Minggu, 16 Oktober 2016

POLA-POLA KOMUNIKASI

MAKALAH ETNOGRAFI KOMUNIKASI
POLA-POLA KOMUNIKASI




OLEH:

FLORIANUS HENGKI RATO
160120201014

RIANTINO YUDISTIRA
160120201004

PROGRAM PASCASARJANA ILMU LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI JEMBER
2016




BAB I
LATAR BELAKANG

1.1  Pendahuluan
Manusia dalam semua fenomena interen yang dialaminya, menyadari suatu inti yang tidak tersangkalkan, yakni aku. Aku adalah sebuah realitas dan aku terbedakan dengan segala sesuatu yang bukan aku. Dalam proses mengada, aku berhubungan dengan ‘ada’ yang lain untuk menjadi ‘ada’ secara penuh. Kenyataan di atas menunjukkan ciri ontologis manusia sebagai ens sociale, yaitu ‘ada’ yang senantiasa membutuhkan yang lain. Ciri ontologis ini mau menampakkan bahwa kepenuhan manusia terjadi karena dorongan untuk bergaul dan berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, hidup bersama dengan orang lain adalah kenyatan dan tuntutan kodrat agar manusia bisa berkembang menjadi manusia sejati.
Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang berada di dunia bersama dengan yang lain. Keberadaan manusia bersama dengan yang lain, co-esse (ada bersama), memungkinkannya untuk dapat memanifestasikan seluruh dimensi manusiawinya. Perwujudan seluruh dimensi manusiawi itu terjadi dalam relasi dengan yang lain. Manusia yang melibatkan diri dalam relasi dengan yang lain, juga serentak menyadari dirinya sebagai yang otonom, dapat menentukan dirinya sendiri. Kesadaran ini juga membuat manusia berusaha menemukan arti keberadaannya yang otonom itu. Arti keberadaannya bukanlah sebuah faktisitas mutlak, tetapi semuanya tertata dalam proses jalinan interaksi di antara dirinya dengan yang lain, sesamanya dan alam dunia. Dalam kebersamaan itu, manusia selalu dan terus berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan sekitar. Dalam interaksi itu, manusia menemukan hakekat dan eksistensinya sekaligus mempertegas keberadaannya sebagai sebuah realitas yang ‘ada’ dan berada di tengah dunia. Dalam kontak dengan sesama dan alam sekitarnya, manusia mampu memberi arti bagi kehadiran dan kehidupan yang sedang dihidupinya.
Manusia dalam segala tindakan dan kegiatannya, selalu berusaha menemukan dan mempertegas hakekat dirinya. Manusia tidak sekedar ada, tetapi ia menunjukkan keberadaannya dalam komunikasi yang dialektis dengan sesama dan dunia sekitarnya. Komunikasi ini merupakan sebuah kebutuhan dasariah manusia sebagai ‘ada’ di antara ‘ada’ yang lain dan keberadaannya di tengah dunia. Dalam komunikasi itu pula, manusia mengekspresikan dirinya dalam interaksi yang dialektis sebagai konsekuensi dari hakekatnya. Komunikasi itulah yang pada akhirnya membentuk masyarakat dan melahirkan kebudayaan; hasil cipta daya dan budi manusia yang memuat arti dan nilai. Masyarakat dan kebudayaan tidak sekedar ada, tetapi merupakan konsekuensi dari kebersamaan dan jawaban atas kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Masyarakat terdiri dari individu-individu. Setiap individu bersifat khas dan unik. Kekhasan tersebut menjadi elemen dan dasar bangunan pluralisme sosial dan politis. Keunikan dan perbedaan antarindividu menelurkan sebuah pertanyaan mendasar, yakni bagaimana membangun sebuah komunikasi yang harmonis? Pluralisme lahir dari kodrat manusia. Secara kodrati setiap manusia adalah pribadi (persona). Ia bersifat unik. Kekhasan itulah yang membedakannya dari pribadi lainnya. Keunikan dan perbedaan kodrati tersebut menciptakan distansi atau jarak antara manusia. Tak ada homogenitas alamiah, tetapi yang ada hanyalah inhomogenitas. Konsekuensi logisnya adalah hadirnya distansi di antara manusia. Distansi ini dapat diatasi dengan membangun komunikasi antarmanusia dalam sebuah masyarakat yang plural. Komunikasi antarmanusia lebih menjembatani jarak yang tercipta akibat perbedaan sehingga lahirlah ruang antara (zwischenraum) di antara manusia berupa bahasa, perbincangan dan komunikasi. Andaikan semua manusia itu sama, maka tak akan pernah ada komunikasi.
Di dalam masyarakat yang plural, setiap manusia saling berkomunikasi. Terdapat berbagai macam pola komunikasi yang dibangun agar tercipta keharmonisan. Perbedaaan pola komunikasi interpersonal di dalam masyarakat diakibatkan oleh berbagai macam perbedaan di antara individu. Studi etnografi komunikasi tidak lain merupakan salah satu bentuk penelitian kualitatif, yang mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan manusia dalam suatu masyarakat tutur.[1] Melalui makalah ini, kami akan memaparkan sebuah diskursus tentang pola komunikasi antar individu dalam spritualitas etnografi komunikasi.     

                                             
1.2 Rumusan masalah
     Dalam mengkaji diskursus di atas, pemakalah merumuskan beberapa rumusan permasalahan, antara lain:
  1. Apa yang dimaksudkan dengan pola komunikasi?
  2. Apa saja komponen kompetensi komunikatif?

1.3 Tujuan Penulisan
            Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan dan pemaparan makalah ini, antara lain:
 1. Memahami secara komprehensif tentang pola komunikasi yang terjadi di antara manusia dalam sebuah masyarakat. 
 2. Menemukan dan memahami komponen kompetensi komunikatif.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pola Komunikasi
            Pola komunikasi terdiri dari dua kata, yakni pola dan komunikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pola berarti sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap.[2] Komunikasi yang dalam Bahasa Inggris disebut communication, yang berasal dari kata latin, communicatio, yang bersumber dari kata communis yang memiliki arti ‘sama makna.’ Termin ini merujuk pada adanya proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain.[3] Jadi, Pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih, dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Dalam diskursus etnografi komunikasi, pola komunikasi didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial, dan kultural.[4]
                                               
2.2 Unsur-Unsur dan Proses Komunikasi
Unsur-unsur utama komunikasi terdiri atas SCMR, yakni Source (Sumber atau pengirim), Channel (Saluran dan Media), Message (Pesan atau informasi) dan Receiver (Penerima). Di samping itu terdapat tiga unsur lain, yaitu feedback (tanggapan balik), Efek dan Lingkungan.  
Setiap unsur ini akan saling bergantung satu sama lain dan memiliki peranan penting dalam membangun proses komunikasi. Proses berlangsungnya komunikasi dapat diuraikan sebagai berikut: komunikator (source) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain, mengirimkan sebuah pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua belah pihak. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media (channel) atau saluran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti kedua pihak. Komunikan (receiver) memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya.[5] Di dalam komunikasi tersebut, akan terlihat efek atau pengaruh, berupa perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Di samping itu, lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi.

BAB III
POLA KOMUNIKASI

3.1 Pola Komunikasi
            Dalam pembahasan ini, pemakalah akan empat istilah yang sering digunakan dalam ilmu komunikasi, yakni pola komunikasi primer, sekunder, linear dan sirkular.

3.1.1 Pola Komunikasi Primer
Pola komunikasi primer merupakan suatu proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu simbol sebagai media atau saluran. Pola ini terbagi menjadi dua lambang, yaitu lambang verbal dan lambang nonverbal.[6] Lambang verbal berupa bahasa yang di gunakan sehari-hari oleh para komunikan dan komunikator. Sedangkan lambang nonverbal berupa gestikulasi tubuh, seperti: menggerakan kepala, mata, bibir, tangan.

3.1.2 Pola Komunikasi Sekunder
Pola komunikasi secara sekunder adalah penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang pada media pertama.

3.1.3 Pola Komunikasi Linear
Linear di sini mengandung makna lurus yang berarti perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus, yang berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal.[7] Pola ini lebih dikenal sebagai pola komunikasi satu arah (one way traffic communication). Pola ini adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan, baik menggunakan media maupun tanpa media, tanpa ada umpan balik dari komunikan. Dalam hal ini, Komunikan bertindak sebagai pendengar saja.  
 
3.1.4 Pola Komunikasi Sirkular
Dalam pola ini, terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan ke komunikator, sebagai penentu utama keberhasilan komunikasi. Dalam pola komunikasi yang seperti ini proses komunikasi berjalan terus, yaitu adaya umpan balik antara komunikator dan komunikan.[8] Pola ini lebih dikenal dengan pola komunikasi dua arah atau timbal balik (two way traffic communication), yaitu komunikator dan komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam komunikasi. Namun pada hakekatnya yang memulai percakapan adalah komunikator utama. Prosesnya dialogis, serta umpan balik terjadi secara langsung.

3.2 Faktor-Faktor Dalam Pola Komunikasi
Pemolaan (Patterning) terjadi pada semua tingkat komunikasi: masyarakat, kelompok, dan individu.[9] Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk fungsi, kategori ujaran (categories of talk), sikap, serta konsepsi tentang bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut peran dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat seperti, jenis kelamin, usia, status sosial, dan jabatan: misalnya, seorang guru memiliki cara-cara berbicara yang berbeda dengan ahli hukum, dokter, atau salesmen asuransi. Cara berbicara juga berpola menurut tingkat pendidikan, tempat tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah geografis, dan ciri-ciri kelompok, serta organisasi sosial yang lain. Berikutnya yang terakhir, komunikasi berpola pada tingkat individu, pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Pada tataran faktor-faktor emosional, seperti kegemetaran memiliki dampak fisiologis pada mekanisme vokal, Faktor-faktor emosional ini tidak dipandang sebagai bagian dari komunikasi, tetapi banyak simbol konvensional yang merupakan bagian dari komunikasi terpola. Persepsi individu sebagai ‘lancar bicara atau grogi’ (voluble or taciturn) juga berada dalam terminologi norma kebudayaan, dan bahkan ekspresi rasa sakit dan tertekan biasanya juga terpola secara kultural. Kalau kita cermati secara seksama pada tingkat masyarakat, kelompok, dan individu memiliki pola sendiri-sendiri dalam berkomunikasi. Namun demikian, terdapat benang merah keterkaitan hubungan yang tidak dapat dipisah antara tingkat-tingkat itu, dan juga antarsemua pola kebudayaan.[10] Sebaiknya ada topik umum yang menghubungkan pandangan dunia (world view) yang hadir dalam berbagai aspek kebudayaan, seperti hal ini, akan dimanifestasikan pada cara berbicara sebagaimana terdapat dalam kepercayaan dan sistem nilai. Konsep hirarki kontrol tampaknya bersifat menyebar dalam beberapa kebudayaan dan haruslah paling awal dipahami untuk menjelaskan batasan-batasan dalam bahasa tertentu seperti kepercayaan agama dan organisasi sosial.[11] Penekanan yang lebih pada proses interaksi dalam menghasilkan pola-pola perilaku memperluas perhatian kajian etnografi komunikasi sampai pada penjelasan dan diskripsi linguistik, aspek-aspek sosial, dan norma-norma kebudayaan.

3.3 Komponen Tutur.
Komponen tutur merupakan bagian yang paling penting dalam kajian etnografi komunikasi. Komponen tutur dalam kajian etnografi komunikasi, antara lain:[12]
Ø  Genre atau tipe peristiwa komunikasi.
Ø  Topik peristiwa komunikasi.
Ø  Tujuan dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan partisipan secara individual.
Ø  Setting termasuk lokasi, waktu, musim dan aspek fisik situasi yang lain.
Ø  Partisipan, termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori lain yang relevan dan hubungannya satu sama lain.
Ø  Bentuk pesan, termasuk saluran verbal, nonverbal dan hakikat kode yang digunakan, misalnya: bahasa mana dan varietas mana.
Ø  Isi pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan termasuk level konotatif dan referensi denotatif.
Ø  Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk alih giliran atau fenomena percakapan.
Ø  Kaidah interaksi.
Ø  Norma-norma interpretasi, termasuk pengetahuan umum, kebiasaan, kebudayaan, nilai dan norma yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari, dan sebagainya.

3.4 Kompetensi Komunikatif
Tindak komunikasi individu sebagai bagian dari suatu masyarakat tutur dalam perspektif etnografi komunikasi lahir dari integrasi tiga ketrampilan, yaitu ketrampilan linguistik, ketrampilan interaksi dan ketrampilan kebudayaan. Kompetensi inilah yang akan sangat mempengaruhi penutur ketika mereka menggunakan atau menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kompetensi komunikasi ini meliputi:[13]
Ø  Pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu?
Ø  Kapan mengatakannya?
Ø  Bilamana harus diam?
Ø  Siapa yang bisa diajak bicara?
Ø  Bagaimana berbicara kepada orang-orang tertentu yang peran dan status sosialnya berbeda?
Ø  Apa perilaku nonverbal yang pantas?
Ø  Rutin yang bagaimana yang terjadi dalam alih giliran percakapan?
Ø  Bagaiamana menawarkan bantuan?
Ø  Bagaimana cara meminta informasi dan sebagainya?

 3.5 Varietas Bahasa[14]
Pemolaan komunikasi (communication patterning) akan lebih jelas bila diuraikan dalam konteks varietas bahasa. Hymes menjelaskan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language code) dan cara-cara berbicara yang bisa dipakai oleh anggota masyarakat atau sebagai repertoire komunikatif masyarakat tutur. Variasi ini akan mencakup semua varietas dialek atau tipe yang digunakan dalam populasi sosial tertentu, dan faktor-faktor sosiokultural yang mengarahkan pada seleksi dari salah satu variasi bahasa yang ada. Sehingga pilihan varietas yang dipakai akan menggambarkan hubungan yang dinamis antara komponen-komponen komunikatif dari suatu masyarakat tutur, atau yang dikenal sebagai pemolaan komunikasi (communication patterning)

BAB IV
KESIMPULAN

            Manusia adalah makhluk sosial adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Fakta ini menggambarkan keberadaan manusia yang tidak dapat hidup sendiri dalam ruang dan waktu tertentu. Situasi ini memaksa manusia untuk membangun komunikasi dengan sesama dalam sebuah realitas yang plural. Komunikasi yang dibangun memiliki pola-pola tertentu, seperti: pola komunikasi primer, sekunder, linear dan sirkular. Setiap manusia juga dituntut untuk memiliki kompetensi komunikatif yang meliputi ketrampilan linguistik, ketrampilan interaksi dan ketrampilan kebudayaan.


DAFTAR PUSTAKA

Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003.
Haryono, Akhmad, Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola
Komunikasi, Jember: UPT Penerbitan UNEJ, 2005.  
http://digilib.unila.ac.id/1353/7/BAB%20II.pdf (diakes pada hari kamis,tanggal l22/09/2016, pukul 16.32)
Kuswarno, Engkus, Etnografi Komunikasi, Suatu Pengantar dan Contoh Penelitian, Bandung:
    Widya Padjadjaran, 2008.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
Troike, Saville M, Ethnography Of Communication: An Introduction, New York: Blackwell
Publishing Ltd, 2003.



[1] Saville M. Troike, Ethnography Of Communication: An Introduction (New York: Blackwell Publishing Ltd, 2003), hal. 2-3
[2] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hal. 763
[3], Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 9
[4] Akhmad Haryono, Etnografi Komunikasi: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi (Jember: UPT Penerbitan UNEJ, 2005), hal. 18
[5] http://digilib.unila.ac.id/1353/7/BAB%20II.pdf (diakes pada hari kamis, tanggal22/09/2016, pukul 16.32)
[6] Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 36
[7] Ibid.,hal. 37
[8] Ibid.,hal. 38
[9] Akhmad hariono, Op. cit.,hal. 19
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikasi, Suatu Pengantar dan Contoh Penelitian (Bandung: Widya Padjadjaran, 2008), hal. 42-43
[13] Ibid.,hal. 43-44
[14] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar