Minggu, 30 Oktober 2016

KOMUNITAS TUTURAN-SPEECH COMMUNITY-DISADUR DARI BUKU "AN INTRODUCTION TO SOCIOLINGUISTICS"


PENGANTAR
Komunitas tuturan diyakini berasal dari bahasa Jerman Spragchmeinschaft, yang berarti individu-individu tertentu yang melakukan aktivitas linguistik yang mirip layaknya individu lain, dalam hal ini yang dimaksud adalah bahasa, dialek atau varietas bahasa yang sama. Tentu saja sudah banyak studi sosiolinguistik yang di lakukan dalam memahami arti ‘komunitas tuturan’ yang mapan. Namun Hudson (1996, p.29) berpendapat bahwa pemahaman ‘komunitas tuturan’ tidak dapat di jelaskan secara objektif dikarenakan dunia linguistik kita tidaklah terorganisir, walaupun kita seringkali berpendapat secara subjektif, bahwa dalam konteks komunitas atau tipe sosial terdapat “Londoner” dan “American.”
            Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pencarian makna ataupun batasan-batasan dari ‘komunitas tutur’ yang benar-benar paten seakan seperti mengejar rusa liar. Namun, walaupun adanya kebingungan yang sedemikian, kita akan tetap menggunakan konsep ‘komunitas tutur.’ Hal ini didasarkan pada pentingnya keberadaan konsep ‘komunitas tutur’ dalam studi-studi ilmu linguistik. Hal ini akan tetap berlaku walaupun makna dari ‘komunitas tutur’ adalah tidak lebih dari sebuah kelompok sosial yang mana karakteristik tuturannya menarik dan dapat di jelaskan secara koheren. 

DEFINISI KOMUNITAS TUTUR
Sosiolinguistik adalah sebuah studi yang mempelajari penggunaan bahasa dalam sebuah kelompok penutur. Sebelum memasuki pembahsan lebih detail tentang ‘komunitas tutur,’ ada baiknya untuk terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan kelompok. Kelompok biasanya terdiri atas minimal dua orang dan tidak ada batasan untuk jumlah maksimal dari sebuah kelompok. Pembentukan kelompok dapat didasarkan pada satu atau lebih alasan, contohnya: sosial, agama, politik, budaya, kekeluargaan dan lain lain. Sifat dari kelompok itu bisa besifat sementara ataupun permanen dan tujuan setiap anggota dalam kelompok dapat berbeda. Keanggotaan sebuah kelompok tidak bersifat permanen, dapat bebas untuk keluar dan masuk ke dalam kelompok dan dapat menjadi anggota kelompok lain dalam waktu yang bersamaan. Pengorganisasian dalam kelompok dapat dilakukan secara ketat atau longgar dan perasaan setiap anggota dalam kelompok tersebut dapat berbeda. Contohnya ada yang berkomitmen kuat terhadap keberlangsungan kelompok dan ada juga yang lemah, ada yang merasa mendapatkan sebuah kesuksesan dalam berkelompok dan ada juga yang tidak.
Selanjutnya, dalam studi sosiolinguistik, jenis kelompok yang telah secara umum di pelajari adalah ‘komunitas tutur.’ Beberapa peneliti telah memberikan pendapatnya dalam menjelaskan pemahaman yang ideal tentang konsep ‘komunitas tutur.’
Chomsky (1965, pp 3-4) berpendapat: komunitas tutur adalah komunitas yang homogen secara menyeluruh. Namun hal ini seakan tidak sesuai dengan fakta, karena ‘komunitas tutur’ berlangsung di dunia nyata, bukan hanya berada dalam cakupan abstrak teori linguistik dalam penelitian Chomsky.
Sedangkan Lyons (1970, p. 326) menawarkan sebuah definisi yang dianggapnya sebuah pemahaman realistik tentang ‘komunitas tutur,’ yakni; semua orang yang menggunakan bahasa tertentu (atau dialek). Pendapat ini justru berbanding terbalik pada penjelasan bab 2 tentang bahasa dan dialek yang tidak mudah dijelaskan secara gamblang dan seringkali ambigu. Maka ‘komunitas tutur’ pun tidak dapat dipahami melalui teori ini.
Lebih jauh lagi, jika ‘komunitas tutur’ didefinisikan menggunakan konteks karakteristik linguistik saja, hal ini mungkin tidak dapat dilakukan, karena pemahaman tentang bahasa itu sendiri masih terlalu umum. Namun bila kita mendeskripsikan sebuah ‘komunitas tutur’ melalui karakteristik linguistik dengan didampingi alasan, seperti: sosial, politik, suku, budaya dan lain-lain, hal ini mungkin masih dapat dilakukan. Berdasarkan penjelasan di atas, khusus untuk tujuan studi sosiolinguistik, pemahaman konsep ‘komunitas tutur,’ diasumsikan sebagai sebuah kelompok yang menggunakan hanya satu bahasa saja. Setiap anggota dari komunitas tutur tersebut harus memiliki sikap yang sama dalam aktivitas linguistik mereka, yang dalam hal ini adalah norma-norma tertentu dalam kebahasaan.
Merujuk pada pernyataan Labov (1972b, pp. 120-1) tentang definisi ‘komunitas tutur,’ norma yang dimaksud kurang lebih sebagai berikut: ‘Masyarakat penutur tidak didefinisikan dengan perbedaan dalam penggunaan unsur bahasa, namun dilihat dari begitu banyaknya partisipasi dalam seperangkat norma yang disepakati bersama; norma-norma ini dapat diamati pada perilaku evaluatif, dan pada keseragaman pola variasi abstrak yang invarian dalam tingkat penggunaan bahasa.’ Namun, pernyataan Labov (1972b, pp. 120-1) di atas justru membuat pemahaman konsep ‘komunitas tutur’ menjadi bias, karena berdasarkan definisinya, kriteria linguistik jelas tidak diperlukan dalam pendefinisian sebuah ‘komunitas tutur.’
Selanjutnya, pernyataan bahwa salah satu syarat dari sebuah ‘komunitas tutur’ menggunakan hanya satu bahasa ditolak oleh Gumperz (1971, p. 101) yang menyatakan ‘tidak ada alasan mendasar yang mengharuskan kita untuk mendefinisikan bahwa dalam komunitas tutur semua anggotanya harus berbahasa sama. Dalam penjelasan berikutnya, Gumperz (p. 101) mengarahkan pemahaman bahwa ‘komunitas linguistik’ lebih tepat digunakan dari pada ‘komunitas tutur.’ Hal ini mengarahkan kita pada pernyataan Gumperz (1971, p. 101) yang mendefinisikan bahwa sebuah komunitas didefinisikan secara tersendiri dari hubunganya dengan komunitas yang lain.
Hymes (1962, pp. 30-2) menyatakan bahwa ‘komunitas bahasa merupakan sebuah unit lokal, terkarakteristik oleh anggotanya yang memiliki persamaan umum dengan lokalitasnya dan interaksi primer.’ Kita seharusnya memahami bahwa definisi dari ‘komunitas tutur’ tidak hanya anggotanya yang harus memiliki satu set aturan gramatikal, namun harus juga ada hubungan yang konsisten antara penggunaan bahasa dan struktur sosial, harus ada norma-norma yang berlaku dan bisa berbeda berdasarkan sub-kelompok dan setting sosial. Lebih jauh lagi, varietas bahasa yang digunakan dalam ‘komunitas tutur’ seharusnya membentuk sebuah sistem karena hal ini berhubungan langsung dengan norma sosial.

PEMBEDA ANTAR KOMUNITAS
Fakta bahwa orang menggunakan kalimat seperti tuturan New York, tuturan London dan tuturan Afrika Selatan menunjukkan bahwa ada pendapat tentang kekhasan setiap orang dari masing-masing ‘komunitas tutur.’ Sepertinya syarat dan definisi dari komunitas tutur menjadi agak mudah dipahami. Orang dikatakan menjadi sebuah anggota komunitas tutur didasarkan dari pengamatan norma linguistik ketika berhubungan dengan tempat tertentu. Namun, Preston (1989, 1999, 2002), menjelaskan bahwa persepsi seseorang tentang karakteristik bahasa daerah tertentu tidak selalu selaras dengan fakta linguistik. Rosen (1980, pp. 56 -7) juga telah mengindikasikan beberapa masalah yang ditemukan dalam usaha untuk membuat sebuah kota seperti London menjadi sebuah komunitas tutur dan dalam menggambarkan apa yang menjadi ciri khas tuturnya. Dia mengatakan kota-kota seperti itu tidak dapat dianggap seperti peta kain perca dalam konteks pemetaan linguistik, daerah dengan daerah lain, bukan hanya karena bahasa dan dialek tidak terdistribusi berdasarkan geografis secara sederhana, tetapi juga karena interaksi antara mereka mengaburkan kesimpulan apapun yang mungkin ditarik. Di tempat-tempat urbanisasi seperti ini, dialek dan bahasa mulai berpengaruh satu sama lain.
Dalam menjelaskan pembeda antar komunitas ini mungkin konsep ‘kelompok’ lebih cocok digunakan dari pada ‘komunitas tutur,’ yang mana anggota setiap kelompok bergabung dengan tujuan yang sama, dan tujuan masing-masing kelompok cukup berbeda satu dengan yang lain. Jadi setiap anggota dari kelompok, dapat bebas berganti kelompok yang diikuti sesuai dengan tujuan akhirnya. Contoh kasus yang mungkin dapat dipakai dalam menjelaskan konsep ini adalah: seseorang yang hidup dalam setting rumah tangga bilingual dan dapat beralih dengan mudah, bolak-balik di antara dua bahasa. Saat berbelanja, dia menggunakan salah satu bahasa, tetapi saat bekerja dia menggunakan bahasa lainnya. logatnya dalam salah satu bahasa mungkin menunjukkan bahwa ia dapat diklasifikasikan sebagai imigran untuk masyarakat di mana dia tinggal. Sedangkan aksennya dalam bahasa lainnya menunjukkan dia menjadi penduduk asli negara Y di negara Z, namun, karena ia sekarang telah menganggap dirinya sebagai penutur bukan Y di negara Z tetapi sebagai pembicara Z itu sendiri. Dia mungkin juga memiliki pelatihan teknis yang baik sehubungan dengan keberadaanya di negara Z. Dalam sehari, ia akan mengalihkan identitasnya dari sebuah kelompok ke kelompok lain, bahkan mungkin, seperti yang kita lihat dalam bab sebelumnya, dalam perjalanan dari ucapan tunggal. Dia menjadi anggota sebuah kelompok pada suatu saat dan menjadi anggota dari kelompok lain pada waktu lain. Hal ini dia lakukan dengan tujuan mendapat keuntungan dari keanggotaanya pada masing-masing kelompok. Contohnya, dalam bekerja orang tersebut menggunakan Bahasa Inggris demi menyamakan persepsi dengan rekan-rekan sejawatnya yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa baku. Sedangkan dalam berbelanja di pasar tradisional dia menggunakan bahasa daerah agar memiliki rasa persamaan dengan pedagang dan mendapatkan harga lebih murah.
Kesimpulannya, keberadaan konteks ‘pembeda antara komunitas’ menjadi sebuah penjelasan. Setiap individu dalam ‘komunitas tutur’ dapat berpindah kelompok sesuai dengan tujuan akhir dari masing- masing kelompok. Dengan memanfaatkan norma-norma kebahasaan dan struktur sosial sebagai garis besar penggunaan bahasa, dan tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh masing-masing individu. Tujuan tersebut antara lain: politik, ekonomi, keagamaan, budaya, kekeluargaan dan lain lain.
 
JARINGAN DAN REPERTOAR
Cara lain untuk melihat bagaimana seorang individu berhubungan dengan individu lain dalam masyarakat adalah memperhatikan partisipasinya dalam relasi tersebut. Artinya, bagaimana dan kapan saatnya individu A berinteraksi dengan individu B, lalu dengan C dan dengan individu D? Bagaimana intensitas hubungan tersebut: apakah A lebih sering berinteraksi dengan B dari pada dengan C atau D? Seberapa jauh hubungan A dengan B; artinya, berapa banyak individu yang lain berinteraksi dengan A dan B dalam aktivitas apapun yang membuat mereka bersama?
Anda dikatakan terlibat dalam sebuah jaringan yang luas, apabila anda saling kenal dengan orang lain dan membangun interaksi yang konstan dengannya. Jika tidak demikian, maka jaringan anda kendur. Anda juga dikatakan terlibat dalam jaringan multipleks jika orang-orang di dalamnya diikat oleh motivasi yang beragam, yakni tidak hanya melalui hubungan kerja tetapi juga kegiatan sosial lainnya. Setiap orang pergi ke sekolah bersama-sama, menikahi saudara sahabat, bekerja dan bermain bersama-sama, berpartisipasi dalam jaringan multipleks. Di Inggris, hal ini memiliki daya yang lebih kuat ketimbang struktur dalam kelas sosial. Jaringan seperti ini menunjukkan kohesi sosial yang kuat, menghasilkan perasaan solidaritas dan mendorong individu untuk mengidentifikasi dirinya dengan orang lain dalam jaringan.
Dubois dan Horvath (1999, pp. 307) mengakui bahwa konsep jaringan sosial tampaknya berguna dalam mempelajari perilaku bahasa pada kasus di daerah urban, efektif pada kasus di daerah nonurban. Mereka mengatakan bahwa: ‘gagasan jaringan sosial sangat dikondisikan oleh efek dari skala dan tempat. Menjadi bagian dari jaringan terbuka atau tertutup. Kami tidak ingin mengisyaratkan bahwa konsep jaringan sosial kehilangan metodologi dalam mengkaji kebahasaan dengan latar belakang nonurban, tetapi efek linguistik dari jaringan tertutup dan terbuka saling terkait dengan komunitas yang diteliti.’
Milroy dan Gordon (2003, pp. 119) juga menunjukkan bahwa konsep jaringan dan komunitas tutur memiliki kaitan yang erat dan perbedaan di antara mereka hanyalah metode dan fokus. Analisis jaringan biasanya diamati pada sifat struktur dan isi dari hubungan individu tersebut. Namun hal ini tidak dapat mengatasi persoalan tentang varietas linguistik yang digunakan untuk membangun makna sosial lokal. Sebaliknya, hal itu lebih berkaitan dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial dalam mendukung norma-norma lokal atau memfasilitasi perubahan linguistik.
Hal ini mengindikasikan bahwa tidak mungkin dua individu memiliki kemampuan yang persis sama dalam penggunaan dan penguasaan bahasa mereka, karena tidak ada dua situasi sosial yang persis sama. Setiap orang dipisahkan dengan yang lain secara halus berdasarkan gradasi kelas sosial, asal daerah dan faktor kependudukan, seperti: agama, jenis kelamin, kebangsaan dan etnis.
Seorang individu juga memiliki repertoar tutur, yakni seseorang dapat menguasai beberapa varietas bahasa dan bahasa. Hampir sering dijumpai bahwa banyak individu yang memiliki repertoar tutur yang hampir identik. Konsep repertoar tutur mungkin paling berguna ketika diterapkan pada individu bukan kelompok. Kita bisa menggunakannya untuk menggambarkan kompetensi komunikatif dari setiap penutur. Setiap orang memiliki kekhasan dalam repertoar tutur. Platts menemukan dua bentuk repertoar, yakni repetoar dalam masyarakat dan repertoar dalam individu, yang patut dikaji oleh sosiolinguistik. Ada perbedaan di sana (p 36.): “repetoar masyarakat adalah tuturan khas yang dimiliki dan digunakan setiap orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan repetoar individual sangat khas dimiliki oleh seorang individu. Dalam pandangan ini, setiap individu memiliki repertoar lisan khasnya sendiri dan komunitas tutur juga memiliki kekhasan dalam repetoar tuturnya.
Berfokus pada repertoar individu dan secara khusus pada pilihan bahasa yang tepat dalam keadaan yang baik, tampaknya memberikan kita gambaran tentang bagaimana setiap orang menggunakan pilihan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain sesuai cara yang tepat. Seorang pembicara A dengan menggunakan intonasi tertentu atau ekspresi tertentu memulai pembicaraan dengan orang lain melalui beberapa cara. Ia bisa mengatakan saya seperti anda atau saya tidak seperti Anda. Atau juga ia bisa mengatakan saya seorang X seperti anda atau saya seorang X tapi Anda adalah Y. Atau juga mengatakan sekarang saya telah menjadi X, tapi dari sekarang anda harus menganggap saya sebagai Y. Hal ini seperti ketika seseorang berpura-pura menjadi sesuatu yang dia tidak dapat. Dengan ini mau dikatakan bahwa ikatan sosial yang dihasilkan dari pilihan bahasa yang anda buat mungkin tergantung pada kuantitas karakteristik linguistik tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar