Rabu, 19 Oktober 2016

YESUS DALAM PANDANGAN MISTAGOGI



Bab I
Pendahuluan

Magisterium Gereja mengajarkan bahwa Trinitas adalah misteri absolut yang tak dapat diketahui tanpa revelasi dan setelah revelasi pun tidak sepenuhnya dipahami. Bapa, Putera dan Roh Kudus yang adalah satu hakekat, satu wujud, satu kodrat yang tunggal sama sekali. Ketiganya itu sama abadi dan sama Maka Kuasa. Ketiga pribadi itu berbeda satu sama lain namun sehakekat dan sama. Dalam Trinitas, hanya Sang Putera yang telah mengambil kodrat manusia yang benar (tanpa dosa) dari Perawan Suci tanpa noda (Maria), demi pembebasan manusia. Ia dilahirkan oleh Maria dalam ‘kelahiran baru’ (lahir dari wanita tanpa kontak badan dengan pria, terjadi oleh kuasa Roh Kudus) dan dengan’cara baru’ (dari ketidak-nampakan dalam ke-Allahan menjadi nampak dalam daging atau rupa manusia). Pengakuan-pengakuan Gereja yang pertama menggunakan sejak awal gelar ‘Tuhan’ ini untuk Yesus. Dengan ini mereka mengatakan bahwa kekuasaan, kehormatan dan kemuliaan yang pantas diberikan kepada Allah, juga harus diberikan kepada Yesus, karena Ia setara dengan Allah. Bapa mengumumkan martabat Yesus sebagai penguasa ini, ketika Ia membangkitkan-Nya dari antara orang mati dan meninggikan-Nya ke dalam kemuliaan-Nya.[1] Yesus Kristus sebagai pribadi kedua dalam Trinitas adalah pokok sentral dalam iman kristiani. Pribadi Yesus adalah Firman Allah Bapa yang dijiwai oleh Roh Kudus, dan karya penebusan yang menjadi tugas-Nya itu terletak dalam hal “permohonan-Nya agar Roh Kudus mendiami manusia dan dunia ini, dikabulkan oleh Allah Bapa.”[2]
Dalam makalah sederhana ini, kami akan mencoba membahas pribadi kedua Allah Tritunggal itu berdasarkan buku Teologi Trinitas: Dalam Konteks Mistagog yang ditulis P. Niko Syukur Dister, OFM, dengan dua status quesionis di bawah:
1.      Siapakah Yesus Kristus? (Identitas Yesus Kristus)
2.      Apa tugas Yesus Kristus? (Penebusan umat manusia oleh hidup Kristus, khususnya oleh salib dan darah-Nya)


 Bab II
Yesus Kristus

2.1 Yesus Kristus, Putera Yang Tunggal
            Yesus berbicara tentang diri-Nya sendiri sebagai suatu instansi Kerajaan Allah. Ia sendiri menjadi pewarta atau Nabi, Hamba atau Pengabdi dari Kerajaan itu. Ia sendiri juga Raja dari Kerajaan itu. Di sini muncul ketegangan: Yesus itu Raja sekaligus Hamba dan sebaliknya Hamba sekaligus Raja. Berhadapan dengan ini, para murid meyakini bahwa di dalam Yesus, Allah sendiri mengungkapkan diri seluruhnya; Yesus adalah Firman Bapa, Anak Allah. Keyakinan ini adalah buah refleksi para murid pasca kebangkitan Kristus (Retroproyeksi).

2.1.1 Yesus dan Kerajaan Allah
            Kerajaan Allah adalah situasi di mana Allah meraja. Pemerintahan-Nya jauh melebihi semua janji dan harapan sehingga penciptaan dunia diselesaikan Tuhan dengan memperbaharuinya seluruhnya.  Allah memang menghakimi dosa, tetapi mengasihani orang berdosa yang bertobat,  menyelamatkan orang miskin dan mendirikan syalom. Kerajaan Allah sedang datang. Untuk itu, Yesus menyerukan pertobatan. Misi Yesus adalah mewartakan Kerajaan Allah. Ia memilih berpihak pada yang miskin dan tertindas. Ia berseberangan dengan para penguasa yang tidak adil. Cara Yesus mewartakan Kerajaan itu beraneka ragam: ada pidato yang kadang- kadang penuh ancaman (Mat. 24: 1-29). Tetapi ada juga cerita yang bersifat perumpamaan yang melukiskan siapa Allah sebenarnya dan bagaimana cara Ia meraja: Adil dan Rahim, mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali (Mat. 18: 21).
Dalam mewartakan Kerajaan Allah, Yesus menjelaskan bahwa terhadap Allah, manusia harus pasrah total terhadap penyelenggaraan-Nya dan tanpa syarat (Mat. 19: 21-22, Mat. 8: 18-22; Luk. 9: 61). Meskipun dalam pewartaan-Nya, Yesus menuntut kepasrahan dan kepercayaan total, namun Ia tidak menyingkirkan siapapun secara apriori dari Kerajaan Allah. Kerajaan Allah terbuka bagi siapa saja. Bagi Yesus, masa penantian akan Kerajaan Allah sudah berakhir. Perbuatan Allah di akhir zaman bukan hanya dekat, melainkan sudah tiba. Kedekatan dan kehadiran Allah yang menyelamatkan sudah semakin terasa. Untuk itu, orang hars bertobat.[3]  
2.1.2 Yesus Itu Nabi, Hamba dan Raja
            Yesus memperkenalkan diri sebagai instansi Kerajaan Allah. Ia sendiri sebagai pewarta, sehingga Ia disebut Nabi (Mrk. 8: 28; Luk. 24: 19). Di satu pihak, Yesus mengambil jarak dengan Kerajaan Allah. Misalnya: ketika Ia berbicara tentang kedatangan Anak Manusia, yang merujuk pada diri-Nya sendiri dan juga terkadang merujuk pada tokoh lain. Rujukan selalu berkaitan dengan masa depan (Mat. 16: 28). Ia juga disebut Hamba atau Abdi Kerajaan Allah: segala sesuatu yang dilakukan Yesus, diabdikan kepada kedatangan Kerajaan Allah dan kepada penyiapan umat manusia untuk menyambut kedatangan Kerajaan itu. Yesus itu Hamba, Pelayan (Mat. 20: 28; Mrk. 10: 45; Yoh. 4: 34; 14: 31; Mat. 3: 16; 4: 1; Yoh. 1: 32-34). Kerajaan itu bukan hanya masa depan tetapi Kerajaan itu di ambang pintu (Mrk. 1: 15), bahkan sudah ada (Mat. 12: 28). Yesus lebih dari sekedar Nabi (Mat. 12: 41) dan lebih daripada seorang raja di dunia ini (Mat. 12: 42). Justru karena Yesus sendiri pelaku kedatangan Kerajaan: dalam perkataan dan perbuatan Yesus, Kerajaan itu datang.
            Saat tertentu, Yesus sendiri tampil sebagai Raja dengan kuasa yang adi-insani dari Kerajaan itu (Mat. 21: 5; Yoh. 18: 36-37; 1 Kor. 15: 25). Ini terlihat dari tiga hal berikut: Pertama, ketika Ia memanggil para murid, panggilan itu bukanlah permintaan melainkan sebuah perintah: “Ikutlah Aku!” (Mrk. 1: 17-18). Kedua, berhadapan dengan kekuatan yang bermusuhan dengan Kerajaan Allah, Ia memberi komando (Mrk. 1: 41; 4: 39; 5: 9). Ketiga, Ia bertindak atas nama Allah, dan kadang melakukan hal-hal yang hanya dibuat oleh Allah (Mrk. 2: 5-7).

2.1.3 Ketegangan Besar: Raja Yang Hamba dan Sebaliknya
            Hidup dan pribadi Yesus itu paradoks. Di satu pihak, Ia adalah Raja, tetapi di pihak lain, Ia adalah Hamba. Paradoks ini semakin kental menjelang akhir perziarahan-Nya di bumi. Kedua sisi terwakili masing-masing oleh Jumad Agung dan Minggu Paskah.
Pada malam sebelum menderita, Ia melepaskan segala-galanya tanpa pamrih, menerima dan menunaikan kehendak Bapa untuk mati di salib. Ketaatan-Nya pada kehendak Bapa, menunjukkan sisi ke-Hamba-an Yesus. Melalui kebangkitan-Nya pada hari Paskah, tampaklah dengan jelas bahwa Yesus adalah Tuhan; Ia adalah Raja Kerajaan, duduk di sebelah kanan Allah, Ia pemberi Roh Kudus.
            Status Raja dan Hamba dalam pribadi Yesus itu merupakan sebuah kesatuan: justru sebagai Dia yang taat kepada Bapa, Yesus adalah Tuhan. Penginjil Lukas dan Yohanes, sudah menampilkan Yesus sebagai Raja ketika Ia masih bergantung di kayu salib (Luk. 23: 1-3; Yoh. 18: 36-37). Penginjil Lukas dan Yohanes juga mencatat bahwa ‘Yang Bangkit’ itu masih ditandai dengan luka-luka salib (Luk. 24: 39-40; Yoh. 20: 20.27). Tuhan masih tetap Hamba, walaupun Hamba sudah menjadi Tuhan. Kematian Yesus dipandang sebagai pembunuhan tidak adil atas diri Hamba Tuhan yang benar, pembunuhan itu mengantar Yesus ke dalam kemuliaan dan kekuasaannya sebagai Mesias dan Kurios.[4]  

2.1.4 Firman Bapa
Orang yang percaya kepada-Nya telah mengungkapkan kedekatan Yesus pada Allah dengan menggunakan berbagai gelar tinggi dalam Perjanjian Lama: Imam, Nabi, Raja, Mesias, Hamba yang menderita, Immanuel, Sang Putera, Hikmat kebijaksanaan, Sang Sabda, Orang pilihan, Putera Sulung, Putera Tunggal. Gelar-gelar ini menunjukkan bahwa Yesus bertindak atas nama Allah atau mewahyukan Allah. Gelar- gelar ini baru mendekati pernyataan bahwa Yesus adalah Allah.
Orang beriman melihat Allah berkarya di dalam Yesus. Itulah sebabnya mereka menyerahkan diri kepada-Nya, dan mengalami panggilan-Nya sebagai suara yang harus diikuti tanpa syarat. Semua gelar dari Perjanjian Lama itu dikerahkan untuk menjelaskan siapa Yesus itu namun tidak memadai. Supaya cocok, gelar-gelar itu harus diubah artinya. Misalnya, apakah Yesus seorang nabi? Ya, tetapi Ia lebih daripada nabi. Seorang nabi berbicara atas nama Tuhan, maka firman-firman Tuhanlah yang disampaikan oleh nabi. Tetapi, Yesus tidak hanya menyampaikan firman Allah melainkan Ia sendirilah Firman Allah. Ia adalah Allah yang sedang berbicara. Yesus adalah Logos Ilahi yang menjelma menjadi manusia dengan dua cara berada: pra ada-Nya; dan inkarnasi-Nya.[5]
Dengan demikian, Yesus menjadi suara yang taat dan sekaligus wahyu yang berkuasa. Kisah Yesus adalah kisah pemberian Allah, dan pemberian itu; pemberian diri Allah. Dari awal sampai akhir, kisah Yesus tidak dapat dilepaskan dari inisiatif Allah untuk memberikan diri kepada kita.

2.2 Kristus Sebagai Penebus dan Rekonsiliator
Pembahasan mengenai Kristus sebagai Penebus dan Rekonsiliator akan menghantar kita kepada karya penyelamatan Allah Tritunggal yang terejawantah dalam: Pertama,  misi Yesus sebagai “Juru Selamat” dan “Penebus”; Kedua, dosa sebagai penyebab ketidakberesan relasi manusia dengan Allah dan sesama; Ketiga, Misteri penebusan sebagai misteri epiklesis, dan Keempat, Yesus sebagai Pembawa, Pemohon dan Pemberi Roh.

2.2.1 Misi Yesus Sebagai Juru Selamat dan Penebus
            Menurut Perjanjian Baru, situasi hidup umat manusia sudah masuk jalan buntu total. Situasi yang demikian disebut “kemalangan”. Untuk itu, umat manusia butuh seorang penyelamat, dengan aneka bentuk dan rupa. Penyelamatan yang diharapkan, dalam tradisi Kristen, dibahasakan sebagai “penebusan”.
            Dalam Perjanjian Lama, paham “keselamatan” diartikan sangat luas:
Ø  Syalom, damai sejahtera (Mzm. 72)
Ø  Keadaan makmur bagi Israel (Yes. 35: 60)
Ø  Di bawah pohon ara, orang dapat mempelajari hukum Taurat (Mik. 4: 4)
Ø  Kita diberkati dengan banyak anak laki- laki dan perempuan (Mzm. 127: 3- 5)
Ø  Tak seorang pun meninggal sebelum usia seratus tahun (Yes. 65: 20)
Ø  Singa makan jerami  berdampingan  dengan anak domba, dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak (Yes. 11: 6- 9; 65: 25)
Ø  Dan seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan, seperti air laut yang menutupi dasarnya (Yes. 11: 9; Hab. 2: 14)
Dalam Perjanjian Lama, keselamatan itu bersifat kini dan di sini, hanya dalam hidup konkret. Seiring perjalanan waktu, refleksi umat Allah menambah dimensi keabadian. Bahwasannya keselamatan itu tidak sebatas pada hidup konkret, kini dan di sini melainkan berlangsung terus hingga akhir zaman. Dimensi keabadian itu menjadi ciri yang menonjol dalam penghayatan kristiani akan iman, harapan dan kasih.
Menurut Wissink, keselamatan itu adalah relasi yang lurus dengan Allah, dengan sesama manusia (dari yang terdekat sampai seluruh masyarakat) dan dengan segenap alam ciptaan (hewan, tetumbuhan, benda mati), baik dalam penghayatan pribadi maupun bersama.[6]
2.2.2    Dosa
            Dosa adalah penyalahgunaan kebebasan yang Allah berikan kepada makhluk yang berakal budi, supaya mereka dapat mencintai-Nya dan mencintai satu sama lain.[7] Dosa dipandang sebagai suatu kuasa yang menguasai manusia, serupa dengan setan dan maut. Santo Paulus menggambarkan situasi di mana manusia dibelenggu oleh dosa: “Bukan apa yang aku kehendaki, yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat (Rom. 7: 15; 7: 17). Dosa menyebabkan ketidakberesan dalam relasi yang lurus dengan Allah dan sesama manusia. Untuk menerangkan pembebasan kuasa itu atau pemberesan relasi itu oleh Yesus Kristus, Paulus membandingkan Kristus dengan Adam (Rom. 5: 12- 21; 1Kor.15: 21- 22). Ketidaktaatan Adam begitu berkuasa sehingga semua orang jatuh dalam maut, tetapi ketaatan Yesus lebih berkuasa lagi karena mengalahkan dosa dan membawa hidup.

2.2.3 Penebusan Sebagai Epiklesis
Epiklesis berasal dari kata bahasa Yunani, “epikalein” yang berarti “memanggil atau berseru minta tolong”.  Dalam arti asli yang profan, epiklesis berarti “permohonan pertolongan” dan dalam arti religius berarti “doa” pada umumnya.
Dalam Ekaristi, epiklesis merupakan permohonan dalam Doa Syukur Agung supaya Bapa mengutus Roh Kudus atas roti dan anggur untuk menjadikannya Tubuh dan Darah Kristus.
            Wissink memandang misteri penebusan sebagai misteri epiklesis, dalam arti : Allah Bapa mengabulkan permohonan Yesus Kristus agar Roh Kudus, Roh cinta kasih, mendiami manusia dan dunianya. Inti sari karya rekonsiliasi yang dilakukan Kristus terletak dalam hal bahwa Yesus pada kayu salib dengan sehabis- habisnya melakukan epiklesis yaitu memohonkan Roh Kudus. Yesus sendirilah pembawa Roh, sepanjang hidup-Nya, bahkan begitu rupa sehingga kita dapat mengatakan bahwa Roh Kudus mendiami kemanusiaan Yesus yang kudus.

2.2.4 Yesus: Pembawa, Pemohon dan Pemberi Roh
            Di dalam Yesus , Roh berdiam dan tinggal. Sebelum Yesus, Roh terdapat seakan- akan tersendat- sendat dan selang- seling.  Hadir dan berkaryanya Roh seakan terputus- putus dan tidak terus- menerus.  Adakalanya, Roh ada, adakalanya tidak. Hal ini terlihat dari dinamika kehidupan umat Israel. Kadang- kadang Israel bersemangat, kemudian murtad, lalu menyesal lagi.
            Roh, secara defenitif, menetap pada sang Mesias dan di zaman Mesias (Yes. 36: 25- 27). Pada zaman Mesias, ada pangkalan defenitif bagi Roh dalam umat manusia karena Yesus mempersilahkan kekuatan Roh untuk mendiami, meresapi diri-Nya seluruhnya.
            Diri Yesus secara keseluruhan juga merupakan epiklesis, permohonan akan Roh Kudus, baik bagi diri-Nya sendiri maupun bagi orang lain (Yoh. 14: 16- 17). Siapa yang memiliki Roh dalam kepenuhannya, atau lebih tepat: siapa yang sendiri telah menjadi milik Roh dengan sepenuh- penuhnya sehingga Roh mendiaminya, tentu saja melakukan epiklesis untuk orang lain.
            Jika Yesus adalah epiklesis dan sepanjang hidup-Nya dibumi ini tetap tinggal epiklesis sampai dengan kematian-Nya di salib, maka Yesus didiami oleh Roh Kudus secara defenitif dan sempurna.  Dalam wafat dan bangkit-Nya, Yesus mendoakan kita sebagai perantara kita untuk selama-lamanya. Yesus menjadi pemberi Roh menurut kemanusiaan-Nya. Hal ini terlihat dari gambaran Yohanes tentang wafat-Nya Yesus: “Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa(=Roh)-Nya” (Yoh. 19: 30b). Wissink menerjemahkan to pneuma  sebagai “Roh”, bukan nyawa seperti yang dibuat oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Jika Yesus pada hari Minggu Paskah mendatangi murid- murid-Nya dan mengembusi mereka sambil berkata: “Terimalah Roh Kudus”, maka peristiwa ini merupakan kelanjutan napas terkahir itu. Putera Allah melalui kemanusiaan- Nya yang telah bangkit, memberikan Roh Kudus.

2.3 Catatan Kritis:
  1. Penulis menjelaskan point- point pemikirannya secara terstruktur dan sistematis. Mulai dengan duduk persoalan sampai pada penjelasan atas persoalan.
  2. Di halaman 226, penulis tidak menjelaskan arti lain dari “penebusan” padahal penulis telah mengatakan bahwa kata “penebusan” tidak mempunyai satu arti saja yang jelas. Penulis hanya menjelaskan satu arti.

 Bab III
Penutup

Agustinus pernah berujar: Res et Sacramentum. Res itu adalah realitas tak kelihatan dari iman dan keselamatan yang ada pada setiap waktu dan Sacramentum adalah manifestasi kelihatan dari realitas itu dalam Kristus. Bahwa semua yang percaya kepada Sabda Allah itu dan hidup sesuai dengannya dalam ketaatan dan kebenaran, mereka tentu akan menemukan keselamatan akan Sabda Allah itu.
Kita percaya akan Sabda itu yang telah datang dalam daging, yakni di dalam Yesus Kristus. Keselamatan itu tak berubah, tetap sama entah beriman kepada Sabda Allah pun beriman kepada Yesus Kristus. Yesus Kristus dari arti universalnya diperuntukkan bagi semua orang. Semua keselamatan datang dari Allah melaluinya. Panggilan kepada keselamatan itu di dasarkan bukan kepada Yesus historis tetapi pada Allah. Ia menerangi semua orang dan menarik semua kepada-Nya. Jawaban terhadap panggilan itu adalah iman, ketaatan pada perintah Allah dan harapan pada keselamatan. Yesus adalah Allah, yang memohon dan pemberi Roh. Ia juga adalah Raja sekaligus Hamba Allah yang setia.
“Engkau adalah Mesias” (Mrk. 8: 28-30). Kristus adalah satu-satunya yang dalam-Nya kerajaan Allah didirikan, yang di dalam Dia Allah berbicara dan memenuhi sejarah manusia. Implikasi dari pengakuan Petrus ini masih tinggal tetap dan terbuka. Inilah Iman akan Kristus. Gereja sepanjang masa, menantang generasi kita dengan kemungkinan menelusuri  iman ini dalam pertemuan personal dengan Yesus Kristus itu.  Dari pihak Allah, anugerah rahmatlah  yang menggerakan orang beriman yang ‘datang’ dan ‘lihat’ (Yoh. 1: 39).


 Daftar Pustaka

Embuiru, Herman (Penerj.), Paus Yohanes Paulus II, Katekismus Gereja Katolik
(Ende: Arnoldus, 1995)
Dister, Niko Syukur, Teologi Trinitas: Dalam Konteks Mistagogi (Yogyakarta:
Kanisius, 2012)
________________, Teologi Sitematika I: Allah Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004)
Kirchberger, Georg, Allah: Pengalaman dan Refleksi Dalam Tradisi Kristen (Maumere:
LPBAJ, 2000)


[1] P. Herman Embuiru, SVD (Penerj.), Paus Yohanes Paulus II, Katekismus Gereja Katolik, Artikel 449 (Ende: Arnoldus, 1995), hal. 209, selanjutnya akan disingkat KGK dan diikuti nomor artikel.
[2] Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Teologi Trinitas: Dalam Konteks Mistagogi (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hal. 117
[3] Georg Kirchberger, Allah: Pengalaman dan Refleksi Dalam Tradisi Kristen (Maumere: LPBAJ, 2000), hal. 83
[4] Ibid., hal. 105
[5] Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Teologi Sitematika I: Allah Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 214
[6] Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Teologi Trinitas: Dalam Konteks Mistagogi, Op.cit., hal. 227
[7]  KGK., art. 387, hal. 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar