Bab
I
Pendahuluan
Magisterium Gereja
mengajarkan bahwa Trinitas adalah misteri absolut yang tak dapat diketahui
tanpa revelasi dan setelah revelasi pun tidak sepenuhnya dipahami. Bapa, Putera
dan Roh Kudus yang adalah satu hakekat, satu wujud, satu kodrat yang tunggal
sama sekali. Ketiganya itu sama abadi dan sama Maka Kuasa. Ketiga pribadi itu
berbeda satu sama lain namun sehakekat dan sama. Dalam Trinitas, hanya Sang Putera yang telah mengambil
kodrat manusia yang benar (tanpa dosa) dari Perawan Suci tanpa noda (Maria),
demi pembebasan manusia. Ia dilahirkan oleh Maria dalam ‘kelahiran baru’ (lahir
dari wanita tanpa kontak badan dengan pria, terjadi oleh kuasa Roh Kudus) dan
dengan’cara baru’ (dari ketidak-nampakan dalam ke-Allahan menjadi nampak dalam
daging atau rupa manusia). Pengakuan-pengakuan
Gereja yang pertama menggunakan sejak awal gelar ‘Tuhan’ ini untuk Yesus.
Dengan ini mereka mengatakan bahwa kekuasaan, kehormatan dan kemuliaan yang
pantas diberikan kepada Allah, juga harus diberikan kepada Yesus, karena Ia
setara dengan Allah. Bapa mengumumkan martabat Yesus sebagai penguasa ini,
ketika Ia membangkitkan-Nya dari antara orang mati dan meninggikan-Nya ke dalam
kemuliaan-Nya.[1] Yesus
Kristus sebagai pribadi kedua dalam Trinitas adalah pokok sentral dalam iman
kristiani. Pribadi Yesus
adalah Firman Allah Bapa yang dijiwai oleh Roh Kudus, dan karya penebusan yang
menjadi tugas-Nya itu terletak dalam hal “permohonan-Nya agar Roh Kudus
mendiami manusia dan dunia ini, dikabulkan oleh Allah Bapa.”[2]
Dalam makalah sederhana
ini, kami akan mencoba membahas pribadi kedua Allah Tritunggal itu berdasarkan
buku Teologi Trinitas: Dalam Konteks
Mistagog yang ditulis P. Niko Syukur Dister, OFM, dengan dua status
quesionis di bawah:
1. Siapakah Yesus Kristus? (Identitas Yesus Kristus)
2. Apa tugas Yesus Kristus? (Penebusan umat manusia oleh
hidup Kristus, khususnya oleh salib dan darah-Nya)
Bab
II
Yesus
Kristus
2.1 Yesus Kristus, Putera Yang Tunggal
Yesus berbicara tentang diri-Nya
sendiri sebagai suatu instansi Kerajaan Allah. Ia sendiri menjadi pewarta atau
Nabi, Hamba atau Pengabdi dari Kerajaan itu. Ia sendiri juga Raja dari Kerajaan
itu. Di sini muncul ketegangan: Yesus itu Raja sekaligus Hamba dan sebaliknya
Hamba sekaligus Raja. Berhadapan dengan ini, para murid meyakini bahwa di dalam
Yesus, Allah sendiri mengungkapkan diri seluruhnya; Yesus adalah Firman Bapa,
Anak Allah. Keyakinan ini adalah buah refleksi para murid pasca kebangkitan
Kristus (Retroproyeksi).
2.1.1
Yesus dan Kerajaan Allah
Kerajaan Allah adalah situasi di mana Allah meraja.
Pemerintahan-Nya jauh melebihi semua janji dan harapan sehingga penciptaan
dunia diselesaikan Tuhan dengan memperbaharuinya seluruhnya. Allah memang menghakimi dosa, tetapi mengasihani
orang berdosa yang bertobat, menyelamatkan
orang miskin dan mendirikan syalom. Kerajaan
Allah sedang datang. Untuk itu, Yesus menyerukan pertobatan. Misi Yesus adalah
mewartakan Kerajaan Allah. Ia memilih berpihak pada yang miskin dan tertindas.
Ia berseberangan dengan para penguasa yang tidak adil. Cara Yesus mewartakan
Kerajaan itu beraneka ragam: ada pidato yang kadang-
kadang penuh ancaman (Mat. 24: 1-29). Tetapi ada juga
cerita yang bersifat perumpamaan yang melukiskan siapa Allah sebenarnya dan
bagaimana cara Ia meraja: Adil dan Rahim, mengampuni sampai tujuh puluh kali
tujuh kali (Mat. 18: 21).
Dalam
mewartakan Kerajaan Allah, Yesus menjelaskan bahwa terhadap Allah, manusia
harus pasrah total terhadap penyelenggaraan-Nya dan tanpa syarat (Mat. 19:
21-22, Mat. 8: 18-22; Luk. 9: 61). Meskipun dalam pewartaan-Nya, Yesus menuntut
kepasrahan dan kepercayaan total, namun Ia tidak menyingkirkan siapapun secara
apriori dari Kerajaan Allah. Kerajaan Allah terbuka bagi siapa saja.
Bagi Yesus, masa penantian akan Kerajaan Allah sudah berakhir. Perbuatan Allah
di akhir zaman bukan hanya dekat, melainkan sudah tiba. Kedekatan dan kehadiran
Allah yang menyelamatkan sudah semakin terasa. Untuk itu, orang hars bertobat.[3]
2.1.2 Yesus Itu Nabi, Hamba dan Raja
Yesus memperkenalkan diri sebagai
instansi Kerajaan Allah. Ia sendiri sebagai pewarta, sehingga Ia disebut Nabi
(Mrk. 8: 28; Luk. 24: 19). Di satu pihak, Yesus mengambil jarak dengan Kerajaan
Allah. Misalnya: ketika Ia berbicara tentang kedatangan Anak Manusia, yang
merujuk pada diri-Nya sendiri dan juga terkadang merujuk pada tokoh lain. Rujukan
selalu berkaitan dengan masa depan
(Mat. 16: 28). Ia juga disebut Hamba atau Abdi Kerajaan Allah: segala sesuatu
yang dilakukan Yesus, diabdikan kepada kedatangan Kerajaan Allah dan kepada
penyiapan umat manusia untuk menyambut kedatangan Kerajaan itu. Yesus itu
Hamba, Pelayan (Mat. 20: 28; Mrk. 10: 45; Yoh. 4: 34; 14: 31; Mat. 3: 16; 4: 1;
Yoh. 1: 32-34). Kerajaan itu bukan hanya masa depan tetapi Kerajaan itu di ambang pintu
(Mrk. 1: 15), bahkan sudah ada (Mat. 12: 28). Yesus lebih dari sekedar Nabi
(Mat. 12: 41) dan lebih daripada seorang raja di dunia ini (Mat. 12: 42).
Justru karena Yesus sendiri pelaku kedatangan Kerajaan: dalam perkataan dan perbuatan
Yesus, Kerajaan itu datang.
Saat tertentu, Yesus sendiri tampil
sebagai Raja dengan kuasa yang adi-insani dari Kerajaan itu (Mat. 21: 5; Yoh.
18: 36-37; 1 Kor. 15: 25). Ini terlihat dari tiga hal berikut: Pertama, ketika Ia memanggil para murid, panggilan itu bukanlah
permintaan melainkan sebuah perintah: “Ikutlah Aku!” (Mrk. 1: 17-18). Kedua, berhadapan dengan kekuatan yang
bermusuhan dengan Kerajaan Allah, Ia memberi komando (Mrk. 1: 41; 4: 39; 5: 9).
Ketiga, Ia bertindak atas nama Allah,
dan kadang melakukan hal-hal yang hanya dibuat oleh Allah (Mrk. 2: 5-7).
2.1.3 Ketegangan Besar: Raja Yang Hamba dan Sebaliknya
Hidup dan pribadi Yesus itu paradoks.
Di satu pihak, Ia adalah Raja, tetapi di pihak lain, Ia adalah Hamba. Paradoks ini semakin kental menjelang
akhir perziarahan-Nya di bumi. Kedua sisi terwakili masing-masing oleh Jumad
Agung dan Minggu Paskah.
Pada
malam sebelum menderita, Ia melepaskan segala-galanya tanpa pamrih, menerima dan menunaikan kehendak Bapa untuk mati di
salib. Ketaatan-Nya pada kehendak Bapa, menunjukkan sisi ke-Hamba-an Yesus. Melalui
kebangkitan-Nya pada hari Paskah, tampaklah dengan jelas bahwa Yesus adalah Tuhan;
Ia adalah Raja Kerajaan, duduk di sebelah kanan Allah, Ia pemberi Roh Kudus.
Status Raja dan Hamba dalam pribadi
Yesus itu merupakan sebuah kesatuan: justru sebagai Dia yang taat kepada Bapa,
Yesus adalah Tuhan. Penginjil Lukas dan Yohanes, sudah menampilkan Yesus
sebagai Raja ketika Ia masih bergantung di kayu salib (Luk. 23: 1-3; Yoh. 18:
36-37). Penginjil Lukas dan Yohanes juga mencatat bahwa ‘Yang Bangkit’ itu
masih ditandai dengan luka-luka salib (Luk. 24: 39-40; Yoh. 20: 20.27). Tuhan
masih tetap Hamba, walaupun Hamba sudah menjadi Tuhan.
Kematian Yesus dipandang sebagai pembunuhan tidak adil atas diri Hamba Tuhan
yang benar, pembunuhan itu mengantar Yesus ke dalam kemuliaan dan kekuasaannya
sebagai Mesias dan Kurios.[4]
2.1.4 Firman Bapa
Orang
yang percaya kepada-Nya telah mengungkapkan kedekatan Yesus pada Allah dengan
menggunakan berbagai gelar tinggi dalam Perjanjian Lama: Imam, Nabi, Raja,
Mesias, Hamba yang menderita, Immanuel, Sang Putera, Hikmat kebijaksanaan, Sang
Sabda, Orang pilihan, Putera Sulung, Putera Tunggal. Gelar-gelar ini
menunjukkan bahwa Yesus bertindak atas nama Allah atau mewahyukan Allah. Gelar-
gelar ini baru mendekati pernyataan bahwa Yesus adalah Allah.
Orang
beriman melihat Allah berkarya di dalam Yesus. Itulah sebabnya mereka
menyerahkan diri kepada-Nya, dan mengalami panggilan-Nya sebagai suara yang
harus diikuti tanpa syarat. Semua gelar dari Perjanjian Lama itu dikerahkan
untuk menjelaskan siapa Yesus itu namun tidak memadai. Supaya cocok, gelar-gelar itu harus
diubah artinya. Misalnya, apakah Yesus seorang nabi? Ya, tetapi Ia lebih
daripada nabi. Seorang nabi berbicara atas nama Tuhan, maka firman-firman
Tuhanlah yang disampaikan oleh nabi. Tetapi, Yesus tidak hanya menyampaikan
firman Allah melainkan Ia sendirilah Firman Allah. Ia adalah Allah yang sedang
berbicara. Yesus adalah Logos
Ilahi yang menjelma menjadi manusia dengan dua cara berada: pra ada-Nya; dan inkarnasi-Nya.[5]
Dengan
demikian, Yesus menjadi suara yang taat dan sekaligus wahyu yang berkuasa.
Kisah Yesus adalah kisah pemberian Allah, dan pemberian itu; pemberian diri Allah. Dari awal sampai akhir, kisah
Yesus tidak dapat dilepaskan dari inisiatif Allah untuk memberikan diri kepada
kita.
2.2
Kristus Sebagai Penebus dan Rekonsiliator
Pembahasan mengenai
Kristus sebagai Penebus dan Rekonsiliator akan menghantar kita kepada karya
penyelamatan Allah Tritunggal yang terejawantah dalam: Pertama, misi Yesus sebagai
“Juru Selamat” dan “Penebus”; Kedua, dosa
sebagai penyebab ketidakberesan relasi manusia dengan Allah dan sesama; Ketiga, Misteri penebusan sebagai
misteri epiklesis, dan Keempat, Yesus
sebagai Pembawa, Pemohon dan Pemberi Roh.
2.2.1 Misi Yesus Sebagai Juru Selamat dan Penebus
Menurut Perjanjian Baru, situasi
hidup umat manusia sudah masuk jalan buntu total. Situasi yang demikian disebut
“kemalangan”. Untuk itu, umat manusia butuh seorang penyelamat, dengan aneka
bentuk dan rupa. Penyelamatan yang diharapkan, dalam tradisi Kristen,
dibahasakan sebagai “penebusan”.
Dalam Perjanjian Lama, paham
“keselamatan” diartikan sangat luas:
Ø Syalom, damai sejahtera (Mzm. 72)
Ø Keadaan makmur bagi Israel (Yes. 35: 60)
Ø Di bawah pohon ara, orang dapat mempelajari hukum Taurat
(Mik. 4: 4)
Ø Kita diberkati dengan banyak anak laki- laki dan
perempuan (Mzm. 127: 3- 5)
Ø Tak seorang pun meninggal sebelum usia seratus tahun
(Yes. 65: 20)
Ø Singa makan jerami
berdampingan dengan anak domba,
dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak
(Yes. 11: 6- 9; 65: 25)
Ø Dan seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan,
seperti air laut yang menutupi dasarnya (Yes. 11: 9; Hab. 2: 14)
Dalam
Perjanjian Lama, keselamatan itu bersifat kini dan di sini, hanya dalam hidup
konkret. Seiring perjalanan waktu, refleksi umat Allah menambah dimensi keabadian.
Bahwasannya keselamatan itu tidak sebatas pada hidup konkret, kini dan di sini
melainkan berlangsung terus hingga akhir zaman. Dimensi keabadian itu menjadi ciri
yang menonjol dalam penghayatan kristiani akan iman, harapan dan kasih.
Menurut
Wissink, keselamatan itu adalah relasi yang lurus dengan Allah, dengan sesama
manusia (dari yang terdekat sampai seluruh masyarakat) dan dengan segenap alam
ciptaan (hewan, tetumbuhan, benda mati), baik dalam penghayatan pribadi maupun
bersama.[6]
2.2.2 Dosa
Dosa adalah
penyalahgunaan kebebasan yang Allah berikan kepada makhluk yang berakal budi,
supaya mereka dapat mencintai-Nya dan mencintai satu sama lain.[7]
Dosa dipandang sebagai suatu kuasa yang menguasai
manusia, serupa dengan setan dan maut. Santo Paulus menggambarkan situasi di
mana manusia dibelenggu oleh dosa: “Bukan
apa yang aku kehendaki, yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah
yang aku perbuat” (Rom. 7: 15; 7: 17). Dosa menyebabkan
ketidakberesan dalam relasi yang
lurus dengan Allah dan sesama manusia. Untuk menerangkan pembebasan kuasa itu
atau pemberesan relasi itu oleh Yesus Kristus, Paulus membandingkan Kristus
dengan Adam (Rom. 5: 12- 21; 1Kor.15: 21- 22). Ketidaktaatan Adam begitu
berkuasa sehingga semua orang jatuh dalam maut, tetapi ketaatan Yesus lebih
berkuasa lagi karena mengalahkan dosa dan membawa hidup.
2.2.3 Penebusan Sebagai Epiklesis
Epiklesis
berasal dari kata bahasa Yunani, “epikalein”
yang berarti “memanggil atau berseru minta tolong”. Dalam arti asli yang profan, epiklesis
berarti “permohonan pertolongan” dan dalam arti religius berarti “doa” pada
umumnya.
Dalam
Ekaristi, epiklesis merupakan permohonan dalam Doa Syukur Agung supaya Bapa
mengutus Roh Kudus atas roti dan anggur untuk menjadikannya Tubuh dan Darah
Kristus.
Wissink memandang misteri penebusan
sebagai misteri epiklesis, dalam arti : Allah Bapa mengabulkan permohonan Yesus
Kristus agar Roh Kudus, Roh cinta kasih, mendiami manusia dan dunianya. Inti
sari karya rekonsiliasi yang dilakukan Kristus terletak dalam hal bahwa Yesus
pada kayu salib dengan sehabis- habisnya melakukan epiklesis yaitu memohonkan
Roh Kudus. Yesus sendirilah pembawa Roh, sepanjang hidup-Nya, bahkan begitu
rupa sehingga kita dapat mengatakan bahwa Roh Kudus mendiami kemanusiaan Yesus
yang kudus.
2.2.4 Yesus: Pembawa, Pemohon dan Pemberi Roh
Di dalam Yesus , Roh berdiam dan
tinggal. Sebelum Yesus, Roh terdapat seakan- akan tersendat- sendat dan selang-
seling. Hadir dan berkaryanya Roh seakan
terputus- putus dan tidak terus- menerus. Adakalanya, Roh ada, adakalanya tidak. Hal ini
terlihat dari dinamika kehidupan umat Israel. Kadang- kadang Israel
bersemangat, kemudian murtad, lalu menyesal lagi.
Roh, secara defenitif, menetap pada
sang Mesias dan di zaman Mesias (Yes. 36: 25- 27). Pada zaman Mesias, ada
pangkalan defenitif bagi Roh dalam umat manusia karena Yesus mempersilahkan
kekuatan Roh untuk mendiami, meresapi diri-Nya seluruhnya.
Diri Yesus secara keseluruhan juga
merupakan epiklesis, permohonan akan Roh Kudus, baik bagi diri-Nya sendiri maupun bagi
orang lain (Yoh. 14: 16- 17). Siapa yang memiliki Roh dalam kepenuhannya, atau
lebih tepat: siapa yang sendiri telah menjadi milik Roh dengan sepenuh-
penuhnya sehingga Roh mendiaminya, tentu saja melakukan epiklesis untuk orang
lain.
Jika Yesus adalah epiklesis dan
sepanjang hidup-Nya dibumi ini tetap tinggal epiklesis sampai dengan
kematian-Nya di salib, maka Yesus didiami oleh Roh Kudus secara defenitif dan
sempurna. Dalam wafat dan bangkit-Nya,
Yesus mendoakan kita sebagai perantara kita untuk selama-lamanya. Yesus menjadi
pemberi Roh menurut kemanusiaan-Nya. Hal ini terlihat dari gambaran Yohanes
tentang wafat-Nya Yesus: “Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan
nyawa(=Roh)-Nya” (Yoh. 19: 30b). Wissink menerjemahkan to pneuma sebagai “Roh”,
bukan nyawa seperti yang dibuat oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Jika Yesus pada hari Minggu Paskah
mendatangi murid- murid-Nya dan mengembusi mereka sambil berkata: “Terimalah
Roh Kudus”, maka peristiwa ini merupakan kelanjutan napas terkahir itu. Putera
Allah melalui kemanusiaan- Nya yang telah bangkit, memberikan Roh Kudus.
2.3
Catatan Kritis:
- Penulis menjelaskan point- point pemikirannya secara terstruktur dan sistematis. Mulai dengan duduk persoalan sampai pada penjelasan atas persoalan.
- Di halaman 226, penulis tidak menjelaskan arti lain dari “penebusan” padahal penulis telah mengatakan bahwa kata “penebusan” tidak mempunyai satu arti saja yang jelas. Penulis hanya menjelaskan satu arti.
Bab
III
Penutup
Agustinus
pernah berujar: Res et Sacramentum. Res itu adalah realitas tak kelihatan
dari iman dan keselamatan yang ada pada setiap waktu dan Sacramentum adalah manifestasi kelihatan dari realitas itu dalam
Kristus. Bahwa semua yang percaya kepada Sabda Allah itu dan hidup sesuai
dengannya dalam ketaatan dan kebenaran, mereka tentu akan menemukan keselamatan
akan Sabda Allah itu.
Kita
percaya akan Sabda itu yang telah datang dalam daging, yakni di dalam Yesus
Kristus. Keselamatan itu tak berubah, tetap sama entah beriman kepada Sabda
Allah pun beriman kepada Yesus Kristus. Yesus Kristus dari arti universalnya
diperuntukkan bagi semua orang. Semua keselamatan
datang dari Allah melaluinya. Panggilan kepada keselamatan itu di dasarkan
bukan kepada Yesus historis tetapi pada Allah. Ia menerangi semua orang dan
menarik semua kepada-Nya. Jawaban terhadap panggilan itu adalah iman, ketaatan
pada perintah Allah dan harapan pada keselamatan. Yesus adalah Allah, yang memohon
dan pemberi Roh. Ia juga adalah Raja sekaligus Hamba Allah yang setia.
“Engkau adalah Mesias”
(Mrk. 8: 28-30). Kristus adalah satu-satunya yang dalam-Nya kerajaan Allah
didirikan, yang di dalam Dia Allah berbicara dan memenuhi sejarah manusia. Implikasi
dari pengakuan Petrus ini masih tinggal tetap dan terbuka. Inilah Iman akan
Kristus. Gereja sepanjang masa, menantang generasi kita dengan kemungkinan menelusuri iman ini dalam pertemuan personal dengan
Yesus Kristus itu. Dari pihak Allah, anugerah
rahmatlah yang menggerakan orang beriman
yang ‘datang’ dan ‘lihat’ (Yoh. 1: 39).
Daftar
Pustaka
Embuiru, Herman (Penerj.), Paus Yohanes Paulus II, Katekismus
Gereja Katolik
(Ende:
Arnoldus, 1995)
Dister, Niko Syukur, Teologi Trinitas: Dalam Konteks
Mistagogi (Yogyakarta:
Kanisius,
2012)
________________, Teologi Sitematika I: Allah
Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004)
Kirchberger, Georg, Allah: Pengalaman dan Refleksi
Dalam Tradisi Kristen (Maumere:
LPBAJ,
2000)
[1]
P. Herman Embuiru, SVD (Penerj.),
Paus Yohanes Paulus II, Katekismus Gereja Katolik, Artikel 449
(Ende: Arnoldus, 1995), hal. 209, selanjutnya akan disingkat KGK dan diikuti nomor artikel.
[2] Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Teologi
Trinitas: Dalam Konteks Mistagogi (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hal.
117
[3] Georg Kirchberger, Allah:
Pengalaman dan Refleksi Dalam Tradisi Kristen (Maumere: LPBAJ, 2000),
hal. 83
[4] Ibid., hal. 105
[5]
Dr. Niko Syukur Dister, OFM,
Teologi
Sitematika I: Allah Penyelamat (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 214
[6] Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Teologi
Trinitas: Dalam Konteks Mistagogi, Op.cit., hal. 227
[7]
KGK., art. 387, hal. 101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar