskan prinsip bonum
commune, di mana di dalamnya terjalin suasana kebersamaan yang saling
mengenal, menyapa, membantu, memperkaya, melayani dan mengembangkan satu sama
lain.
Salah
satu tokoh yang merefleksikan tentang dimensi sosialitas ini adalah Alfred
North Whitehead. Dalam sistem filsafatnya yang dinamakan filsafat proses,
Whitehead mau menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada, ‘semuanya mengalir’ (all things flow) seiring dengan
mengalirnya waktu. Setiap satuan aktual secara essensial terjalin dalam
rentangan pengalaman dari masa lalu ke masa depan dalam kegiatan yang saling
berkaitan. Di sana ada keterjalinan satuan aktual yang saling mempengaruhi satu
sama lain. Hal ini nyata dari apa yang oleh Whitehead disebut sebagai ‘prinsip
relativitas.’ Prinsip ini berbunyi: “merupakan hakikat setiap ‘pengada’ bahwa
ia merupakan potensi untuk setiap proses ‘menjadi’ (its belong to the nature of a ‘being’ that it is a potential for every
‘becoming’).”[59]
Satuan aktual yang satu muncul dari satuan aktual yang telah ada sebelumnya dan
telah mencapai kepenuhan dirinya (satisfication).
Demikian pula satuan aktual yang telah ada menyediakan diri dalam bentuk
potensi untuk kelahiran sebuah satuan aktual yang baru (becoming). Dalam
kaitannya dengan kekerabatan woe, woe adalah sebuah lanjutan masa
lampau, sebuah lanjutan kehidupan masa lampau. Leluhur adalah satuan aktual
yang menjadi potensi dan teraktualisasi
dalam ‘kelahiran’ orang Doka yang sekarang, dan orang Doka yang sekarang
berpotensi melahirkan generasi berikut. Para leluhur telah menjadi tonggak bagi
kelahiran woe.
Menurut kodratnya pula,
manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Dalam hubungannya
dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan
manusia lainnya. Dorongan untuk hidup dalam sebuah masyarakat yang dibina sejak
lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan
sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan
dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga
tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah
manusia lain, co-esse, ‘ada bersama.’
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa memenuhi
kebutuhannya, tidak dapat berkomunikasi dan tidak bisa mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaannya.
Kekerabatan adalah
salah satu wadah yang menunjukkan ciri khas manusia sebagai makhluk sosial.
Kekerabatan woe adalah sebuah bentuk
persatuan manusia dengan manusia lain. Di dalam kekerabatan ini, orang-orang
yang terhimpun di dalamnya memiliki sebuah interaksi afektif yang sangat kuat.
Dengan demikian, makna kebersamaan membawa pengaruh yang positif, manusia
membutuhkan yang lain. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan praksis ritual adat.
Kebersamaan sosial itu terungkap dalam petuah: “su’u papa suru-sa’a papa laka” (‘saling menolong dalam
memikul-saling bantu dalam menjunjung’), “ngeta
bhagi ngia-mami utu mogo” (‘mentah adalah hak dari masing-masing, tetapi
masak adalah hak milik bersama’), “modhe
ne’e soga woe-meku ne’e doa delu” (‘berbuat baik dengan teman-berlembut
hati dengan sahabat’). Dari petuah ini sekiranya dapat dilihat bahwa di dalam
kekerabatan ini, tidak dimunculkan soal ke-aku-an tetapi ke-kita-an. Di dalam
petuah ini juga termuat norma-norma yang dihasilkan untuk menjaga kebersamaan
sosial sehingga menjadi harmonis.
4.1.3
Makna Religius
Makna religius di dalam kekerabatan woe yang akan diutarakan penulis, mengikuti pandangan dari Watu
Yohanes Vianey dalam desertasinya yang berjudul “Representasi
Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di Kampung Guru Sina, Ngada,
Flores.”
Woe yang merupakan koalisi dari Sa’o Ngaza itu terdiri dari koalisi unit
sosial sa’o pu’u (rumah awal), sa’o lobo (rumah akhir) dan sa’o dhoro (rumah turunan). Koalisi ini
dipersatukan oleh ‘tiang korban’ (ngadhu),
‘rumah korban’ (bhaga) dan ‘kebun
ritual’ (uma moni) bersama.[60] Simbol ikatan ini
bersifat religius, karena itu konsep woe relatif
identik dengan konsep religi atau agama. Pengalaman yang religius itu menunjuk
kepada sesuatu yang melampaui pengalaman biasa sehari-hari, yang melaluinya
menyadarkan manusia tentang kehadiran wujud Ilahi. Hal ini nyata terungkap
dalam praktik ritual adat.
“Tiang korban” (Ngadhu), ikon adat yang merujuk pada ‘bapa asal’, sebagai simbol
yang mempersatukan woe sekaligus
mengandung makna religius ini, dipandang oleh masyarakat Kampung Doka sebagai
simbol religius lokal. Ini dapat dilihat dalam doa yang berbentuk
pantun, yang dinyanyikan ketika upacara ritual mula ngadhu (‘menanam ngadhu’), bunyinya: “pogo ngadhu ngaza tau tobo lizu, kabu wi role nitu, lobo wo soi Dewa,”
artinya: “tanam ngadhu untuk
menyangga langit, akar sampai ke bumi, Nitu
(‘leluhur dibawah’) dan ujungnya mencapai Dewa (‘leluhur di atas’).” Maknanya
adalah bahwa ngadhu merupakan
penghubung manusia dengan Dewa dan leluhurnya. Ngadhu menjadi sebuah simbol yang menunjukkan bahwa para anggota woe bersatu di dalam kebersamaan sosial
sekaligus dengan Yang Ilahi.
“Rumah korban” (bhaga) adalah tempat untuk mengolah hewan
korban yang telah disembelih, tetapi juga “rumah korban” ini adalah ikon adat yang merujuk pada simbol
‘ibu asal.’ Setiap woe harus memiliki
satu ngadhu dan bhaga. Ngadhu dan bhaga adalah simbol dari ‘bapa-ibu asal’
dari sebuah woe yang menurunkan para
anggota woe. Di sinilah letak
religiositas lokal masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka
pada khususnya.
Di dalam
praktik ritual adat, terungkap bahwa di sana ada persatuan antara Yang Ilahi
dan yang insani. Bila disandingkan dengan gambaran Gereja Katolik, Woe sebagai sebuah kesatuan unit sosial,
dilihat sebagai sebuah ‘gereja mini.’ Anggota woe adalah adalah sekumpulan umat. Di dalam praktik ritual adat,
anggota woe ini dipimpin oleh seorang
Dela atau imam adat. Secara institusional,
Dela mengemban empat fungsi, yakni:
(1). Memimpin rapat dan memberikan petuah dan ajaran yang berkaitan dengan
penyelenggaraan ritual. (2). Pembawa korban sembelihan, korban bakaran dan
korban persembahan kepada Yang Ilahi, sebagai pengantara antara Yang Ilahi
dengan yang insani. (3). Menafsirkan kehendak Yang Ilahi dan mewartakannya
kepada umat. Dan (4). Dalam nama yang Ilahi memberkati umat, melalui tanda dan
sarana religius yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa woe adalah sebuah paguyuban genealogis
yang juga memuat unsur religius.
4.1.4 Makna Yuridis
Sistem kekerabatan dalam pengertian hukum adat disebut rechtsgemeenschaap atau masyarakat hukum
adat, sebab ia adalah subjek hukum adat selain individu. Rechtsgemeenschaap ini ada yang menterjemahkan dengan istilah
persekutuan hukum adat dan ada pula yang menyebutnya masyarakat hukum adat atau
masyarakat adat. Disebut rechtsgemeenschaap
atau masyarakat hukum adat sebab ia adalah subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban layaknya seorang manusia, seperti hak-hak atas tanah: hak pakai, hak
sewa, dan kewajiban: membayar hutang, melindungi anggota warga, melindungi
wilayah dari serangan orang luar dan seterusnya. Di Indonesia, menurut Van
Vollenhoven terdapat 19 wilayah adat (Rechtskringen).[61] Salah satunya adalah
kekerabatan woe di dalam masyarakat Kampung
Doka.
Woe
sebagai masyarakat hukum adat adalah sebuah badan hukum yang bersifat
mandiri serta memiliki norma dan aturan hukumnya tersendiri. Woe sebagai sebuah badan hukum adat,
mengurusi kehidupan para anggotanya, khususnya dalam pembagian warisan, yakni
tanah dan juga sekaligus menjadi badan hukum yang dapat menentukkan kepemilikan
seseorang atas harta warisan menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Dengan
kehadiran woe, dapat diketahui secara
jelas tentang siapa saja yang berhak dan pantas untuk memperoleh harta warisan.
Melalui woe, dapat ditarik garis
keturunan yang mengesahkan seseorang untuk memiliki harta warisan. Misalnya, dalam
pewarisan tanah ulayat, yang berhak menjadi alih waris adalah anak yang ditarik
dari keturunan langsung ibu. Sekalipun si ibu adalah wanita yang dibelis, anak-anaknya
tetap mendapatkan tanah. Seperti di dalam woe
saya, Woe Bhaku Dengi Dula. Saya
berhak mendapatkan tanah warisan sedangkan anak-anak dari saudara ibu saya (paman
saya) tidak mempunyai hak yang sama seperti saya. Ini dikarenankan oleh sistem
matrilineal yang dianut masyarakat Kampung Doka. Saudara ibu saya (paman saya)
berhak memperoleh tanah warisan, tetapi tidak bisa diwariskan kepada
anak-anaknya. Bila paman saya meninggal, maka tanah itu akan diserahkan kepada
saya yang adalah keponakan kandungnya.[62] Hal ini telah diatur di
dalam hukum adat dalam sebuah komunitas woe.
Selain itu pula, woe
memiliki metode yang jelas dan tepat untuk penelusuraan asal usul seseorang dan
asal usul harta benda dan pewarisannya.
Di dalam musyawarah untuk mencapai mufakat, kekerabatan woe memainkan peranan yang sangat
penting. Misalnya, dalam hal sengketa perebutan warisan, woe sebagai badan hukum adat dapat menentukan orang atau pihak yang
paling pantas untuk menjadi alih waris sehingga konflik dapat dihindarkan.
Tetapi tak jarang pula terjadi pertikaian yang harus diselesaikan di atas ‘Meja Hijau’ (Pengadilan Negeri). Misalnya
pada tahun 2007, terjadi sengketa tanah ulayat di dalam masyarakat Kampung Doka,
khususnya antar anggota (ana woe) Woe Tipo. Akar masalahnya adalah ‘penyerobotan
tanah’ yang dilakukan oleh anggota Sa’o
Longa Sabe terhadap tanah ulayat milik Sa’o
Suri Molo. Kedua sa’o ini adalah koalisi rumah adat yang
menopang Woe Tipo. Pada awalnya para
anggota Sa’o Longa Sabe mengklaim
tanah yang disengketakan adalah milik mereka, tetapi sebenarnya tanah itu
adalah milik anggota Sa’o Suri Molo.
Musyawarah di dalam woe, tidak
sanggup menyelesaikan persoalan. Hal ini terjadi karena para anggota Sa’o Longa Sabe tidak mau menaati
pembagian yang sudah ada dan sesuai dengan norma yang seharusnya. Mereka
akhirnya menyeret masalah ini ke atas meja hijau dan dengan segala upaya,
akhirnya mereka memenangkannya.[63] Inilah salah satu
keprihatinan penulis dalam usaha mengkaji makna kekerabatan woe sebagai sebuah komunitas hukum adat
di dalam masyarakat Kampung Doka.
4.2 Makna Kekerabatan Berdasarkan Ideologi ‘Darah Sejati’
Di dalam proses
memahami kekerabatan berdasarkan ideologi “darah sejati,” penulis mengalami
kesulitan untuk memahami kekerabatan yang satu ini. Dari beberapa pandangan
para informan dan juga sumber pustaka yang digunakan penulis untuk memperkaya
penulisan ini, penulis melihat bahwa ada perbedaan pendapat, khususnya di dalam
sumber pustaka yang digunakan. Menurut Watu Yohanes Vianey, kekerabatan ini dilihat sebagai pengaruh Budaya Austronesia untuk menata
model pewarisan keturunan darah berdasarkan urutan kelahiran. Beliau melihat
klasifikasi ini berdasarkan hubungan kakak-adik. Artinya, ga’e dilihat sebagai anak sulung,
kisa dilihat sebagai anak tengah dan azi
ana dilihat sebagai anak bungsu. Hal ini berbeda dengan pendapat Paul Arndt
dan Dominikus Rato. Mereka berdua melihat kekerabatan ini sebagai sebagai
pengaruh budaya Hinduisme. Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan
bahwa nenek moyang orang Ngadhu pada umumnya berasal dari daerah India Timur
Laut, yakni ‘Magadha,’ yang menganut budaya Hindu, di mana mengenal dan
menerapkan sistem kasta di dalam masyarakat. Pendapat ini dilihat oleh Watu
Yohanes Vianey sebagai masyarakat bentukan Kolonial Belanda, di mana ketika
mereka ingin memecah belah kesatuan di dalam masyarakat Ngadhu, mereka
membentuk sebuah kerajaan (bentukan Belanda) dan orang yang diangkat menjadi
raja dilihat sebagai orang bangsawan (ga’e
meze) dan kelompok anak bungsu dikelompokkan sebagai kaum budak (ho’o atau azi ana). Dengan demikian, keluhuran model penataan pewarisan
keturunan darah yang original di dalam masyarakat adat Ngadhu mengalami pergeseran
secara besar-besaran karena di sana ada kesenjangan yang besar di antara ketiga
golongan tersebut.
Sekalipun demikian, penulis mencoba
melihat dan menemukan makna yang terkandung di dalam kekerabatan ini. Ada tiga
makna yang akan diutarakan penulis, yakni makna persaudaraan, makna sosialitas
dan historis
sosial kemasyarakatan.
4.2.1 Makna Persaudaraan
Makna persaudaraan yang diangkat oleh penulis, didasarkan pada
pandangan Watu Yohanes Vianey, yakni kekerabatan yang didasarkan pada
urutan kelahiran. Model penataan yang demikian ditafsirkan Watu Yohanes Vianey
sebagai bagian dari pengaruh Budaya Austronesia untuk menata model pewarisan
keturunan darah.[64]
Dengan
mengikuti pendapat yang pertama maka di sana penulis menemukan sebuah bentuk
komunitas yang bernuansa persaudaraan. Artinya, ga’e, kisa dan azi adalah
sebuah urutan kelahiran yang melambang persaudaraan. Makna kekerabatan terasa
hangat di dalamnya karena di dalamnya ada kesetaraan derajad, tak ada pemisahan
yang dibangun. Kekerabatan yang demikian menawarkan sebuah konsep egalitarian
dan fraternitas. Antara ketiga kelompok ini terjalin sebuah hubungan yang
saling terkait satu sama lain dengan semangat anti diskriminasi karena
diyakinkan oleh sebuah pemahaman tentang asal-usul mereka, yakni dari satu
rahim yang sama (mogo seone). Dengan
demikian ini mencerminkan ‘umat adat’ dalam religi tradisional, di mana setiap orang
bersatu atas kesadaran kesamaan ‘tiang korban’ (ngadhu), ‘rumah korban’ (bhaga)
dan ‘kebuan ritual’ (uma moni). Di
dalam pemahaman yang demikian, tidak ada lagi bentuk pemisahan atau
ketaksetaraan di antara tiga kelompok ini. Sekalipun di dalam sa’o mereka menempati ruang yang berbeda
tetapi mereka tetap berada pada rumah yang sama.
4.2.2
Makna Moralitas
Moral berasal
dari bahasa Latin, mores: tata cara,
kebiasaan, adat-istiadat di dalam sebuah masyarakat. Secara sederhana moral
diartikan sebagai norma yang memuat hak dan kewajiban, termasuk di dalamnya
tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dan
sekelompok orang di dalam relasinya dengan sesama di dalam kehidupan bermasyarakat.[65]
Mengikuti pendapat Watu Yohanes Vianey, moralitas
masyarakat adat Kampung Doka juga adalah moralitas berbasis rumah, yaitu Sa’o Ngaza. Sa’o Ngaza tidak hanya diartikan sebagai bangunan tempat tinggal,
tetapi juga unit sosial kecil.[66]
Dalam Filsafat Pata Dela, dituturkan
bagaimana status persona ‘aku’ (ja’o)
disebut ‘aku yang bermoral.’ Berikut cuplikan Pata Dela dan makna yang terkandung di dalamnya, yang dikutip
penulis dari desertasi Watu Yohanes Vianey:
Ja’o da ga’e Aku
yang sejati
Mo’e Ratu Ka’e Seperti
Ratu Ka’e
Ja’o da kega Aku
yang setia
Moe Ila Wolo Seperti
Ila Wolo
Mali ja’o da molo Kalau
aku berada dalam kebenaran
Bhodha di’i dhu dolo Kebahagiaanku akan
tinggal menetap selamanya
Mali ja’o da sala Kalau
aku berada dalam kesalahan
Bhodha we nama we raka Cepat atau
lambat (aku) akan mengalami penderitaan
Bait pertama Pata Dela mengatakan tentang ‘aku’ yang baik adalah ‘aku’ yang
mengahayati nilai ‘kesejatian’ (ga’e)
dan nilai ‘kesetiaan’ (kega). ‘Kesejatian’
itu adalah ‘kesejatian’ Ratu Ka’e
yang dalam konteks Budaya Austronesia, istilah ratu tersebut menunjuk pada bobot manusia ‘pemimpin yang luhur.’
‘Kesetian’ itu merujuk pada Ila Wolo,
yaitu terang bagi sesama dan ‘dunia.’ Ini menunjukkan bahwa ‘aku’ yang bermoral
adalah ‘aku’ yang dalam relasi sosial menghayati personalitas keakuan-ku dengan
berperilaku sebagai pemimpin bagi diriku sendiri, yang dapat mengendalikan diri
dari berbagai kecenderungan jahat (wera)
dan dengan setia menjadi terang bagi sesama.
Bait
kedua secara khusus berbicara tentang konsekuensi dari perbuatan moral dan a moral.
Jika melakukan perbuatan yang bermoral maka ‘aku’ akan mendapatkan kebahagiaan.
Sebaliknya, jika ‘aku’ melakukan perbuatan a moral maka ‘aku,’ cepat atau
lambat akan mendapatkan penderitaan.[67]
Dari kutipan Pata
Dela di atas, penulis melihat bahwa ada kaitannya dengan kekerabatan berdasarkan
ideologi ‘darah sejati.’
Orang
Ngadhu pada umumnya dan orang Doka pada khususnya, mengatur kehidupannya
berdasarkan ajaran pokok adat yang telah ditetapkan sejak dahulu dan
berlandaskan ‘Meko,’ yakni ‘terang
dari atas,’ yang menerangi seluruh aspek kehidupan manusia, yakni Allah,
penguasa langit dan bumi. Ajaran pokok kehidupan manusia itu, seperti yang
termuat di dalam Pata Dela di atas,
harus diikuti, ditaati dan dijalankan oleh manusia dan bila tidak diamalkan
maka akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Orang yang
mentaati dan menghayati serta mengamalkan ajaran itu, ia disebut orang yang
terpilih, orang yang bersih dan murni hatinya (da zaki bha’i) menurut ketetapan tata krama masyarakat adat. Orang
itu disebut ga’e.
Dengan
demikian, penulis melihat bahwa pengelompokan di dalam kekerabatan ini diukur
dari cara hidup dan sikap moral seseorang di tengah masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatannya yang sejalan dengan ajaran pokok
tadi, seperti yang terungkap dalam Pata
Dela di atas. Orang ga’e adalah
orang yang punya sikap hidup yang baik dan bermoral tinggi sehingga dia
disegani dan tentunya dia juga adalah orang yang bijak. Kekayaan tidak melulu
menjadi ukuran bagi seseorang untuk masuk dalam kelompok ga’e karena tidak semua orang di dalam masyarakat Kampung Doka yang
menjadi ga’e adalah orang yang punya
banyak harta. Hidup moral yang baik adalah ukurannya. Ia dapat menjadi imam
adat dalam praktik ritual karena ia sanggup menterjemahkan kehendak dari Yang
Ilahi, karena kehendak Yang Ilahi hanya dapat ditafsirkan oleh orang yang murni
hatinya. Ia juga dapat menjadi pemimpin karena ia memiliki moral hidup yang
baik sehingga menjadi teladan bagi yang lain.
Sedangkan
kelompok kisa adalah kumpulan
orang-orang ga’e yang sedikit ternoda
dan ‘pudar’ moralnya karena ketidaksanggupannya untuk menjaga moral hidup yang
baik. Ia digolongkan melakukan pelanggaran ringan. Dan kelompok azi ana atau ho’o adalah kumpulan orang-orang yang tidak bermoral. Mereka selalu
mengabaikan dan melalaikan ajaran pokok di dalam masyarakat adat. Akibat
perbuatan mereka yang tidak bermoral, mereka dipandang hina di dalam masyarakat
dan derajadnya semakin menurun bahkan disamakan dengan ho’o wena naja (nilainya sama dengan pelupu, tempat orang duduk dan
berjalan).
Dengan
demikian di dalam kehidupan bermasyarakat, tingkah laku dan sikap seorang
manusia sangat mempengaruhi pandangan dan perlakuan orang lain terhadap
dirinya. Jadi, kekerabatan ini berkaitan dengan moralitas hidup manusia.
4.2.3
Makna Historis Sosial Kemasyarakatan
Sejarah (history) adalah pencarian pengetahuan
dan kebenaran.[68]
Sejarah hanya dialami dan dibangun oleh manusia karena manusia adalah makhluk
yang berakal budi dan berkesadaran. Sejarah meliputi masa lampau untuk membantu
manusia dalam mengerjakan sesuatu pada masa sekarang dan dalam menghadapi masa
yang akan datang. Sebagai pencarian atas pengetahuan dan kebenaran, sejarah merupakan
penggambaran kritis atas seluruh kebenaran kejadian atau fakta pada masa
lampau. Sejarah selalu memuat makna dan arti di dalam sebuah kejadian atau
fakta. Dengan mengetahui sejarah, dapat dimengerti tentang keberadaan sesuatu
pada saat ini dan dapat diperkirakan tentang keberadaannya di masa yang akan
datang.
Kekerabatan berdasarkan
ideologi ‘darah sejati’ dapat dipahami sebagai sebuah hasil sejarah yang dibuat
leluhur pada masa lampau, sekaligus di dalamnya memuat sebuah kebenaran dan
ketetapan akan realitas pada saat ini, khususnya di dalam masyarakat Kampung
Doka. Makna historis dari kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ yang
akan disajikan penulis bersumber pada sebuah data wawancara Dominikus Rato
terhadap beberapa narasumber di dalam Kampung Doka, yang memiliki kapasitas
yang mumpuni untuk menjelaskan persoalan yang dikaji oleh penulis. Data ini
adalah sebuah hasil wawancara kepada Ebu Ngea Anu, Ebu Pajo Ghao, Nikolaus Ria,
Domi Losa, Ande Gaji dan Simon Ghari, di mana mereka semua adalah Dela Nua di dalam Kampung Doka.
Mereka mengisahkan
tentang sejarah asal-usul orang Doka. Diperkirakan nenek moyang orang Doka
berasal atau datang dari Srilangka (dalam bahasa lokal disebut Seylo). Kemudian mendirikan kerajaan di Pulau
Jawa (Jawa bagian pedalaman) yang bernama Kalingga (di Kampung Doka diwakili Woe Keli dan Genga).
Nenek
moyang orang Doka ini adalah pendatang pertama dan dari keturunan raja, maka
disebut ga’e meze (ga’e moe ratu ka’e, meze moe kega ila).
Sebagai pendatang pertama, maka mereka adalah tuan tanah (ga’e moe ratu ka’e), dan karena mereka adalah keturunan bangsawan,
maka mereka dihormati dan memegang kekuasaan politik, yakni menjadi ketua suku
(meze moe kega ila).
Ketika
terjadi perang saudara di Pulau Jawa, keturunan Kalingga (leluhur Woe Keli dan Genga) ini melarikan diri
ke daerah dibagian Timur. Dalam perjalanan ke Timur, golongan ini mendiami
pulau-pulau kecil di Sumba (golongan ga’e
di Pulau Sumba adalah Maramba dan Tau Kabisu. Sehingga ada kesamaan budaya
megalit dan rumah adat dengan masyarakat ngadhu-bhaga
di pulau Flores). Kini Woe Keli dan Genga
tersebar di berbagai kampung dengan bermacam-macam nama. Pemekaran ini
disebabkan oleh perjalanan panjang dari Pulau Jawa hingga Kampung Doka sekarang
ini.
Sejarah
leluhur ini disosialisasikan melalui mitologi dan folklore. Mitos itu adalah sesuatu yang benar dan benar bagi mereka
yang mempercayainya. Di lain pihak, mitos itu ditampik kebenarannya oleh pola
pikir Filsafat Yunani, khususnya pada masa Socrates yang membongkar kekuasaan
raja yang berasal dari Dewa Seuz. Akan tetapi, pada masyarakat yang berasal
dari luar Yunani masih mengandalkan mitos sebagai sumber kebenaran, sebab di
dalam mitos ada pesan yang hendak disampaikan, yaitu tentang kebaikan dan
kejahatan, keadilan dan kefasikan, kepahlawanan dan kelicikan.
Dalam
perjalanan waktu konsep kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’
memiliki makna yang terus dikembangkan dan dipertahankan. Kekerabatan ini dipandang
sebagai kebenaran dan wajib dipertahankan oleh masyarakat Kampung Doka dan
lembaga untuk mempertahakan kekerabatan ini adalah perkawinan.
Ga’e kisa
adalah mereka yang datangnya kemudian, yaitu ketika terjadi perang dengan
Portugal, orang-orang Melayu dari Utara melarikan diri ke Selatan, dan bertahan
di Makasar dan Bima. Ketika terjadi perang saudara di Bima sebagian dari mereka
melarikan diri ke daratan Flores dan bertahan di Manggarai dan Bagian Utara
Flores Tengah, yaitu Riung-Wangka. Kemudian mereka ini menyebar hingga ke selatan,
yaitu wilayah adat ngadhu-bhaga dan mulai
berbaur dengan masyarakat di sana melalui perkawinan.
Dalam
perjalanan waktu, para laki-laki dari pendatang pertama (golongan ga’e meze) kawin dengan wanita dari
golongan kedua, golongan ga’e kisa
(mereka yang datang kemudian). Kemudian dari perkawinan ini muncul anak yang
disebut ana pasa,[69]
mereka juga berhak atas tanah dan rumah adat di kalangan golongan ga’e meze. Dan, selanjutnya tetap
diterima sebagai anggota keluarga dan keturunan sah dari kelompok golongan ga’e meze.
Berkaitan
dengan golongan ho’o, ada dua
pandangan. Pertama, mereka juga disebut wena naja atau ho’o roro.
Mereka ini memang telah menjadi hamba sahaya dari golongan ga’e meze, yaitu mereka
yang menjadi hamba sahaya yang dibawa sejak dari Sri Langka hingga dalam perjalanan
ke Pulau Jawa dan hingga tiba di Kampung Doka. Mereka ini diperoleh melalui ‘jual-beli’
pada zaman dahulu, entah memang dari sana sudah menjadi budak belian atau hasil
perburuan manusia. Kemungkinan lainnya adalah karena kalah judi dan dijual oleh
orang tuanya. Kedua, mereka juga disebut Denu
Reba. Golongan ini adalah mereka yang kalah dalam perang dan dijadikan
hamba sahaya. Mereka ini juga pernah dari golongan atas, bangsawan (ga’e meze) atau golongan tengah (ga’e kisa).
Dengan
meneliti historisitas ini, maka kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’
di dalam masyarakat Kampung Doka, dapat dipahami, dijelaskan dan dihubungkan
dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat adat Kampung Doka. Cerita ini
diturunkan turun-temurun dan dianggap sebagai sebuah kebenaran yang patut
diterima. Konsekuansi dari keberadaan kekerabatan ini adalah dalam praktik
ritual adat, doa-doa hanya dilantunkan oleh golongan ga’e meze.[70]
Selain itu pula, hanya golongan dari ga’e
meze yang berhak memberi dan membawa
korban persembahan pada perayaan ritual adat. Di
dalam masyarakat Kampung Doka, hal ini terlihat jelas pada Woe Keli dan Genga. Kedua woe
adalah keturunan ga’e dan mereka
adalah pemegang gua pana, yaitu adat
untuk menentukan kapan terjadinya Reba
di dalam Kampung Doka dan hanya mereka yang mempunyai wewenang untuk itu.
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa pengelompokan
masyarakat Kampung Doka ke dalam tiga kelompok, gae, kisa dan azi ana
didasarkan pada sebuah sejarah masa lampau dan masih dipertahankan hingga kini.
Sejarah ini adalah pengetahuan dan sumber kebenaran sehingga dipatuhi dan
dijalankan oleh masyarakat Kampung Doka.
4.3 Makna Kekerabatan Berdasarkan Perkawinan
Salah satu masa peralihan terpenting dalam kehidupan manusia
adalah peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa dan berkeluarga yang
ditandai dengan perkawinan. Perkawinan merupakan sebuah unsur terpenting yang
ditemukan di dalam setiap lapisan kehidupan sosial masyarakat budaya.[71] Perkawinan merupakan
sebuah hal yang sangat diperhatikan di dalam masyarakat adat. Perkawinan
mendapat perhatian yang cukup serius karena perkawinan merupakan salah satu
sumbu perkembangan masyarakat. Melalui perkawinan, kestabilan anggota sebuah
masyarakat dapat terjamin keberlangsungannya.
Perkawinan juga merupakan hal yang sangat diperhatikan di
dalam masyarakat adat Kampung Doka. Bagi masyarakat adat Kampung Doka, proses
perkawinan adalah sesuatu yang perlu diperhatikan secara baik oleh masyarakat,
khususnya orang tua yang memiliki anak dan kaum muda yang akan dikawinkan.
Mengapa? Karena perkawinan memuat makna yang sangat dalam bagi perkembangan
sosial-adat masyarakat Kampung Doka dan perkawinan itu harus dijalankan seturut
norma dan nilai yang dihayati serta berlaku di dalam masyarakat Kampung Doka.
Dalam uraian berikut, penulis akan memaparkan dua makna,
yakni makna moralitas dan kesucian yang ditemukan oleh penulis di dalam sistem
kekerabatan berdasarkan perkawinan.
4.3.1 Makna Normatif
Perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat Kampung Doka harus
sesuai dengan norma dan nilai budaya yang telah diwariskan leluhur. Ini
menunjukkan bahwa perkawinan itu harus mengusung makna normatif, artinya
berlaku sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan leluhur, dihidupi karena dianggap
bernilai. Perkawinan berkaitan juga dengan tingkah laku manusia, artinya
seorang pria ketika akan mencari jodohnya, harus sesuai dengan norma yang
berlaku sehingga ia dikatakan orang yang bermoral. Norma perkawinan yang
berlaku di dalam masyarakat Kampung Doka adalah tuka
ghi bonu pida, artinya ‘sederajat.’
Istilah tuka ghi yang artinya sama derajatnya,
merujuk pada keharusan seorang wanita harus mencari pria yang berasal golongan
yang sama sebagai suaminya. Perkawinan juga berkaitan dengan status sosial
seseorang di dalam masyarakat berdasarkan ideologi ‘darah sejati.’ Misalnya,
wanita ga’e harus memiliki suami dari
ga’e juga. Dia tidak boleh mengambil
suami dari kelompok kisa atau azi ana. Tetapi, pria dari kelompok ga’e bisa mengambil wanita dari kelompok
kisa atau azi ana. Begitu juga wanita dari kelompok kisa tidak bisa mengambil pria dari kelompok azi ana. Pelanggaran terhadap perkawinan berdasarkan norma tuka ghi adalah la’a sala (‘jalan salah’).
Pada saat ini,
perkawinan yang demikian dipandang sebagai sesuatu yang tidak manusiawi. Namun,
ini adalah norma yang berlaku di dalam masyarakat Kampung Doka. Norma ini
sebenarnya bertujuan untuk menghindarkan para kaum muda dari pergaulan bebas. Selain
itu pula, norma ini ditujukan untuk menjaga kemurnian rank dan keturunannya. Karena
dalam pandangan orang Doka, seseorang yang punya hidup moral yang baik tidaklah
mungkin bersatu dengan orang yang hidup moralnya buruk, kebaikan tidak mungkin
bersatu dengan kejahatan, ini akan merusak kewibawaan kelompok yang disegani
karena hidup moral yang baik. Norma ini tertuang dalam ungkapan adat: “ghiri tuka ghi, ngira bonu pida, lobo wi
papa tozo, tara wi papa dhaga”, artinya “mencari jodoh sesuai dengan status
dan tingkatan, agar ujung saling berdekatan dan ranting saling berkaitan.” Masyarakat
Kampung Doka pada umumnya melarang perkawinan yang demikian karena dianggap
tabu karena dianggap perkawinan inses. Perkawinan inses tidak hanya menyangkut
perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang sangat dekat,
tetapi juga berkaitan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat dan sejak
dahulu dijunjung tinggi dan bernilai.[72]
4.3.2 Makna Kesucian
Perkawinan
dengan segala prosesnya adalah peristiwa peralihan dari satu fase hidup ke
dalam suatu fase hidup yang lain, yakni dari fase hidup remaja ke fase hidup orang
dewasa. Perkawinan juga adalah sebuah langkah penting dalam proses
pengintegrasian manusia dalam tata alam sakral yang harus memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh tradisi untuk masuk tata alam tersebut.[73]
Dalam upacara perkawinan dihadirkan kembali perkawinan asasi pada zaman purba
yang seringkali dilukiskan lewat dua pribadi, Dewa dan Dewi, sepasang nenek
moyang, yang mana dalam keyakinan orang Doka termuat dalam ikon adat, yakni ngadhu dan bhaga. Di dalam perkawinan terkandung makna kesucian. Kesucian yang
dimaksudkan penulis adalah berkaitan dengan kelayakan seorang wanita dan pria
untuk disatukan dalam sebuah ikatan perkawinan, yakni kemurnian (keperawanan
dan keperjakaan).
Kesucian
setiap pribadi yang akan melangsungkan perkawinan berkaitan dengan kemurnian,
kebersihan diri dari si pria dan wanita. Kebersihan itu tidak hanya menyangkut
kesehatan atau kebersihan secara fisik, tetapi yang paling utama adalah
kebersihan diri secara total, jiwa dan raga. Demi mencapai kebersihan itu, maka
diharuskan mengikuti beberapa upacara inisiasi budaya yang bertujuan untuk
mendewasakan pria dan wanita. Upacara itu telah dimulai sejak seorang anak
dilahirkan dan dilakukan secara bertahap hingga seorang anak itu mencapai
kedewasaan dan siap untuk dikawinkan.[74] Upacara itu antara lain: poro puse (‘ritual pemotongan tali pusar seorang bayi’), tame ngaza (‘ritual pemberian nama’), gue luke atau lu zaki (‘ritual pembersihan diri yang bertujuan untuk menghapus
dosa’), koi fu (‘ritual pemotongan
rambut’). Ini adalah ritual inisiasi yang dijalankan oleh seorang bayi hingga
masa kanak-kanak.
Ketika
memasuki remaja, seorang wanita diwajibkan untuk menjalankan ritual ruki kusu bue (‘pingit padi muda’),
yakni seorang anak gadis harus dipingit selama 7 hari (minimal 3 hari). Pada
saat ini, ritus ini hanya terdapat di dalam wilayah adat Kampung Doka. Setelah
melakukan ruki, kaum wanita masih
lagi melakukan ritual yang lain, yakni ripa
ngi’i atau acara merapikan gigi. Merapikan gigi dimaksudkan agar gigi
menjadi rata dan hitam. Inti yang terkandung dalam ritual ripa ngi’i adalah simbolisasi seorang wanita boleh bebas bergaul
dengan manusia lain, baik laki-laki maupun perempuan. Apabila belum
melaksanakan ritual ini, ia masih belum dianggap dewasa karena masih di bawah
pengawasan orang tua. Pada waktu acara ritual, apabila gigi yang dirapikan
mengeluarkan darah maka hal ini menandakan bahwa wanita itu tidak perawan lagi.
Seorang wanita dikatakan masih perawan, apabila jika giginya dirapikan maka
tidak akan mengeluarkan darah.
Setelah
melewati ritual-tirual di atas, seorang anak muda, khususnya wanita, siap untuk
dikawinkan. Hal ini dimungkinkan karena ia telah suci dan bersih. Kesucian ini
lebih banyak dituntut kepada seorang wanita yang hendak menikah.
4.4 Refleksi Kritis
Refleksi kritis yang akan disajikan penulis adalah sebuah refleksi
tentang keberadaan tiga komunitas kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka
dalam kaitannya dengan pengaruh hegemoni ajaran Gereja Katolik Roma dewasa ini
di dalam kehidupan masyarakat adat Kampung Doka. Masyarakat Kampung Doka
seluruhnya menganut ajaran Geraja Katolik Roma. Realita ini cukup mempengaruhi
cara pandang serta pola perilaku masyarakat, khususnya terhadap tiga komunitas
kekerabatan di dalam masyarakat adat Kampung Doka. Di satu pihak, ada hal
positif yang muncul dari inkulturasi ajaran Gereja Katolik Roma ke dalam
praktek budaya pada masyarakat Kampung Doka, saling memperkaya. Tetapi di lain
pihak, terjadi pertentangan dalam beberapa hal prinsipil, yang mana ajaran
Gereja Katolik Roma berusaha menggugurkan beberapa praktik dan produk
kebudayaan yang tidak sejalan dengan doktrin Gereja Katolik Roma.
Dalam kaitannya dengan kekerabatan woe, pengaruh ajaran Gereja Katolik Roma cukup terasa. Hal ini
dapat dilihat dari penggambaran komunitas kekerabatan woe sebagai sebuah ‘gereja mini,’ dan anggota woe yang adalah ‘umat adat,’ dilihat sebagai umat Allah di dalam
sebuah komunitas gereja. Penggambaran yang demikian kiranya adalah cara yang
tepat dan jitu bagi Gereja Katolik Roma untuk diterima di dalam masyarakat Kampung
Doka. Selain itu pula, masyarakat adat dapat memahami tentang konsep Yang Ilahi
dalam ajaran Gereja Katolik Roma dengan menggunakan konsep Yang Ilahi dalam
tradisi religi agama etnik, yakni “Dewa
Zeta Nitu Zale.” Konsep Dewa sinonim
dengan Tuhan dan dikenal juga Riwu Dewa
yang dalam ajaran Gereja Katolik Roma merujuk pada santo-santa, orang kudus
yang senantiasa mendoakan manusia. Hal sama pula dipercaya bahwa Riwu Dewa adalah roh leluhur yang immortal, yang senantiasa menjaga
manusia. Hal ini ditegaskan pula dalam praktek ritual adat, di mana ada seorang
‘imam adat’ (Dela) yang secara
institusional mengemban empat fungsi,
yakni: (1). Memimpin rapat dan memberikan petuah dan ajaran yang berkaitan
dengan penyelenggaraan ritual. (2). Pembawa korban sembelihan, korban bakaran
dan korban persembahan kepada Yang Ilahi, sebagai pengantara antara Yang Ilahi
dengan yang insani. (3). Menafsirkan kehendak Yang Ilahi dan mewartakannya
kepada umat. Dan (4). Dalam nama yang Ilahi memberkati umat, melalui tanda dan
sarana religius yang berlaku. Gambaran yang demikian merujuk pada sosok imam
sebagai Alter Christus di dalam
kehidupan Gereja Katolik Roma, yang hadir mewakili Kristus sebagai Kepala
Gereja Kudus, mewartakan Sabda Allah dan memberkati umat Allah dalam nama Allah.
Dengan demikian, kekerabatan woe sebagai
sebuah ‘gereja mini’ dapat dipahami.
Berkaitan
dengan kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati,’ ajaran Gereja Katolik
Roma dengan tegas menolak dan menggugurkan sistem stratifikasi sosial di dalam
masyarakat adat Kampung Doka. Kekerabatan ini dianggap tidak manusiawi karena
merendahkan martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang mulia dan sempurna. Dalam
pandangan ajaran Gereja Katolik Roma pula, manusia dilihat sebagai makhluk yang
sama derajadnya dengan manusia yang lain. Hal ini memang belum mendapat respon
yang positif dari sebagian masyarakat Kampung Doka yang masih hidup dalam
hegemoni indoktrinisasi turun-temurun, khususnya para generasi tua. Namun, di
dalam kehidupan sehari-hari penggolongan yang demikian tidak tampak. Bahkan ada
orang dari golongan kisa atau azi ana yang sangat dihormati berkat
prestasinya atau teladan hidupnya yang baik. Di samping itu pula, kewibawaan
golongan ga’e juga kian memudar
seiring dengan semangat zaman yang terus menggemakan kesetaraan dan juga karena
sikap dan tingkah laku kaum ga’e yang
dianggap buruk di dalam kehidupan sosial.
Dalam kekerabatan berdasarkan perkawinan, Gereja Katolik Roma
sangat memperhatikan kemurnian setiap pasangan yang akan menerima sakramen
perkawinan. Perkawinan sebagai ungkapan cinta mesra antara suami-isteri dalam
terang cinta mesra antara Kristus dengan gereja, diharuskan untuk bebas dari
segala kemungkinan yang dapat menodai kesucian sakramen perkawinan itu sendiri.
Misalnya, antara pasangan yang akan menikah, belum pernah terikat perkawinan
sebelumnya kecuali satu di antaranya meninggal. Untuk itu, Gereja Katolik selalu
melaksanakan penyelidikan kanonik, salah satunya dengan menuntut adanya status liber, yang menyatakan keabsahan pasangan dalam statusnya yang
‘masih bebas’ sehingga berhak untuk menerima sakramen perkawinan. Peraturan
yang demikian juga terdapat dalam budaya masyarakat Kampung Doka, yakni adanya
ritual inisiasi bagi seorang remaja yang hendak menikah, yakni ruki kusu bu’e dan ripa ngi’i. Ritual ini ditujukan untuk mengetahui kemurnian
seseorang untuk hidup dalam persekutuan yang diikat oleh lembaga perkawinan. Di
dalam ritual itu, kemurnian diukur dari kesuksesan ritual itu. Misalnya dalam
ritus ruki kusu bu’e, apabila bere (tempat sirih khas wanita Ngadhu)
robek maka dia dikatakan ‘tidak lagi murni’ (tidak lagi perawan) dan dalam
ritual ripa ngi’i, apabila ketika gigi
dirapikan dan mengeluarkan darah maka dia dianggap telah ternoda. Dengan
demikian, dua institusi, yakni adat dan agama, mempunyai cara yang berbeda
dalam mempersiapkan seseorang untuk masuk dalam ikatan perkawinan. Artinya,
kedua institusi ini sangat memperhatikan kemurnian seseorang yang akan menikah.
Selain itu pula, kehadiran ajaran Gereja Katolik Roma mencoba
mengubah pola perilaku masyarakat budaya Kampung Doka yang salah, yakni
berkaitan dengan poligami. Dalam ajaran Gereja Katolik Roma, ditegaskan bahwa
perkawinan katolik bersifat monogami, satu dan tak terceraikan,
persatuan yang tak terpisahkan, “moe go
wea da lala dape” (‘seperti emas yang melebur dan melengket’). Ungkapan ini
merujuk bahwa perkawinan adalah sebuah persatuan yang tidak dapat dipisahkan,
persatuan antara dua insan manusia yang saling mencintai. Ungkapan di atas,
diteguhkan lagi dengan ungkapan: “go fai
haki rake moe go wea da lala dhape” (‘suami-isteri yang menyatu seperti
emas yang dilebur dan saling melengket’).
Dengan
demikian, sistem poligami ditolak. Namun dalam kenyataan bahwa pada zaman
dahulu, masyarakat Kampung Doka telah menghalalkan praktek poligami. Selain itu
pula, konsep tak terceraikan terbentur dengan realitas di dalam kehidupan
masyarakat Kampung Doka di mana adanya praktek ‘waja,’ yakni memberikan sejumlah hewan dan barang sebagai bentuk
talak. Dalam kasus tertentu, Gereja Katolik Roma sebagai institusi keagamaan,
menolak untuk memberikan sakramen perkawinan bagi mereka yang terbelit dalam
praktek ‘waja.’
Gereja Katolik Roma juga menolak norma tuka ghi bonu pida. Hal ini bertolak dari doktrin tentang
kesetaraan antara pria dan wanita. Gereja Katolik Roma secara meyakinkan
merestui perkawinan yang melanggar norma di atas asalkan memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma. Namun di lain pihak, suami-isteri yang
melakukan la’a sala dalam kehidupan
adat, tetap menerima sanksi secara adat, yakni ‘diusir’ dari rumah (sa’o), khususnya wanita. Hak dan
kewajibannya di dalam rumah (sa’o) dihapuskan.
Inilah refleksi kritis penulis
mengenai keberadaan komunitas kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka
dalam perjumpaannya dengan ajaran Gereja Katolik Roma. Di satu pihak penulis
melihat bahwa adanya inkulturasi yang konstruktif, tetapi di lain pihak ada
beberapa hal prinsipil yang masih terbentur, seperti: norma tuka ghi bonu pida, sistem stratifikasi
sosial, praktek poligami. Penulis sebagai seorang calon imam, sangat mendukung
adanya inkulturasi dengan Gereja Katolik Roma dan mendukung ajaran Gereja
Katolik Roma yang menentang beberapa praktek adat yang tidak sejalan dengan
ajaran gereja.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Keseluruhan analisis dan refleksi filosofis
terhadap sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata,
dapat disimpulkan secara kognitif dalam empat butir berikut:
Pertama.
Sistem kekerabatan lahir dari sebuah kebutuhan dasariah setiap manusia, yakni
kebutuhan akan kehadiran yang lain. Setiap manusia membutuhkan manusia yang
lain demi mempertahankan keberadaannya sekaligus untuk memenuhi kebutuhan yang
tidak dapat dipenuhinya sendiri. Kebutuhan dasariah ini tanpa disadari telah
melahirkan sebuah masyarakat, awal kehadiran sebuah populasi manusia.
Individu-individu yang saling membutuhkan untuk saling melengkapi itu, akhirnya
membentuk masyarakat. Kehadiran masyarakat membawa konsekuensi pada
terbentuknya berbagai macam sistem sosial yang meneguhkan kehidupan sosial.
Kedua.
Sistem kekerabatan di dalam masyarakat Kampung Doka adalah sistem kekerabatan
yang unik. Keunikan itu terletak pada basis dari kekerabatan, yaitu adat. Komunitas
kekerabatan di dalam Kampung Doka didasarkan pada kesamaan leluhur yang dalam
sistem simbolnya, terdapat dalam ikon-ikon adat, seperti: “tiang korban” (ngadhu), “rumah korban” (bhaga) dan “kebun korban” (uma moni). Kekerabatan yang demikian di
dalam masyarakat Kampung Doka disebut kekerabatan woe (klan), kekerabatan berbasiskan rumah (sa’o). Selain kekerabatan woe,
masyarakat Kampung Doka juga mengenal kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah
sejati.’ Kekerabatan ini merujuk pada
status sosial yang disandang oleh seseorang di dalam masyarakat adat Kampung
Doka. Anggota masyarakat dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni gae, kisa
dan azi ana, di mana ketiganya
mempunyai peranannya masing-masing di dalam masyarakat adat. Sekalipun
demikian, di dalam kehidupan adat ketiga kelompok ini mengusung unsur persaudaraan
dan kebersamaan, communio. Selain dua
komunitas kekerabatan di atas, pada masyarakat Kampung Doka juga terdapat kekerabatan berdasarkan perkawinan.
Perkawinan dalam masyarakat Kampung Doka memainkan peranan yang sangat penting
bagi perkembangan masyarakat. Melalui perkawinan, kelangsungan kekerabatan woe terus berlangsung dan dari
perkawinan, seseorang memperoleh status sosialnya di dalam kekerabatan
berdasarkan ideologi ‘darah sejati.’
Ketiga.
Ketiga bentuk kekerabatan yang telah disebutkan di atas, bukanlah sebuah
kekerabatan yang terbentuk begitu saja, tetapi berpijak pada sesuatu yang
hakiki, yang diterima kebenarannya dan dihayati masyarakat adat Kampung Doka.
Dasar pijak kekerabatan woe
adalah kesadaran akan kesamaan leluhur dan mitos yang sama.
Kekerabatan woe juga disatukan dalam
simbol adat, yakni anaie, meri-peo,
ngadhu-bhaga dan sa’o dan juga
oleh sejarah sosial kemasyarakatan dan berdasarkan hubungan genealogis.
Sedangkan sistem kekerabatan berdasarkan
ideologi ‘darah sejati,’ didasarkan pada kepercayaan pada mitos yang sama, mitos Dala
Ko Ne Wawi Toro. Kekerabatan ini juga berpijak pada urutan
kelahiran. Dan kekerabatan
berdasarkan perkawinan didasarkan pada norma tuka ghi bonu pida (sederajat) dan telah melewati masa inisiasi.
Keempat,
kekerabatan
di dalam masyarakat Kampung Doka memuat makna yang mendalam. Kedalaman makna
tersebut terletak pada penghayatannya dan pengamalannya. Kekerabatan woe memuat makna persatuan, makna sosial, makna religius dan
makna yuridis. Sedangkan kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ memuat
makna persaudaraan. Selain itu, kekerabatan ini mengandung makna sosial
dan historis. Dan kekerabatan berdasarkan perkawinan
mengandung makna moralitas dan makna kesucian.
Kelima, di dalam kenyataan
terlihat bahwa terjadi ‘persentuhan’ antara komunitas adat Kampung Doka dengan
ajaran Gereja Katolik Roma. Di satu pihak adanya inkulturasi yang konstruktif,
tetapi di lain pihak masih ada beberapa hal prinsipil yang masih terbentur,
seperti yang diutarakan penulis dalam refleksi kritis.
5.2 Saran
Kajian budaya yang disajikan penulis ini membantu penulis dan para
pembaca, pemilik kebudayaan, untuk kembali melihat dan mengkaji nilai
kebudayaan lokal sebagai basis. Penulis secara khusus ingin mengangkat kembali
citra dari arti, dasar dan makna dari kekerabatan di dalam masyarakat adat Kampung
Doka.
Melalui kajian budaya ini, penulis
menyarankan agar kepada setiap generasi muda dan para pemilik budaya lokal,
untuk dengan setia mencoba mengkaji nilai-nilai kebudayaan lainnya yang belum
sempat dikaji oleh penulis, khususnya dalam kebudayaan Ngadhu. Melalui
penulisan ini pula, penulis berharap dapat membantu para pembaca, pemilik
kebudayaan dan para generasi muda dalam menambah wawasan mengenai kebudayaan
lokal.
Melalui kajian budaya ini pula,
penulis mengharapkan agar nilai-nilai budaya dalam kekerabatan di dalam
masyarakat Kampung Doka yang tidak sejalan lagi dengan semangat zaman, khususnya
berkaitan ‘gender’ dapat diperbaharui agar budaya itu menjadi budaya yang
humanis.
Akhirnya, dari kedalaman hati,
penulis menyarankan agar para pembaca, pemilik budaya dan generasi muda, dapat
mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam kekerabatan dan dari sana
dapat disosialisasikan ke tengah masyarakat agar semakin hari, kehidupan kita
semakin berarti.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Kamus
Poerwadarminta,
W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976
2. Buku-Buku
Arndt, Paul, SVD, Agama
Orang Ngadha: Kultus, Pesta Dan Persembahan (Vol. II), Maumere:
Candraditya, 2007
_______________, Masyarakat
Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum Adat, Ende: Nusa
Indah, 2009
_______________,
Hinduisme
Der Ngadha, Maumere: Candraditya, 1958
Eriksen, Thomas Hylland, Antropologi
Sosial Dan Budaya; Sebuah Pengantar, Maumere: Ledalero, 2009
Evans-Pritchard, E.E., The
Nuer, England: Clarendon Press, 1940
Fedyani Saifuddin, Achmad, Ph. D, Antropologi
Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006
Fischer, Th. H., Pengantar
Antropologi Budaya Indonesia, Jakarta: Pustaka Sarjana, 1980
Fromm, Erich, Masyarakat Bebas Agresivitas,
Maumere: Ledalero, 2004
Graffin, David Ray and Donald W.
Sherburne (Ed), Alfred Northh Whithead: Process and Reality, New York: The Free
Press, 1978
Herskovits, Melville J.,
Man
And His Works. New York: Alfred A. Knopf, 1952
Keesing, Roger M., Antropologi
Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer (Edisi II), Jakarta: Penerbit Erlangga,
1992
Koentjaraningrat, Prof. Dr., Manusia
Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta: Djembatan, 2007
Narwoko, Dwi dan Bagong Suyanto (Ed), Sosiologi:
Teks Dan Pengantar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004
Poespowardojo, Soerjanto, Startegi Kebudayaan: Suatu
Pendekatan Filosofis, Jakarta: Gramedia, 1989
Pujileksono, Sugeng, Pengantar
Antropologi, Malang: UMM Press, 2006
Rachmat, Subagya, Agama
Dan Alam Kerohanian Asli Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1979
Rato, Dominikus, Dr. SH., M. Si., Hukum
Dalam Perspektif Konstruksi Sosial: Kasus Ngada-Flores, NTT, Jember:
LaksBang Mediatama, 2008
Saku, Dominikus, Dr. Pr,
Menyimak
Makna Sejarah, Jakarta: PT. Binamitra Megawarna, 2007
Soyomukti, Nurani, Pengantar
Sosiologi, Yogyakarta: AR-RUSS MEDIA, 2010
Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto
(Ed), Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005
Tua Demu, Yoseph, BA, Budaya
Ngadha Dalam Proses Pembangunan Masyarakat Dan Gereja, Surabaya: Agape
73 Printing, 1996
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar
Dan Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995
3. Karya-Karya Yang Tidak Diterbitkan
Longa,
Lukas, “Relevansi Upacara Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam
Proses Pendewasaan Gadis Remaja” (Skripsi), Maumere: STFK Ledalero,
1996
Vianey,
Watu Yohanes, “Representasi Ciptaan
Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di Kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Denpasar: Universitas
Udayana, 2008
Wula,
Felista, “Makna Ritus Ruki Kusu Bu’e Bagi Masyarakat Desa Radabata, Kecamatan Golewa,Kabupaten
Ngada (Skripsi), Ende: Sekolah Tinggi Ilmu Pembangunan Santa Ursula,
2010
4. Pustaka Net
5. Data Informan
Bpk. Prof. Dr. Dominikus
Rato, S.H.,M.Si (55 Tahun)
TTL : Doka, 5 Januari 1975
Pekerjaan : Dosen
Alamat : Jember,
Jawa Timur
Pendidikan Terakhir :
S-3
Bpk. Benediktus Kadha (64 tahun)
TTL : Doka, 15 Maret 1948
Pekerjaan : Petani
Alamat : Kampung
Doka, Desa Radabata, Kec. Golewa, Kab. Ngada
Pendidikan
Terakhir : SR (Sekolah Rakyat)
3 Bpk. Dominikus Sua (67 Tahun)
TTL :
Doka, 10 November 1945
Pekerjaan :
Petani
Alamat : Kampung
Doka, Desa Radabata, Kec. Golewa, Kab. Ngada
Pendidikan Terakhir : SR (Sekolah Rakyat)
4
Oma Evliana Jedhe (75 Tahun)
TTL : Doka, 31 Desember 1937
Pekerjaan : Petani
Alamat : Kampung
Doka, Desa Radabata, Kec. Golewa, Kab. Ngada
Pendidikan Terakhir : SR (Sekolah Rakyat)
Bpk. Stevanus Nou (42 Tahun)
TTL :
Doka, 25 Desember 1970
Pekerjaan :
Guru-PNS
Alamat :
Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur.
Pendidikan Terakhir : SPG
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap :
Florianus Hengki Rato
Tempat/ Tanggal Lahir :
Waingapu, 4 Mei 1989
Nama Ayah : Andreas Padha
Nama Ibu :
Yuliana Finu
Status Dalam Keluarga :
Anak Tunggal
Riwayat Pendidikan :
v TK : TKK Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur
v SD : SDK Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur
v SMP : SMPK Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans
Todabelu, Mataloko, Ngada
v SMA : SMAK Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans
Todabelu, Mataloko, Ngada
v PT : Fakultas Filsafat Agama, Universitas
Katolik Widya Mandira, Kupang, NTT
[1] Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D, Antropologi
Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.
203
[2] Thomas Hylland Eriksen, Antropologi
Sosial Dan Budaya; Sebuah Pengantar, (Maumere: Ledalero, 2009), hlm.
160
[3] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), (Denpasar: Universitas Udayana, 2008), hlm. 304
[4] Dr.
Dominikus Rato, SH.,M. Si, Hukum Dalam Perspektif Konstruksi Sosial;
Kasus Ngada-Flores, NTT, (Jember: LaksBang Mediatama, 2008), hlm. 55
[5] Anaie adalah ikon adat yang menjadi simbol dari leluhur pertama
yang menghadirkan manusia ke bumi Anaie
adalah simbol kehadiran ‘Oba-Nanga; Ghe dan Ghena.’ Anaie menurunkan meri, simbol leluhur wanita (keka lela) dan peo, simbol leluhur laki-laki. Meri
menurunkan bhaga (‘rumah korban,’
simbol leluhur wanita), sedangkan peo menurunkan ngadhu (‘tiang korban,’ simbol leluhur
laki-laki). Bhaga menurunkan sa’o peka pu’u (‘rumah awal’) dan Ngadhu menurunkan sa’o peka lobo (‘rumah akhir’), yang selanjutnya menurunkan manusia.
[6] Bpk. Dominikus Sua, wawancara 28 Februari 2012
[7] Lukas Longa, “Relevansi Upacara
Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam Proses Pendewasaan Gadis Remaja”
(Skripsi),
(Maumere: STFK Ledalero, 1996), hlm. 10
[8] Penduduk Kab. Ngada (sekarang)
terdiri dari 3 suku besar: So’a (asli),
ngadhu-bhaga dan Riung-Wangka. (Bpk. Dr. Dominikus Rato, Wawancara 5 Desember 2011)
[9] Lukas Longa, “Relevansi Upacara
Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam Proses Pendewasaan Gadis Remaja”
(Skripsi),
Op.
Cit., hlm. 19
[10] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 93
[11] Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si, Op.
Cit., hlm. 56
[13] Thomas Hylland Eriksen, Op.
Cit., hlm. 280
[14] P. Paul Arndt, SVD, “Hinduisme
Der Ngadha” (Maumere: Candraditya, 1958), pp. 99-102
[15] Lukas Longa, “Relevansi Upacara
Rusu Kusu Bue Pada Orang Radabata (Ngada) Dalam Proses Pendewasaan Gadis Remaja”
(Skripsi),
Op.
Cit., hlm. 13
[16] Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit.,
hlm.28
[17] Ata
Polo adalah manusia yang dianggap paling jahat. Ia dapat membunuh
orang dengan sekali ucap, pandang atau membatin. Ia pun dipercaya dapat memakan
daging manusia secara rohani. Orang sangat takut pada mereka ini karena cara
membunuh mereka yang sangat gaib itu, ngewa. Setiap orang tua
mengharapkan agar keturunan mereka tidak berjodoh dengan keturunan Ata Polo ini. Lawan dari Ata Polo
ini adalah Ata Rato. (Ibid., hlm. 282)
[18] Mitos ini berasal dari tuturan Ama Kae
Fua Ie (Alm.) yang dirangkum oleh Dominiku Rato dan diprensentasikan dalam
bukunya “Hukum Dalam Persepektif
Konstruksi Sosial: Kasus Ngada, Flores, NTT.” Oba dan Nanga adalah dua
saudara kembar. Mereka memiliki dua Saudari yang bernama Ne Ghe dan Ne Ghena. Oba dan Nanga (Me Oba dan Me Nanga. Kata me
merupakan kata depan dan merujuk pada laki-laki, berasal dari kata Ame yang artinya ayah) lebih tua. Kedua
adik mereka, yakni Ne Ghe dan Ne Ghena (kata Ne merupakan kata depan yang merujuk pada permpuan, berasal dari
kata Ine) juga adalah saudari kembar.
Sebetulnya, keempat saudara ini adalah saudara kembar, tetapi Oba dan Nanga dilahirkan lebih dahulu dalam waktu yang bersamaan sehingga
sulit menentukan siapa yang lahir terlebih dahulu. Pada waktu kelahiran mereka
terjadi keanehan, yakni Oba dan Nanga lahir dalam wujud air. Lama
kelamaan, wujud manusia Oba dan Nanga ini semakin membesar sehingga
terbentuklah air laut dan sungai (Oba:
laut dan Nanga: sungai). Sedangkan Ghe dan Ghena berubah wujud menjadi daratan. Orang tua mereka membuat batas
diantara mereka dengan batas tanaman nenas dan bakau. Laut dilarang melewati
nenas karena itu adalah daerah Nanga.
Laut juga dilarang melewati bakau karena itu adalah daerah Ghe dan Ghena. Ghe dan Ghena kemudian beranak pinak dengan mengisi semua makhluk yang ada
di darat. Ghe menguasai lembah dan Ghena menguasai gunung. Oba sendiri menurunkan semua makhluk di
air dan Nanga menurunkan semua
makhluk di air. Oleh karena itu, keturunan Ghe
dan Ghena yang menguasai tanah lebih
dominan dalam hal pewarisan terhadap tanah pertanian serta dalam hubungan
kekerabatan yang matrilineal. Oba dan
Nanga sebagai laki-laki lebih banyak
berada di luar rumah sehingga bagi mereka di rumah isteri adalah tamu, rajo dheke (Ibid.,hlm. 23-25)
[19] http://www.scribd.com/doc/72879026/jbptunikompp-gdl-intansuhan-22074-6-unikom-i-v: Diakses pada tanggal 28
Februari 2012, pukul 11: 30
[20] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976), hlm. 485
[21] Soerojo Wigjodipoero, Pengantar
Dan Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hlm. 10
[22] Roger M. Keesing, Antropologi
Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer
(Edisi II), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), hlm. 123
[24]Melville J. Herskovits, Man And His Works. (New York: Alfred
A. Knopf, 1952), pp. 239-309. Terjemahan T.O Ihromi (Ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981), hlm. 142-145
[25] Th.
H. Fischer, Pengantar Antropologi Budaya Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Sarjana, 1980), hlm. 81-82
[27] Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si, Loc.
Cit.,
[28] Oma Evliana
Jedhe, wawancara 20 november 2011
[29] Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia
Dan Kebudayaan Di Indonesia, (Jakarta: Djembatan, 2007), hlm. 199
[30] Bpk. Benediktus Kadha, wawancara 28 November 2011
[31] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Loc. Cit.,
[32] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 400
[33] Subagya Rachmat, Agama
Dan Alam Kerohanian Asli Di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1979), hlm. 171
[35] Bpk.
Stevanus Nou, Wawancara 1 Maret 2012
[36] Mudji Sutrisno dan Hendra
Putranto (Ed), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005),
hlm. 137
[37] Cf. Paul Arndt, SVD, Masyarakat
Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum Adat, (Ende: Nusa
Indah, 2009), hlm. 209
[38] Cf. Soerjanto Poespowardojo, Startegi
Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm.
146
[39] Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit.,
hlm.37
[40] Ibid., hlm. 39
[41] Kepercayaan masyarakat Ngadhu
yang asli adalah Nitu Dewa yang
terungkap dalam kalimat Dewa Zeta Nitu Zale. Dewa berada di atas dan Nitu
berada di bawah terdalam. Nitu terdiri
dari dua bentuk, yaitu yang kasar dan yang halus. Yang kasar ialah Nitu dan yang halus bernama Ngebu. Nitu mewakili leluhur perempuan dan Ngebu mewakili leluhur laki-laki. Antara Dewa dan Nitu punya dua
sifat yang bertentangan. Matahari sebagai Dewa sifatnya panas dan mudah marah
sedangkan Ngebu sebagai perwakilan
leluhur laki-laki adalah penyabar dan pelindung. Sebaliknya juga, bulan sebagai
Dewi memiliki sifat yang dingin dan sabar. Hal ini bertentangan dengan Nitu sebagai perwakilan dari leluhur
perempuan yang sangat ditakuti karena suka sekali mengutuk. Kalau matahari dan
bulan adalah Dewa yang menjaga manusia sebelum manusia lahir maka, Nitu dan Ngebu memelihara manusia setelah manusia meninggal kelak. Dewa yang melahirkan dan Nitu yang memelihara. (Ibid.,
hlm. 35-36) Dr. Watu Yohanes Vianey melihat secara berbeda tentang
konsep Yang Ilahi dalam religi orang Ngadhu. Yang Ilahi disebut Dewa dan Riwu Dewa. Dewa sinonim
dengan Tuhan dan Riwu Dewa adalah
para leluhur dan makhluk-makhluk rohani yang immortal. (Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi), Op. Cit., hlm. 25)
[42] Paul Arndt, SVD, Agama
Orang Ngadha: Kultus, Pesta Dan Persembahan (Vol. II), (Maumere:
Candraditya, 2007), hlm. 20
[43] Ana di’i sa’o disebut juga ana
weta, anak dari saudara perempuan ayah. Disebut ana dii sa’o karena status ibunya sebagai dii sa’o atau ‘menunggu rumah’ (sa’o).
Jadi, ana dii sa’o adalah anak dari
saudara perempuan ayah yang tidak dimintakan ngaluana (belis) atau ngaluana
yang diberikan suami hanyalah untuk mempererat dan mengikat tali
kekeluargaan. Sedangkan ana pasa adalah
ana dhadhi (anak kandung) yang diambil
ayahnya setelah mengikuti status ibunya sebagai fai pasa (‘isteri yang telah dibelis penuh’). Ana pasa menjadi sah apabila ayahnya telah membayar ngaluana (belis) secara tuntas atau
paling kurang separuhnya. (Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit., hlm.
120-123)
[45] J. Dwi Narwoko dan Bagong
Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Dan Pengantar, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2004), hlm. 162
[46] Cf. Paul Arndt, SVD, Masyarakat
Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum Adat, (Ende: Nusa
Indah, 2009), Op. Cit., hlm. 415
[47] Bpk. Benediktus Kadha, Wawancara 25 November 2011
[48] Dr. Dominikus Rato, SH., M. Si, Op. Cit.,
hlm. 63
[49] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 311
[50] Cf. Paul Arndt, SVD, Masyarakat
Ngadha: Keluarga, Tatanan Sosial, Pekerjaan Dan Hukum adat, (Ende: Nusa
Indah, 2009), Op. Cit., hlm. 423
[51] Sugeng Pujileksono, Pengantar
Antropologi, (Malang: UMM Press, 2006), hlm. 32
[52] Subagya Rachmat, Loc.
Cit.,
[53] Thomas Hylland Eriksen, Op.Cit.,
hlm. 161
[54] Pada zaman dahulu, semua
perempuan memiliki gua dalam
suku-suku (woe). Namun pada masa Reo
Genga terjadi perubahan. Berdasarkan sejarah pada waktu itu, Reo Genga yang
berasal dari Woe Genga mengalami
kedukaan, anaknya yang bernama Seghi
diculik oleh Manu Liu (burung elang)
pada saat Dhoro Reba. Seghi yang pada
saat itu keluar dari sa’o are dan menari (ja’i) di depan rumah adat, langsung diculik oleh burung elang dan
di bawa ke Doka-Jerebu’u. Berangkat dari kejadian itu, maka Reo Genga
mengalihkan kekuasaan kepada Pole Doka, anaknya dan mulai saat itu, perempuan
dari suku (Woe) Genga dan Keli tidak
boleh menjalankan kusu bu’e. (Felista
Wula, “Makna Ritus Ruki Kusu Bu’e Bagi Masyarakat Desa Radabata, Kecamatan
Golewa, Kabupaten Ngada” (Skripsi), (Ende: Sekolah Tinggi Ilmu
Pembangunan Santa Ursula, 2010), hlm. 24-25)
[55] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit. hlm. 353
[56] Nurani Soyomukti, Pengantar
Sosiologi, (Yogyakarta: AR-RUSS MEDIA, 2010), hlm. 257
[58]
Erich Fromm, Masyarakat Bebas Agresivitas, (Maumere: Ledalero, 2004), hlm. 224
[59] David Ray Graffin and Donald W.
Sherburne (Ed), Alfred Northh Whithead: Process and Reality, (New York: The
Free Press, 1978), hlm. 45
[60] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm. 80
[61] Soerojo Wigjodipoero, Loc. Cit.,
[62] Bpk. Benediktus Kadha, wawancara tanggal 20 Februari 2012
[63] Bpk. Dominikus Sua, wawancara
tanggal 28 Februari 2012
[64] Watu Yohanes Vianey, “Representasi Ciptaan Ilahi Dan Insani
Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada, Flores” (Disertasi ), Loc. Cit.,
[65] Watu Yohanes Vianey, “Representasi
Ciptaan Ilahi Dan Insani Dalam Ritus Sa’o Ngaza Di kampung Guru Sina, Ngada,
Flores” (Disertasi ), Op. Cit., hlm.399
[67] Ibid.,
[68] Dr. Dominikus Saku, Pr, Menyimak
Makna Sejarah, (Jakarta: PT. Binamitra Megawarna, 2007), hlm. 162
[69] Ana pasa adalah anak yang diambil dari ibunya karena ayahnya telah
memberi sejumlah belis (ngaluana)
kepada ibunya. Dalam kasus di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya perkawinan
yang dimaksud adalah si pria berasal dari golongan ga’e meze dan si wanita dari golongan ga’e kisa sehingga anak dari perkawinan ini juga mempunyai hak atas
tanah dan warisan lainnya yang ada dimiliki golongan ga’e meze.
[70] Doa-doa dalam praktik ritual
adat hanya dilantunkan oleh golongan ga’e
meze karena mereka dianggap dan dipercaya punya kekuatan untuk mengucapkan
‘mantra putih’ dan jika ada golongan selain ga’e
meze membaca doa, maka mantara itu digolongkan ‘mantra hitam’ yang sering
diucapkan oleh ata polo untuk mencelakai orang.
[71] Sugeng Pujileksono, Op.
Cit., hlm. 35
[72] Thomas Hylland Eriksen, Loc.
Cit.,
[73] Subagya Rachmat, Loc.
Cit.,
[74] Yoseph Tua Demu, BA, Budaya
Ngadha Dalam Proses Pembangunan Masyarakat Dan Gereja, (Surabaya: Agape
73 Printing, 1996), hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar