MAKALAH ETNOGRAFI KOMUNIKASI
POLA-POLA KOMUNIKASI

OLEH:
FLORIANUS
HENGKI RATO
160120201014
RIANTINO
YUDISTIRA
160120201004
PROGRAM
PASCASARJANA ILMU LINGUISTIK
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
NEGERI JEMBER
2016
BAB
I
LATAR
BELAKANG
1.1 Pendahuluan
Manusia dalam semua
fenomena interen yang dialaminya, menyadari suatu inti yang tidak tersangkalkan,
yakni aku. Aku adalah sebuah realitas dan aku terbedakan dengan segala sesuatu
yang bukan aku. Dalam proses mengada, aku berhubungan dengan ‘ada’ yang lain
untuk menjadi ‘ada’ secara penuh. Kenyataan di atas menunjukkan ciri ontologis
manusia sebagai ens sociale, yaitu
‘ada’ yang senantiasa membutuhkan yang lain. Ciri ontologis ini mau menampakkan
bahwa kepenuhan manusia terjadi karena dorongan untuk bergaul dan berhubungan
dengan orang lain. Dengan demikian, hidup bersama dengan orang lain adalah
kenyatan dan tuntutan kodrat agar manusia bisa berkembang menjadi manusia
sejati.
Pada hakekatnya, manusia
adalah makhluk yang berada di dunia bersama dengan yang lain. Keberadaan
manusia bersama dengan yang lain, co-esse
(ada bersama), memungkinkannya untuk dapat memanifestasikan seluruh dimensi
manusiawinya. Perwujudan seluruh dimensi manusiawi itu terjadi dalam relasi
dengan yang lain. Manusia yang melibatkan diri dalam relasi dengan yang lain,
juga serentak menyadari dirinya sebagai yang otonom, dapat menentukan dirinya
sendiri. Kesadaran ini juga membuat manusia berusaha menemukan arti
keberadaannya yang otonom itu. Arti keberadaannya bukanlah sebuah faktisitas mutlak,
tetapi semuanya tertata dalam proses jalinan interaksi di antara dirinya dengan
yang lain, sesamanya dan alam dunia. Dalam kebersamaan itu, manusia selalu dan
terus berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan sekitar. Dalam interaksi
itu, manusia menemukan hakekat dan eksistensinya sekaligus mempertegas
keberadaannya sebagai sebuah realitas yang ‘ada’ dan berada di tengah dunia.
Dalam kontak dengan sesama dan alam sekitarnya, manusia mampu memberi arti bagi
kehadiran dan kehidupan yang sedang dihidupinya.
Manusia dalam segala tindakan dan kegiatannya,
selalu berusaha menemukan dan mempertegas hakekat dirinya. Manusia tidak
sekedar ada, tetapi ia menunjukkan keberadaannya dalam komunikasi yang
dialektis dengan sesama dan dunia sekitarnya. Komunikasi ini merupakan sebuah
kebutuhan dasariah manusia sebagai ‘ada’ di antara ‘ada’ yang lain dan
keberadaannya di tengah dunia. Dalam komunikasi itu pula, manusia
mengekspresikan dirinya dalam interaksi yang dialektis sebagai konsekuensi dari
hakekatnya. Komunikasi itulah yang pada akhirnya membentuk masyarakat dan
melahirkan kebudayaan; hasil cipta daya dan budi manusia yang memuat arti dan
nilai. Masyarakat dan kebudayaan tidak sekedar ada, tetapi merupakan
konsekuensi dari kebersamaan dan jawaban atas kebutuhan dasar manusia sebagai
makhluk sosial.
Masyarakat terdiri dari individu-individu. Setiap individu
bersifat khas dan unik. Kekhasan tersebut menjadi elemen dan dasar bangunan
pluralisme sosial dan politis. Keunikan dan perbedaan antarindividu menelurkan sebuah
pertanyaan mendasar, yakni bagaimana membangun sebuah komunikasi yang
harmonis? Pluralisme lahir
dari kodrat manusia. Secara kodrati setiap manusia adalah pribadi (persona). Ia
bersifat unik. Kekhasan itulah yang membedakannya dari pribadi lainnya.
Keunikan dan perbedaan kodrati tersebut menciptakan distansi atau jarak antara
manusia. Tak ada homogenitas alamiah, tetapi yang ada hanyalah inhomogenitas. Konsekuensi
logisnya adalah hadirnya distansi di antara manusia. Distansi ini dapat diatasi
dengan membangun komunikasi antarmanusia
dalam sebuah masyarakat yang plural. Komunikasi antarmanusia lebih menjembatani jarak yang tercipta akibat perbedaan
sehingga lahirlah ‘ruang antara’ (zwischenraum) di
antara manusia berupa bahasa, perbincangan dan komunikasi.
Andaikan
semua manusia itu sama, maka tak akan pernah ada
komunikasi.
Di dalam masyarakat yang plural, setiap manusia
saling berkomunikasi. Terdapat berbagai macam pola komunikasi yang dibangun
agar tercipta keharmonisan. Perbedaaan pola komunikasi interpersonal di dalam
masyarakat diakibatkan oleh berbagai macam perbedaan di antara individu. Studi
etnografi komunikasi tidak lain merupakan salah satu bentuk penelitian
kualitatif, yang mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang
digunakan manusia dalam suatu masyarakat tutur.[1]
Melalui makalah ini, kami akan memaparkan sebuah diskursus tentang pola
komunikasi antar individu dalam spritualitas etnografi komunikasi.
1.2
Rumusan masalah
Dalam
mengkaji diskursus di atas, pemakalah merumuskan beberapa rumusan permasalahan,
antara lain:
- Apa yang dimaksudkan dengan pola komunikasi?
- Apa saja komponen kompetensi komunikatif?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan yang
ingin dicapai dari penyusunan dan pemaparan makalah ini, antara lain:
1. Memahami secara komprehensif tentang
pola komunikasi yang terjadi di antara manusia dalam sebuah masyarakat.
2. Menemukan dan memahami komponen
kompetensi komunikatif.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian Pola Komunikasi
Pola komunikasi terdiri dari dua
kata, yakni pola dan komunikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), pola berarti
sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap.[2]
Komunikasi yang dalam Bahasa Inggris disebut communication, yang berasal dari kata latin, communicatio,
yang bersumber dari kata communis yang memiliki arti ‘sama makna.’ Termin ini merujuk pada
adanya proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain.[3]
Jadi, Pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua
orang atau lebih, dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang
tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Dalam diskursus etnografi komunikasi, pola komunikasi
didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa yang
didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur
yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial, dan kultural.[4]
2.2
Unsur-Unsur dan Proses Komunikasi
Unsur-unsur utama komunikasi terdiri
atas SCMR,
yakni Source (Sumber
atau pengirim), Channel (Saluran
dan Media), Message (Pesan
atau informasi) dan Receiver
(Penerima). Di samping itu terdapat tiga unsur lain, yaitu feedback
(tanggapan balik), Efek dan Lingkungan.
Setiap
unsur ini akan saling bergantung satu sama lain dan memiliki peranan penting dalam
membangun proses komunikasi. Proses berlangsungnya komunikasi dapat diuraikan
sebagai berikut: komunikator (source)
yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain, mengirimkan sebuah pesan
kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi
dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua
belah pihak. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu
media (channel) atau saluran, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Komunikan (receiver) menerima
pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam
bahasa yang dimengerti kedua pihak. Komunikan (receiver) memberikan
umpan balik (feedback) atau tanggapan
atas pesan yang dikirimkan kepadanya.[5] Di
dalam komunikasi tersebut, akan terlihat efek
atau pengaruh, berupa perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan
dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Di samping itu, lingkungan
atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya
komunikasi.
BAB III
POLA KOMUNIKASI
3.1 Pola Komunikasi
Dalam pembahasan ini,
pemakalah akan empat istilah yang sering digunakan dalam ilmu komunikasi, yakni
pola komunikasi primer, sekunder, linear dan sirkular.
3.1.1 Pola Komunikasi Primer
Pola komunikasi primer merupakan suatu
proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan
suatu simbol sebagai media atau saluran. Pola ini terbagi menjadi dua lambang,
yaitu lambang verbal dan lambang nonverbal.[6] Lambang verbal berupa
bahasa yang di gunakan sehari-hari oleh para komunikan dan
komunikator. Sedangkan lambang nonverbal berupa gestikulasi tubuh, seperti:
menggerakan kepala, mata, bibir, tangan.
3.1.2 Pola Komunikasi Sekunder
Pola komunikasi secara sekunder adalah
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat
atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang pada media pertama.
3.1.3 Pola Komunikasi Linear
Linear di sini mengandung makna lurus
yang berarti perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus, yang
berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik
terminal.[7] Pola ini lebih dikenal
sebagai pola komunikasi satu arah (one
way traffic communication). Pola ini adalah proses penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan, baik menggunakan media maupun tanpa media, tanpa ada umpan
balik dari komunikan. Dalam hal ini, Komunikan bertindak sebagai pendengar
saja.
3.1.4 Pola Komunikasi Sirkular
Dalam pola ini, terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu
terjadinya arus dari komunikan ke komunikator, sebagai penentu utama
keberhasilan komunikasi. Dalam pola komunikasi yang seperti ini proses
komunikasi berjalan terus, yaitu adaya umpan balik antara komunikator dan
komunikan.[8] Pola ini lebih dikenal
dengan pola komunikasi dua arah atau timbal balik (two way traffic communication),
yaitu komunikator dan komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam komunikasi. Namun
pada hakekatnya yang memulai percakapan adalah komunikator utama. Prosesnya
dialogis, serta umpan balik terjadi secara langsung.
3.2 Faktor-Faktor Dalam Pola
Komunikasi
Pemolaan (Patterning) terjadi pada semua
tingkat komunikasi: masyarakat, kelompok, dan individu.[9]
Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk
fungsi, kategori ujaran (categories of talk), sikap, serta konsepsi
tentang bahasa dan penutur. Komunikasi juga berpola menurut peran dan kelompok
tertentu dalam suatu masyarakat seperti, jenis kelamin, usia, status sosial,
dan jabatan: misalnya, seorang guru memiliki cara-cara berbicara yang berbeda
dengan ahli hukum, dokter, atau salesmen asuransi. Cara berbicara juga berpola
menurut tingkat pendidikan, tempat tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah
geografis, dan ciri-ciri kelompok, serta organisasi sosial yang lain.
Berikutnya yang terakhir, komunikasi berpola pada tingkat individu, pada
tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Pada tataran faktor-faktor
emosional, seperti kegemetaran memiliki dampak fisiologis pada mekanisme vokal,
Faktor-faktor emosional ini tidak dipandang sebagai bagian dari komunikasi,
tetapi banyak simbol konvensional yang merupakan bagian dari komunikasi
terpola. Persepsi individu sebagai ‘lancar bicara atau grogi’ (voluble or
taciturn) juga berada dalam terminologi norma kebudayaan, dan bahkan
ekspresi rasa sakit dan tertekan biasanya juga terpola secara kultural. Kalau
kita cermati secara seksama pada tingkat masyarakat, kelompok, dan individu
memiliki pola sendiri-sendiri dalam berkomunikasi. Namun demikian, terdapat
benang merah keterkaitan hubungan yang tidak dapat dipisah antara
tingkat-tingkat itu, dan juga antarsemua pola kebudayaan.[10]
Sebaiknya ada topik umum yang menghubungkan pandangan dunia (world view)
yang hadir dalam berbagai aspek kebudayaan, seperti hal ini, akan
dimanifestasikan pada cara berbicara sebagaimana terdapat dalam kepercayaan dan
sistem nilai. Konsep hirarki kontrol tampaknya bersifat menyebar dalam beberapa
kebudayaan dan haruslah paling awal dipahami untuk menjelaskan batasan-batasan
dalam bahasa tertentu seperti kepercayaan agama dan organisasi sosial.[11]
Penekanan yang lebih pada proses interaksi dalam menghasilkan pola-pola
perilaku memperluas perhatian kajian etnografi komunikasi sampai pada
penjelasan dan diskripsi linguistik, aspek-aspek sosial, dan norma-norma
kebudayaan.
3.3 Komponen
Tutur.
Komponen tutur merupakan bagian yang
paling penting dalam kajian etnografi komunikasi. Komponen tutur dalam kajian etnografi
komunikasi, antara lain:[12]
Ø
Genre atau tipe peristiwa
komunikasi.
Ø
Topik peristiwa komunikasi.
Ø
Tujuan dan fungsi peristiwa
secara umum dan juga fungsi dan tujuan partisipan secara individual.
Ø
Setting termasuk lokasi, waktu, musim dan aspek fisik situasi yang lain.
Ø
Partisipan, termasuk
usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori lain yang relevan dan
hubungannya satu sama lain.
Ø
Bentuk pesan, termasuk
saluran verbal, nonverbal dan hakikat kode yang digunakan, misalnya: bahasa
mana dan varietas mana.
Ø
Isi pesan, mencakup apa yang
dikomunikasikan termasuk level konotatif dan referensi denotatif.
Ø
Urutan tindakan, atau urutan
tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk alih giliran atau fenomena
percakapan.
Ø
Kaidah interaksi.
Ø
Norma-norma interpretasi,
termasuk pengetahuan umum, kebiasaan, kebudayaan, nilai dan norma yang dianut,
tabu-tabu yang harus dihindari, dan sebagainya.
3.4
Kompetensi Komunikatif
Tindak komunikasi individu
sebagai bagian dari suatu masyarakat tutur dalam perspektif etnografi
komunikasi lahir dari integrasi tiga ketrampilan, yaitu ketrampilan linguistik,
ketrampilan interaksi dan ketrampilan kebudayaan. Kompetensi inilah yang akan
sangat mempengaruhi penutur ketika mereka menggunakan atau menginterpretasikan
bentuk-bentuk linguistik. Kompetensi komunikasi ini meliputi:[13]
Ø
Pengetahuan
dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting
tertentu?
Ø
Kapan
mengatakannya?
Ø
Bilamana
harus diam?
Ø
Siapa
yang bisa diajak bicara?
Ø
Bagaimana
berbicara kepada orang-orang tertentu yang peran dan status sosialnya berbeda?
Ø
Apa
perilaku nonverbal yang pantas?
Ø
Rutin
yang bagaimana yang terjadi dalam alih giliran percakapan?
Ø
Bagaiamana
menawarkan bantuan?
Ø
Bagaimana
cara meminta informasi dan sebagainya?
3.5 Varietas
Bahasa[14]
Pemolaan komunikasi (communication patterning)
akan lebih jelas bila diuraikan dalam konteks varietas bahasa. Hymes
menjelaskan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language
code) dan cara-cara berbicara yang bisa dipakai oleh anggota masyarakat
atau sebagai repertoire komunikatif
masyarakat tutur. Variasi ini akan mencakup semua varietas dialek atau tipe
yang digunakan dalam populasi sosial tertentu, dan faktor-faktor sosiokultural
yang mengarahkan pada seleksi dari salah satu variasi bahasa yang ada. Sehingga
pilihan varietas yang dipakai akan menggambarkan hubungan yang dinamis antara
komponen-komponen komunikatif dari suatu masyarakat tutur, atau yang dikenal
sebagai pemolaan komunikasi (communication patterning)
BAB
IV
KESIMPULAN
Manusia
adalah makhluk sosial adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Fakta ini
menggambarkan keberadaan manusia yang tidak dapat hidup sendiri dalam ruang dan
waktu tertentu. Situasi ini memaksa manusia untuk membangun komunikasi dengan
sesama dalam sebuah realitas yang plural. Komunikasi yang dibangun memiliki
pola-pola tertentu, seperti: pola komunikasi primer, sekunder, linear dan
sirkular. Setiap manusia juga dituntut untuk memiliki kompetensi komunikatif
yang meliputi ketrampilan linguistik, ketrampilan interaksi dan ketrampilan
kebudayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Cangara,
Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.
Effendy,
Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan
Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003.
Haryono, Akhmad, Etnografi
Komunikasi: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola
Komunikasi,
Jember: UPT Penerbitan UNEJ, 2005.
http://digilib.unila.ac.id/1353/7/BAB%20II.pdf
(diakes pada hari kamis,tanggal l22/09/2016, pukul 16.32)
Kuswarno, Engkus, Etnografi Komunikasi, Suatu
Pengantar dan Contoh Penelitian, Bandung:
Widya
Padjadjaran, 2008.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
Troike,
Saville M, Ethnography Of
Communication: An Introduction, New York: Blackwell
Publishing Ltd, 2003.
[1] Saville M. Troike,
Ethnography Of Communication: An
Introduction (New York:
Blackwell Publishing Ltd, 2003), hal. 2-3
[2] W.J.S Poerwadarminta, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hal. 763
[3], Onong Uchjana
Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat
Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 9
[4] Akhmad Haryono, Etnografi
Komunikasi: Konsep, Metode, dan Contoh Penelitian Pola Komunikasi (Jember:
UPT Penerbitan UNEJ, 2005), hal. 18
[5] http://digilib.unila.ac.id/1353/7/BAB%20II.pdf
(diakes pada hari kamis, tanggal22/09/2016, pukul 16.32)
[6] Hafied Cangara,
Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), hal. 36
[7] Ibid.,hal. 37
[8] Ibid.,hal. 38
[9] Akhmad hariono, Op.
cit.,hal. 19
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Engkus
Kuswarno, Etnografi Komunikasi, Suatu
Pengantar dan Contoh Penelitian (Bandung:
Widya
Padjadjaran, 2008), hal. 42-43
[13] Ibid.,hal. 43-44
[14] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar